Hukum Agraria di Indonesia Pasca Kemerdekaan
Saturday, 3 September 2016
SUDUT HUKUM | Dalam bidang keagrariaan selama
masa penjajahan terdapat dualisme hukum agraria yang berlaku yakni berdasarkan
hukum adat yang melahirkan tanah hak milik adat, tanah ulayat, tanah yayasan,
tanah golongan dan sebagainya, serta berdasarkan hukum barat (kolonial) yang
melahirkan tanah hak eigendom (hak milik), tanah hak opstal,
tanah hak erfpacht, tanah hak gebruik (hak pakai), dan
sebagainya.[1]
Terlepas dari penjajahan Jepang (1945), Indonesia mendapatkan kemerdekaannya. Para
pemimpin bangsa mulai memikirkan untuk melakukan pembangunan hukum baru yang
terlepas dari ketidakadilan hukum kolonial termasuk hukum agraria kolonial.
Pengaturan hukum agraria
menjadi salah satu hal yang difokuskan untuk diubah dalam upaya memperbaiki
tatanan pengaturan hak agraria masyarakat Indonesia dari ketidakadilan hukum
kolonial. Beberapa peraturan yang dihasilkan antara lain terdapat Undang-Undang
No. 28 Tahun 1956 tentang Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah-Tanah
Perkebunan, Undang-Undang No. 29 Tahun 1956 tentang Peraturan-Peraturan dan
Tindakan-Tindakan Mengenai Tanah-Tanah Perkebunan, Undang-Undang No. 1 Tahun
1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir, dan Undang-Undang No. 7 Tahun
1958 tentang Peralihan Tugas dan Wewenang Agraria.

- "Agrarische Wet" (Staatsblad 1870 No. 55), sebagai yang termuat dalam pasal 51 "Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie" (Staatsblad 1925 No. 447) dan ketentuan dalam ayat-ayat lainnya dari pasal itu;
- "Domienverklaring" tersebut dalam pasal 1 "Agrarisch Besluit " (Staatsblad 1870 No. 118); "Algemene Domienverklaring" tersebut dalam Staatsblad 1875 No. 119A; "Domienverklaring untuk Sumatera" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1874 No. 94f; "Domeinverklaring untuk keresidenan Menado" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1877 No. 55; "Domienverklaring untuk residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1888 No.58;
- Koninklijk Besluit tanggal 16 April 1872 No. 29 (Staatsblad 1872 No. 117) dan peraturan pelaksanaannya;
- Buku ke-II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya undang-undang ini;
Salah satu dasar pertimbangan
dalam merumuskan UUPA ini adalah bahwa hukum agraria tersebut harus pula
merupakan pelaksanaan dari pada Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, ketentuan
dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dan Manifesto Politik Republik
Indonesia, sebagai yang ditegaskan dalam pidato Presiden tanggal 17 Agustus
1960, yang mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya,
hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara
gotong-royong.
Sebagai implementasi dari
ketentuan dalamPasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa
negara sebagai penguasa bumi, air, dan kekayaan alam Indonesia, maka dalam
Pasal 2 ayat (2) UUPA telah ditentukan bahwa hak menguasai dari negara yang
dimaksud adalah memberi wewenang untuk:
- mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
- menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; dan
- menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Adapun tujuan dalam pembentukan
UUPA ini dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (3), yakni bahwa wewenang yang bersumber
pada hak menguasai dari Negara tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besar
kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam
masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.
Untuk menunjukkan kepemihakan terhadap rakyat dalam pengaturan UUPA ini, dapat
dilihat dalam Pasal 11 dan 13. Dari berbagai ketentuan dasar tersebut,
selanjutnya UUPA juga menentukan mengenai hak-hak masyarakat atas tanah yang
dapat dibedakan menjadi:
- Hak milik (Pasal 20-27)
- Hak guna usaha (Pasal 28-34)
- Hak guna bangunan (Pasal 35-40)
- Hak pakai (Pasal 41-43)
- Hak sewa untuk bangunan (Pasal 44-45)
- Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan (Pasal 46)
- Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara (Pasal 53) yakni hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, hak sewa tanah pertanian.
- Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara.
Selain hak-hak yang disebutkan
tersebut,terdapat hak-hak atas bagian lain dari tanah yakni terdiri dari hak
guna air, pemeliharaan dan penangkapan ikan (Pasal 47) serta hak guna ruang
angkasa (Pasal 48).Dengan pemberlakuan UUPA tersebut pemerintah mulai menata
pembagian dan penguasaan struktur kepemilikan tanah Indonesia karena selama
masa kolonial pola kepemilikan masyarakat atas tanah sangat tidak adil dan
tidak teratur. Untuk menjalankan suatu redistribusi kepemilikan tanah,
pemerintah membuat sebuah Undang-Undang No. 56 Tahun 1960 tentang Penetapan
Luas Tanah Pertanian yang disebut sebagai Undang-Undang Landreform Indonesia.
Sejak program ini berjalan pemerintah berhasil mendistribusikan sekitar 800.000
hektar tanah kepada 850.000 kepala keluarga.[2]
Mengingat kekhususan dari
perkara-perkara yang terkait dengan program tersebut, pemerintah Soekarno
membentuk badan peradilan tersendiri yaitu Pengadilan Landreform dengan dasar
pembentukan Undang-Undang No.21 Tahun 1964.[3]
Namun kegiatan landreform ini tidak berlangsung lama seiring bergantinya
pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto pada tahun 1965.Bahkan Pengadilan
Landreform pun akhirnya dihapuskan dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1970
tentang Penghapusan Pengadilan Landreform. Pemerintah baru ini mempunyai
kebijakan yang sama sekali lain, sehingga untuk jangka waktu yang cukup lama
UUPA masuk peti es, sedangkan kebutuhan agraria di sektor lain mendesak, maka
lahirlah pada masa awal orde baru berbagai undang-undang pokok lain yang
kemudian membuat tumpang tindih dan rancunya masalah pertanahan.[4]
Untuk menarik minat para
investor, pemerintah mulai membuat beberapa regulasi untuk membuka peluang
eksplorasi tanah dan sumber daya alam di Indonesia. Sebagai langkah awal untuk
memikat investor asing, tahun 1967 Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA)
diberlakukan, selanjutnya lahir Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan dan Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketnetuan Pokok Pertambangan serta berbagai undang-undang sektoral
lain tentang minyak-gas dan pengairan.[5]
Kebijakan pemerintah orde baru
ini lebih fokus hanya kepada pembangunan dengan penguasaan tanah secara
besar-besaran oleh negara untuk dieksplorasi dan dieksploitasi oleh para
investor yang bermodal besar,namun hak-hak dari masyarakat atas tanah jadi
terlupakan. Ternyata undang-undang tersebut tidak menjadikan UUPA sebagai
basisnya, regulasi-regulasi ini pun tumpang tindih dan inkonsisten satu sama
lain.[6] Dengan makin rumitnya masalah pertanahan dan makin
besarnya keperluan akan ketertiban di dalam pengelolaan pertanahan, makin
dirasakan keperluan akan adanya peraturan pelaksanaan UUPA yang menerapkan
ketentuan lebih lanjut mengenai hak-hak atas tanah.
Sebagai hak atas tanah yang
masa berlakunya terbatas untuk jangka waktu tertentu (hak guna usaha, hak guna
bangunan dan hak pakai), hak-hak tersebut memerlukan kejelasan mengenai
beberapa hal antara lain mengenai persyaratan perolehannya, kewenangan dan
kewajiban pemegangnya, dan status tanah dan benda-benda di atasnya sesudah hak
itu habis jangka waktunya. Kejelasan itu sangat diperlukan untuk memberikan
beberapa kepastian hukum, baik kepada pemegang hak, kepada pemerintah sebagai
pelaksana UUPA, maupun kepada pihak ketiga.[7]
Beberapa
peraturan pun mulai dibentuk untuk mengatur pelaksanaan perundang-undangan
tentang pertnahan sebagai objek dasar agraria seperti Peraturan Pemerintah No.
40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas
Tanah, Peraturan Menteri Negara Agraria / BPN No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Peraturan Menteri Negara
Agraria / BPN No. 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Perolehan Hak
Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, Peraturan BPN No. 2 Tahun 2013 tentang
Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah,
dan sebagainya. Perjalanan UUPA selanjutnya terus diiringi dengan penerbitan
perundang-undangan yang merupakan perluasan dari urusan keagrariaan di
Indonesia, antara lain:
- Terkait pertanahan.
- Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya,
- Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah,
- Undang-Undang No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan,
- Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,
- Terkait pertanian
- Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan,
- Terkait perkebunan
- Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan,
- Terkait perikanan
- Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia,
- Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,
- Terkait pertambangan
- Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan,
- Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi,
- Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,
- Terkait kehutanan
- Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
- Terkait pembangunan
- Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman,
- Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,
- Undang-Undang No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.
Rujukan:
[1] A. Ridwan Halim, Hukum Agraria Dalam Tanya Jawab, Jakarta: Ghalia Indonesia, Cetakan ke-2 1988, hlm. 27
[2] Elza Syarief, Op.Cit., hlm.121
[3] Elza Syarief, Op.Cit., hlm.167
[4] Gunawan Wiradi, Reforma ….Op.Cit., hlm.86-87
[5] Elza Syarief, Op.Cit., hlm.123
[6] Elza Syarief, Op.Cit., hlm.123