Konflik Agraria
Saturday, 3 September 2016
SUDUT HUKUM | Konflik menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti perselisihan, pertentangan,
percekcokan. Konflik dapat terjadi antar individu, antar kelompok, atau antar
individu dan kelompok. Sebuah konflik hadir karena kepentingan-kepentingan yang
dimiliki setiap pihak berbeda. Namun secara umum, salah satu definisi konflik
dalam ilmu sosial adalah suatu situasi proses, yaitu proses interaksi antara
dua atau lebih individu atau kelompok dalam memperebutkan obyek yang sama demi
kepentingannya. Dalam
sebuah konflik, pihak-pihak itu berselisih akan suatu hal atau benda di mana
setiap pihak memiliki kehendak sendiri yang berbeda untuk menyikapi hal atau
benda itu. Perbedaan kepentingan itu saling bertentangan dan setiap pihak yang
berkonflik seakan dibawa pada suasana kompetisi untuk menunjukkan siapa yang
paling benar dan paling berhak dengan kepentingannya.
Berkenaan urusan
keagrariaan, konflik sudah pasti dan akan terus terjadi karena banyaknya kepentingan
dalam menyikapi sumber-sumber agraria. Pada dasarnya, semua konflik agraria
timbul sebagai akibat dari adanya ketidakserasian/kesenjangan terkait
sumber-sumber agraria, khususnya kesenjangan dalam penguasaan, peruntukan,
persepsi dan konsepsi, serta hukum dan kebijakan yang saling beretentangan. Dengan
demikian, konflik agraria secara sederhana dapat diartikan sebagai pertentangan
kepentingan yang berbeda terhadap sumber-sumber agraria–seringnya dan akan
selalu melibatkan tanah secara umum–yang terjadi antar individu, antar
kelompok, maupun individu dengan kelompok, di mana setiap pihak yang berkonflik
harus berupaya untuk mendapatkan kekuatan, membuktikan, dan menunjukan
kepentingannya sebagai yang paling baik.
Pada upaya mempertahankan
kepentingan suatu pihak maka akan ada kepentingan pihak lain yang dikorbankan
karena kedua kepentingan tersebut tidak dapat diwujudkan bersama terhadap satu
objek agraria yang sama. Sebagai akibatnya, masyarakat lebih sering menjadi
pihak yang dikorbankan demi kepentingan pihak lain yang lebih memiliki
kekuatan. Konsorsium Performa Agraria (KPA) telah merekam ribuan kasus konflik
agraria yang pernah terjadi di Indonesia berupa konflik agraria struktural,
yaitu konflik yang melibatkan masyarakat berhadapan dengan kekuatan
modal,dan/atau instrument negara. Dengan menggunakan pengelompokan masyarakat
dalam tiga sektor, seperti dikemukakan Alexis Tocqueville (1805-1859), konflik
agraria struktural dapat dinyatakan sebagai konflik kelompok masyarakat sipil
“melawan” dua kekuatan lain di masyarakat, yakni sektor bisnis dan/atau negara.
Akar masalah dari
konflik agraria ini adalah berawal dari penyalahgunaan kewenangan dan tumpang
tindih pengaturan agararia. Sedikitnya ada empat ketidakserasian atau
ketimpangan agraria yang dapat diidentifikasi, yaitu:
- Ketimpangan dalam hal penguasaan sumber-sumber agraria;
- Ketidakserasian dalam hal “peruntukan” sumber-sumber agraria, khususnya tanah;
- Ketidakserasian antara persepsi dan konsepsi mengenai agraria; dan
- Ketimpangan antara berbagai produk hukum, sebagai akibat dari pragmatisme dan kebijakan sektoral.
Persoalan agraria ini
pada intinya menyangkut kekuasaan atas seluruh elemen yang terkandung di dalam
kehidupan agraris oleh masing-masing pihak yang terdapat di dalamnya.Pada
tataran ini dapat dikatakan bahwa masalah agraria adalah produk dari relasi dan
intrerelasi antara masyarakat, negara, dan lingkungan dengan menempatkan tanah
dan kekuasaan sebagai inti persoalan.
Berdasarkan Pasal 6
UUPA telah ditegaskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.Namun
kenyataan yang terjadi jauh dari semangat UUPA.Amanat undang-undang yang
mengutamakan kepentingan rakyat akhirnya harus terkikis dengan
kepentingan-kepentingan investasi dan komersial yang menguntungkan segelintir
kelompok sehingga kepentingan rakyat banyak yang seharusnya memperoleh prioritas
utama akhirnya terabaikan.
Terdapat aktor-aktor
utama yang kerap kali berhadaphadapan secara langsung dalam persoalan konflik
agraria di berbagai sektor. Aktor-aktor
tersebut adalah pertama, petani dan masyarakat/komunitas adat, dua
kelompok besar masyarakat yang selama ini menjadi korban dalam konflik agraria,
baik pada level mempertahankan tanah dari upaya penguasaan oleh kelompok lain
di luar mereka, yang umumnya adalah kelompok dunia usaha guna kepentingan profit
atau pun pemerintah guna kepentingan umum. Kedua, Badan Usaha Milik
Negara dan Swasta, kelompok jamak sebagai pihak yang telah mendapatkan izin,
hak dan konsesi dari pemerintah atas sebidang tanah yang mengakibatkan
timbulnya konflik dengan masyarakat adat, petani, pemerintah maupun sesama
badan usaha itu sendiri.
Pada situasi konflik
tersebut, posisi negara (yang direpresentasikan lembaga pemerintah, badan-badan
usaha milik negara/daerah, maupun institusi militer) kerap muncul sebagai
“lawan” rakyat. Tampilnya pemerintah sebagai lawan sengketa rakyat, sering
terjadi pada berbagai jenis sengketa, antara lain pembangunan sarana umum dan
fasilitas perkotaan, perkebunan besar, perumahan dan kota baru, bendungan dan
sarana pengairan, sarana wisata, areal kehutanan produksi, dan sarana milliter.
Dikarenakan berbagai
kegiatan pembangunan tersebut merupakan tanggung jawab dari pemerintah sebagai
penyelenggara negara yang diamanati oleh rakyat untuk mengelola pembangunan,
tentunya kegiatan-kegiatan itu harus ditujukan untuk kepentingan
masyarakat.Sebagai pihak yang diberi mandat, pemerintah memiliki keterbatasan
dalam menguasai sumber-sumber agraria di Indonesia.Pelaksanaan penguasaan itu tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan yang ada di masyarakat.Setiap warga negara Indonesia
memiliki hak atas segalah hal yang ada di bumi Indonesia ini, termasuk hak
agraria (hak atas tanah serta yang ada di atas dan terkandung di dalamnya).
Tanah bukan sekedar
aset, tetapi juga merupakan basis bagi teraihnya kuasa-kuasa ekonomi, sosial
dan politik. Maka ketimpangan dalam hal akses terhadap tanah ini akan sangat menentukan
corak masyarakat dan dinamika antar lapisan di dalam masyarakat tersebut. Kepentingan
antara ekonomi, sosial, dan politik berperan besar dalam setiap konflik agraria
yang terjadi.Rencana pembangunan yang sedang ramai disusung oleh pemerintah seringnya
hanya menatap ke atas untuk menuju perindustrian dengan laba besar, tetapi
tidak menatap ke bawah lagi untuk melihat kondisi masyarakat yang
ada.Industrialisasi menjadi sistem yang sekarang sedang ramai dibangun di
negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia sebagai dasar peningkatan
pembangunan dan perekonomian negara.Tapi pembangunan yang hanya mengedepankan
perindustrian belum tentu sesuai dengan kondisi sosial di masyarakat.Para
pengusaha yang berdatangan dengan menawarkan investasi dan keuntungan besar
justru bisa membawa masyarakat pada krisis besar.
Selanjutnya,
perusahaan swasta yang kerap menjadi lawan masyarakat pada kasus perkebunan
besar, perumahan dan kota-kota baru, kawasan kehutanan (untuk tujuan produksi
maupun konservasi), pengembangan kawasan industri dan pabrik (seperti
pertambangan). Menurut data Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) hingga saat ini
terdapat lebih dari 1.700 kasus konflik agraria yang belum terselesaikan baik
pada tingkat pengadilan tinggi hingga Mahkamah Agung.BPN mencatat terdapat 8000
konflik agraria di Indonesia.Dilain pihak, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) menyatakan lebih dari 90% (Sembilan puluh) persen kasus
pelanggaran HAM berkait erat dengan konflik Agraria. Dari
konflik itu, sedikitnya ada 731.342 KK petani penggarap yang kehilangan
tanahnya sepanjang 2004-2012 yang mencapai lebih dari 2.399.314,49 hektar.
Data konflik yang
lain didapat dari hasil pantauan DPD RI terhadap konflik pertanahan atau
agraria yang paling parah terjadi pada periode Januari-Desember 2012 yang
mencapai 198 kasus. Jika dihitung rata-rata setidaknya terjadi 1 kali konflik
agraria dalam 2 hari dan 1 orang petani ditahan dalam 2 hari. Sementara
Sawit Watch mencatat konflik tanah di perkebunan kelapa sawit mencapai 663
diseluruh Indonesia.Konflik agraria ini melibatkan perusahaan-perusahaan
perkebunan swasta dan BUMN, perusahaan pertambangan, Taman Nasional, dan
Perhutani.HuMa juga
mengamati bahwa hampir disetiap konflik, terdapat keterlibatan aparat keamanan
seperti kepolisian dan militer.
Sepanjang 2013,
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat terdapat 369 konflik agraria dengan
luasan mencapai 1.281.660.09 hektar, dan melibatkan 139.874 kepala keluarga.
Dari konflik tersebut tercatat 21 orang tewas, 30 tertembak, 130 dianiaya serta
239 orang ditahan oleh aparat keamanan. Dibandingkan tahun 2012, terdapat
peningkatan luas areal konflik sejumlah 318.248,89 hektar, atau naik 33,03
persen. Dari jumlah konflik dibandingkan 2012 juga mengalami kenaikan, dari 198
konflik agraria di tahun 2012 naik menjadi 369 konflik pada tahun 2013, atau
meningkat 86,36 persen. Bedasarkan sektor, konflik tersebut terjadi di
perkebunan sebanyak 108 konflik (48,78 persen), infrastruktur 105 konflik
(28,46 persen), pertambangan 38 konflik (10,3 persen), kejutanan 31 konflik
(8,4 persen), pesisir 9 konflik (2,44 persen dan sisanya 6 konflik (1,63
persen). Sepuluh provinsi yang mengalami konflik agraria adalah: Sumatera Utara
(10,48 persen), Jawa Timur (10,57 persen), Jawa Barat (8,94 persen), Riau (8,67
persen), Sulawesi Tengah (3,52 persen), dan lampung (2,98 persen). Jatuhnya
korban jiwa akibat konflik agraria tahun ini juga meningkat drastis, sebanyak
525 persen.Tahun lalu korban jiwa dalam konflikagraria sebanyak tiga orang,
sementara tahun ini konflik agraria telah menimbulkan korban jiwa sebanyak 21
orang.
Konflik ini bukan
saja terjadi antara rakyat dengan instansi pemerintah, atau antara rakyat
dengan perusahaan swasta atau BUMN/BUMD, akan tetapi juga antar
instansi-instansi pemerintah sendiri, antar departemen sektoral. Bagaimanapun
juga, pengakuan dari pemegang kekuasaan, terutama pemerintahan itu sangat
diperlukan agar hak itu terlindungi, maka dari itu pada hakekatnya konflik
agraria ini adalah masalah kekuasaan, masalah politik. Oleh
karena itu, konflik agraria ini adalah masalah bagi sebuah negara dan seluruh
masyarakatnya. Bukan hal mudah untuk mencari pemecahan dari konflik ini karena
terlalu banyak kepentingan yang dibela.Untuk mencapai sebuah keadilan sosial
bagi seluruh masyarakat Indonesia, penyelesaian konflik agraria ini merupakan
bagian penting yang harus selalu diperjuangkan.
Sering dikemukakan,
pembicaraan tentang hukum barulah dimulai jika terjadi suatu konflik antara dua
pihak yang kemudian diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga.103Pihak
ketiga yang dapat membantu penyelesaian konflik dalam sebuah negara hukum
adalah hakim dalam sebuah pengadilan. Melalui sebuah proses peradilan, hakim
akan menjadi pihak yang netral dan memberikan sebuah putusan terhadap konflik
yang terjadi. Konflik yang sudah masuk ke ranah pengadilan kelak akan memiliki
kekuatan hukum berdasarkan putusan yang mengikat dan memaksa kedua pihak yang
berkonflik untuk mematuhinya.
Putusan hakim itu
tergantung pada proses peradilan yang dijalani. Indonesia sendiri memiliki
pengaturan tentang tata cara untuk menyelesaikan konflik melalui pengadilan.
Tugas hakim didukung oleh tenaga-tenaga terdidik di bidang hukum serta pranata-pranata
khusus yang bertalian dengan hukum yang memiliki personal yang mengurusi semua
jenis bahan yang dibutuhkan di bidang hukum, sehingga para hakim dapat memenuhi
tugasnya untuk menghasilkan putusan hukum. Tenaga
terdidik yang dapat membantu para hakim untuk melakukan penegakan hukum melalui
peradilan adalah jaksa, polisi, dan advokat.