Hukum Agraria Pra Kemerdekaan
Saturday, 3 September 2016
SUDUT HUKUM | Perkembangan hukum agraria
sudah dimulai sejak zaman kerajaan, di mana tanah bukanlah benda yang
diperdagangkan karena masih melimpahnya tanah-tanah yang belum
dimiliki.Masyarakat pada masa kerajaan menjalani kehidupannya berdasarkan
ketentuan raja.Sebagai pemimpin tertinggi dalam sebuah wilayah, raja berdaulat
penuh atas semua hal yang ada dalam wilayah yuridiksinya.Begitupun dalam
pengurusan tanah, raja telah menentukan batas dan bagian masing-masing bagi
rakyatnya.Pola pembagian wilayah yang menonjol pada masa awal-awal kerajaan di
Jawa adalah berupa pembagian tanah ke dalam beragam penguasaan atau pengawasan,
yang diberikan ke tangan pejabat- pejabat yang ditunjuk oleh raja atau yang
berwenang di istana (Paigeaud 1960, Moertono 1968).[1]
Masa kejayaan kerajaan-kerajaan
mulai terganggu oleh bangsa Belanda yang berdatangan ke Indonesia sekitar abad
17 dengan alasan untuk berdagang dan mengembangkan perusahaan dagangnya.
Sejarah hukum agraria kolonial pun diawali oleh perkumpulan dagang yang disebut
Veerenigde Ooost-Indische Compagnie (VOC) antara tahun 1602-1799,[2]
mereka diberikan hak untuk berdagang sendiri di Indonesia dari Pemerintah
negeri Belanda (Staten General), yang sejak tahun 1602 itu VOC mendapat
hak untuk mendirikan benteng-benteng serta membuat perjanjian dengan raja-raja
Indonesia.[3]

Dengan hukum barat itu, maka
hak-hak tanah yang dipegang oleh rakyat dan raja-raja Indonesia tidak
dipedulikan.Namun rakyat Indonesia masih dibiarkan untuk hidup menurut hukum
adat dan kebiasaannya.[6] Seluruh lahan di
daerah kerajaan yang berada di bawah kekuasaan VOC itu diklaim menjadi milik
VOC sehingga bebas digunakannya, termasuk untuk dijual kepada pihak selain
masyarakat Indonesia. Salah satu bentuk kegiatan penjualan tanah itu dilakukan
melalui Lembaga Tanah Partikelir sejak tahun 1621, dengan dominasi pembeli dari
pedagang kaya orang Arab dan Cina, namun tidak ada surat bukti jual beli karena
pada masa itu belum ada pejabat notaris. Maka tanah partikelir itu dicatat
dalam catatan “eigendom” milik Belanda.[7]
Situasi tersebut berjalan cukup
lama, sehingga membuat rakyat Indonesia kehilangan hak-haknya sendiri atas
tanah dan semakin miskin karena eksploitasi yang dilakukan VOC tehadap hasil
pertanian rakyat.Kemudian pada tahun 1799, VOC terpaksa dibubarkan karena kerap
kali berperang, kas kosong dan banyak hutang, serta banyak pesaing dari Inggris
dan Perancis. Setahun kemudian, daerah dan hutang-hutang VOC diserahkan kepada Bataafsche
Republiek, serta Indonesia sebagai tanah jajahan dijadikan bagian dari
wilayah Negeri Belanda dengan status sebagai negara jajahan (Nederlands
Indie – Hindia Belanda).[8]
Setelah bangkrutnya VOC pada
awal abad ke-19, kekuasaan pemerintah Belanda dipatahkan oleh balatentara
Inggris dan pada tahun 1811 Belanda harus menyerahkan Pulau Jawa kepada Inggris.[9] Di bawah
pemerintahan Raffles dibentuklah sebuah panitia dengan tugas melakukan
penyelidikan statistik mengenai keadaan agraria, dan atas hasil penyelidikan
itu Raffles berkesimpulan bahwa semua tanah adalah milik raja atau pemerintah
Inggris (teori Domein). Raffles mewujudkan pemikiran tentang pajak yang
dikenal dengan namaLandrent (pajak tanah). Landrent tidak
langsung dibebankan kepada para petani pemilik tanah, para kepala desa diberi
kekuasaan untuk menetapkan jumlah sewa yang wajib dibayar oleh tiap petani. Berdasarkan
ketentuannya itu, penduduk pribumi hanya dianggap menumpang dan dibebani
tanggung jawab untuk membayar pajak dalam pemakaian tanah raja atau pemerintah
Inggris.
Kemudian dengan dibentuknya
perjanjian pada 13 Agustus 1814 antara Inggris dan Belanda, maka semua jajahan
Belanda yang diwaktu peperangan terakhir diduduki oleh Inggris akan
dikembalikan kepada Belanda.[10] Memasuki masa
pemerintahan Van den Bosch, pada tahun 1830 diterapkan sebuah sistem tanam
paksa (Cultuurstelsel), yakni dengan pemiadaan pembayaran pajak dari
para petani di desa namun digantikan dengan kewajiban menanami 1/5 tanahnya
dengan tanaman seperti nila, kopi, tembakau, teh, tebu dan sebagainya untuk
kemudian diserahkan kepada pemerintah (untuk di ekspor ke Eropa).[11]
Hasil pertanian tersebut diserahkan kepada pemerintah Belanda secara cuma-cuma,
tanpa ada imbalan apapun.Kondisi ini semakin mengerdilkan hak agraria rakyat
Indonesia sebagai pemilik asli tanah Indonesia.
Rakyat Indonesia benar-benar
dijadikan budak untuk memperkaya Belanda.Begitu banyak hasil kekayaan alam
Indonesia dikeruk secara sia-sia karena para petani tidak mendapatkan imbalan
atas hasil tanaman yang diberikannya pada Belanda. Sistem ini mendatangkan
kritik habis-habisan, antara lain oleh Edouward Douwes Dekker (Multatuli), lalu
akhirnya sebagai jawabannya dikeluarkan kebijakan Regerings Reglement yang
dalam Pasal 64 dinyatakan bahwa Gubernur Jenderal dilarang menjual tanah
kecuali tanah sempit bagi perluasan kota dan industri dan boleh menyewakan
tanah berdasarkan Ordonnantie (peraturan) kecuali tanah hak ulayat.[12]
Kebijakan itu digunakan untuk membina tata hukum
kolonial dalam mengontrol kekuasaan dan kewenangan raja dan aparat eksekutif
atas daerah jajahan.[13] Dalam Hukum Pertanahan Belanda di Indonesia,
pelaksanaannya dimulai secara sah sejak tahun 1848 ketika diberlakukannya
Undang-Undang Hukum Perdata Belanda (Nederlands Burgelijk Wetboek-BW)
yang baru dan di Indonesia disebut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia
(KUHPInd.).[14] Kodifikasi hukum
berlangsung untuk pertama kali, BW berlaku khusus untuk golongan Eropa,
kemudian berlaku juga untuk golongan Timur Asing (sejak tahun 1855), sedangkan
untuk golongan Bumiputera berlaku hukum masing-masing (yakni hukum adat).[15]
Mengenai pengaturan hukum adat
terkait urusan keagrariaan, Ter Haar dan para muridnya yang belajar di Sekolah
Tinggi Hukum di Jakarta (yang pada waktu itu bernama Rechtshogeschool te
Batavia) mulai bekerja di lapangan untuk mencatat kaidah-kaidah sosial
(adat) komunitas-komunitas dengan sanksi-sanksi.[16] Van Vollenhoven
telah menjelaskan sifat atau ciri khusus sebagai tanda-tanda pengenal Hukum
Pertanahan dan Keagrariaan Adat Indonesia, yaitu:[17]
- Masyarakat hukum dengan pimpinan dan warganya dapat dengan bebas menggunakan dan mengusahakan semua tanah hutan belukar yang belum dikuasai seseorang dalam lingkungan masyarakat hukum untuk membukanya, mendirikan perkampungan atau desa, berburu, mengumpulkan hasil hutan, menggembala dan merumput;
- Orang asing hanya dapat melakukan hal-hal yang disebutkan sebelumnya setelah mendapatkan izin dari masyarakat hukum, karena setiap pelanggarannya dinyatakan sebagai suatu pelanggaran adat yang disebut „maling utan”.
- Setiap orang asing, tetapi kadang-kadang terhadap warga masyarakat hukum pun, diharuskan membayarkan uang pemasukan, untuk dapat memungut dan menikmati hasil tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat;
- Masyarakat hukum adat bertanggung jawab atas setiap pelanggaran hukum yang terjadi dalam wilayah masyarakat hukum adat;
- Masyarakat hukum adat tetap berhak menguasai dan mengawasi tanah-tanah pertanian dalam lingkungan masyarakat hukumnya; dan
- Tanah masyarakat hukum adat tidak boleh dijual lepaskan kepada pihak lain untuk selama-lamanya.
Berkat perjuangan Van
Vollenhoven dan Ter Haar serta para penerusnya, pada zaman Hindia Belanda itu
hukum negara yang diterapkan (oleh badan-badan yudisial pemerintah kolonial)
menjadi tidak – atau tidak banyak – menyimpang dari hukum yang hidup di
tengah-tengah masyarakat.
Dalam praktiknya, pelanggaran
demi pelanggaran hukum dilakukan oleh pemerintah Belanda. Pemerintah acapkali
mencabut hak milik tanah seseorang tanpa didasarkan ketentuan hukum karena
penduduk pribumi tidak ditentukan sebagai pihak yang berhak atas hak milik dan
ganti rugi atas tanah.[18] Kemudian dengan
semakin berkembangnya dominan ide liberalisme di bidang hukum, lahirlah Regeelings
Reglement (RR) pada tahun 1854 yang dimaksudkan untuk membatasi dan
mengontrol kekuasaan eksekutif yang berada di tangan para administrator
kolonial.[19]
Menurut ayat (3) dari Pasal 62
RR menyebutkan bahwa Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah menurut peraturan
yang harus ditetapkan dengan peraturan umum. Dalam hal ini tidak termasuk
tanah-tanah yang dibuka oleh orang-orang Bumiputera, atau yang termasuk
lingkungan suatu desa, baik sebagai tempat penggembalaan umum, maupun dengan
sifat lain. Tujuan gerakan kaum liberal dalam bidang agraria ini adalah agar
pemerintah memberikan pengakuan terhadap penguasaan tanah oleh pribumi sebagai
hak milik mutlak (eigendom) untuk memungkinkan penjualan dan penyewaan,
serta agar dengan asas domein pemerintah memberikan kesempatan kepada
pengusaha swasta untuk dapat menyewa tanah jangka panjang dan murah (erfpacht).
Sebagai upaya untuk memperbesar
keuntungan para pengusaha dan pedagang Belanda dari kekayaan alam Indonesia,
akhirnya pada 9 April 1870 pemerintah Belanda meloloskan Undang-Undang Agraria
yang selanjutnya dikenal sebagai Agrarische Wet yang diberlakukan untuk
Jawa dan Madura serta untuk seluruh wilayah jajahan Hindia Belanda setelah lima
tahun pembentukannya.[20] Agrarische
Wet Staatsblad 1870 No. 55 berisi
tiga pasal yang termaktub dalam Artikel 62 RR 1854 dan tambahan lima pasal
baru. Selain itu, ada juga Agrarische Reglement (peraturan agraria) yang
diterbitkan untuk mengatur hak milik pribumi di wilayah luar Jawa dan Madura.[21]
Pada ayat (4) Agrarische Wet
1870 disebutkan bahwa Gubernur Jenderal akan memberikan hak erfpacht[22] selama 75
tahun.Kemudian perihal ketentuan pelaksanaannya diatur dalam berbagai peraturan
dan keputusan. Salah satu yang penting adalah Agararisch Besluit (keputusan
agraria) yang hanya berlaku di Jawa dan Madura, yang diundangkan dalam
Staatsblad 1870 No. 118, di mana dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa “….semua tanah
yang tidak terbukti bahwa atas tanah itu ada hak milik mutlak (eigendom),
adalah hak domein negara.” Domein negara artinya milik mutlak
negara, biasa dikenal dengan Domein Verklaring.[23] Rakyat Indonesia
benar-benar berada pada masa ketidakadilan dengan terampas kemerdekaan dan
haknya atas tanah mereka sendiri.Masa kolonial telah memperbudak rakyat
sekaligus negara Indonesia untuk melayani kebutuhan orang-orang Belanda
memperkaya diri dari hasil pertanian dan perkebunan Indonesia.Beberapa abad
penjajahan kolonial itu telah menjadi bagian dari perjalanan hukum agraria yang
sangat merugikan rakyat Indonesia.
Memasuki masa Perang Dunia II
antara blok barat dan blok timur, kedudukan Belanda mulai tergeser dan
Indonesia jatuh di bawah kekuasaan penjajahan Jepang. Sejak tahun 1942 Jepang
mengambil alih seluruh kekuasaan pemerintahan kolonial.Pemerintahan jepang
mengeluarkan kebijakan yang mentolerir dan mendorong rakyat untuk menggarap
tanah-tanah perkebunan dan tanah terlantar yang menimbulkan persepsi bahwa
rakyat bisa memperoleh kembali tanah mereka yang dulu digusur oleh pemerintah
kolonial Belanda.Namun tetap saja para petani penghasil padi dikenakan
kewajiban menyerahkan hasil produksinya kepada pemerintah sebagai semacam
pajak.[24]
[1] Gunawan Wiradi, Reforma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir, Diterbitkan bersama oleh: Konsorsium Pembaruan Agraria (Jaksel), Sajogyo Institute (Bogor), AKATIGA (Badnung), Edisi Baru, 2009, hlm. 66
[2] Muchsin, Imam Koeswahyono, dan Soimin, Hukum Agraria dalam Perspektif Sejarah, Bandung: Refika Aditama, 2007, hlm. 9
[3] Supomo dan Djoksutono, Sedjarah Politik Hukum Adat 1609-1848, Jakarta: Djambatan, Cetakan ke-4, 1955, hlm. 1
[4] Muchsin dkk.,Op.Cit., hlm. 10
[5] Herman Soesangobeng, Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria, Yogyakarta: STPN Press, 2012, hlm. 37
[6] Roestandi Adiwilaga, 1962 sebagaimana dikutip pada Muchsin dkk.,Op.Cit., hlm. 10
[7] Herman Soesangobeng, Op.Cit., hlm. 69
[8] Muchsin dkk.,Op.Cit., hlm. 11
[9] Mr R Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, Jakarta: Pradnya Paramita, xxxx, hlm. 43
[10] 46 Supomo dan Djoksutono, Op.Cit., hlm. 83
[11] Gunawan Wiradi, Reforma ….Op.Cit., hlm. 70-71
[12] Muchsin dkk.,Op.Cit., hlm. 13
[13] Soetandyo Wignjosoebroto, dalam monograf Untuk Apa Pluralisme Hukum ? Regulasi, Negosiasi, dan Perlawanan dalam Konflik Agraria di Indonesia, Jakarta: Epistema Institute, 2011, hlm. 29
[14] Herman Soesangobeng, Op.Cit., hlm. 37
[15] Elza Syarief, Op.Cit., hlm. 101
[16] Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum ..... ,Op.Cit., hlm. 24-25
[17] Herman Soesangobeng, Op.Cit., hlm. 167-168
[18] Cornelis van Vollenhoven, Orang Indonesia dan Tanahnya (De Indonesier en Zijn Ground), Yogyakarta: STPN Press, 2013, hlm. 16
[19] Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum .....Op.Cit., hlm. 32
[20] Elza Syarief, Op.Cit., hlm. 99
[21] Cornelis van Vollenhoven, Op.Cit., hlm. 168
[22] Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika, Cetakan ke-5, 2012, hlm. 48-49
[23] Gunawan Wiradi, Reforma ….Op.Cit., hlm.73
[24] Gunawan Wiradi, Reforma ….Op.Cit., hlm.80