Hukum Tanah dalam Hukum Agraria
Thursday, 15 September 2016
SUDUT HUKUM | Begitu beragam hukum yang
menjadi cakupan dari hukum agraria. Setiap pengaturan tersebut harus saling
berkesinambungan karena pengaturan yang satu akan mempengaruhi pengaturan yang
lainnya disebabkan kesamaan objek dasar pengaturan, yaitu tanah. Harus disadari
bahwa bagaimanapun hukum merupakan suatu sistem, yang keseluruhannya tidak
lepas dari nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Untuk itu, pengembangan suatu
bidang hukum (yang dikatakan netral sekalipun) juga akan berpengaruh kepada
bidang-bidang hukum lainnya. Misalnya, peraturan di bidang penanaman modal
mempunyai keterkaitan dengan masalah hukum pertanahan, yang di Indonesia belum
dapat disebut sebagai bidang yang netral.
Meskipun hukum agraria tidak
hanya membahas tanah, tapi umumnya perihal agraria ini lebih sering ditekankan
pada unsur pertanahannya.Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah
dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu
tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai tempat berpijak
di bumi ini menjadi kebutuhan dasar dalam kehidupan manusia sebagai makhluk
hidup.Setiap kegiatan sehari-hari selalu dilakukan di atas tanah, baik dengan
menempatinya untuk bangunan dan jalanan sampai dengan mengolahnya untuk
menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.
Pada kondisi tersebut, hukum
agraria memiliki peran dalam pengaturan pelaksanaan norma-norma hukum
pertanahan, tentang penggunaan dan pemanfaatan tanah sebagai benda tidak tetap
yang melahirkan hak perorangan untuk menikmati hasil tanah baik oleh masyarakat
maupun orang pribadi, maka haknya pun disebut hak agraria.
Di negara-negara
berkembang termasuk di Indonesia yang bercorak agraris, tanah memberikan warna
tersendiri bagi struktur masyarakatnya, seperti pernyataan seorang pakar:
Bukan saja karena kehidupan mayoritas penduduknya ditopang oleh tanah, tetapi dengan tanah itu pula kesadaran mereka terwujudkan, baik dalam bentuk kerja produktif maupun bentuk-bentuk kesenian serta kebudayaan lainnya. Secara singkat, seluruh bangunan pandangan hidup yang memberi arah bagi proses kemasyarakatan, bertolak dari dialektika kesadaran manusiawi dengan tanahnya.” (McAuslan : 1986, 22)
Pembicaraan mengenai hukum
agraria ini tidak dapat dilepaskan dari hubungannya dengan hukum tanah dan
hukum terkait benda-benda lain yang melekat bersama tanah (air, sumber daya
alam, dan ruang angkasa).Walaupun banyak unsur pertanahan dalam agraria, namun
cakupan hukum agraria sendiri sangat luas jika dibatasi hanya pada
pertanahan.Pengaturan hukum agraria ini harus selalu dilihat secara menyeluruh,
yakni mencakup urusan kepemilikan, penggunaan, atau penguasaan atas tanah dan
segala sesuatu yang berada di atas tanah maupun yang terkandung di dalamnya.
Kedudukan tanah tersebut
menjadi fokus terbesar yang akan sangat berpengaruh dalam hukum agraria karena
ruang lingkup hukum agraria melekat dengan unsur tanah. Hukum tanah dan hukum
agraria pun akan berjalan beriringan karena memiliki objek pengaturan yang sama
(tanah), maka pengaturan hak-hak penguasaan atas tanah perlu menjadi perhatian besar
dalam pengaturan hukum agraria. Tanah memiliki hierarki hak-hak penguasaan atas
tanah dalam hukum tanah nasional, yaitu:
- Hak bangsa Indonesia atas tanah;
- Hak menguasai dari negara atas tanah;
- Hak ulayat masyarakat hukum adat
- Hak perseorangan atas tanah; meliputi hak-hak atas tanah, wakaf tanah hak milik, hak jaminan atas tanah (hak tanggungan).
Berdasarkan pembagian hak
tersebut, diperlukan sebuah wujud pengaturan yang akan menjadi pedoman dalam
menggunakan hak-hak penguasaan atas tanah. Lalu hadirlah hukum tanah yang
merupakan keseluruhan peraturan-peraturan hukum, baik tertulis maupun yang
tidak tertulis yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang merupakan
lembaga-lembaga hukum dan hubungan-hubungan yang kongkrit dengan tanah.
Sebagai bagian dari hukum
agraria, pengaturan hukum tanah harus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan
dari hukum agraria.Sebagaimana ketentuan-ketentuan hukum tanah yang tertulis
bersumber pada UUPA dan peraturan pelaksanaannya yang secara khusus berkaitan
dengan tanah sebagai sumber hukum utamanya, sedangkan ketentuan hukum tanah
yang tidak tertulis bersumber pada hukum adat tentang tanah dari yurisprudensi
tentang tanah sebagai sumber hukum pelengkapnya.
Hukum tanah yang dalam UUPA
menganut konsep pemisahan hak atas tanah menggunakan asas hukum adat yaitu asas
pemisahan horizontal, di mana tanah terpisah dari segala sesuatu yang melekat
pada tanah, atau pemilik atas tanah terlepas dari benda yang terdapat di atas
tanah, sehingga pemilik hak atas tanah berbeda dengan pemilik hak atas benda
tersebut. Selanjutnya, Imam Sudyat menjelaskan asas pemisahan horizontal dalam
hukum adat ini terlihat jelas dalam hak numpang yang menunjukkan bahwa dalam
menumpang itu orang tidak ada sangkut pautnya dengan tanah tersebut, bahwa
orang itu tinggal dalam rumah di atas tanah, terlepas dari tanah meskipun ia
mempunyai rumah di situ, terlihat pula bahwa pohon-pohon dapat dijual dan
digadaikan tersendiri terlepas dari tanahnya. Konsep hukum tanah tersebut akan
menjadi induk bagi ketentuan lain dalam hukum agraria terkait hukum sumber daya
alam (air, pertanian, perkebunan, pertambangan, perikanan, kehutanan).
Pada
hakikatnya hukum agraria mengatur tentang hak-hak penguasaan dari tanah, sumber
daya alam, dan ruang angkasa.Namun pada dasarnya, hukum agraria secara sempit
memiliki pengertian sebagai hukum tanah.Oleh karena itu, perkembangan hukum
agraria ini perlu dilihat bersama dengan perkembangan hukum tanahnya.
Sayangnya, Maria S.W.
Sumardjono menyebut UUPA mengalami degradasi.Pelbagai undang-undang sektoral di
bidang sumber daya alam yang berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 tapi
tanpa merujuk UUPA. Menurut Maria, sudah banyak terbit peraturan pelaksana UUPA
namun dua masalah mendasar masih tersisa, yakni belum tersedia cetak biru (blue
print) kebijakan pertanahan yang komperhensif dan arah serta strategi
penyempurnaan UUPA belum jelas. Degradasi UUPA tersebut dapat terlihat dalam
peraturan-peraturan tentang pertambangan, kehutanan, pertanian, pertanahan, dan
lain sebagainya.
Hal itulah
yang menjadi faktor pemacu timbulnya konflik agraria di masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, perkembangan hukum agraria di Indonesia harus selalu
diperhatikan dan diperbaiki untuk mencapai keadilan atas hak agraria bagi
seluruh masyarakat Indonesia, sekaligus dalam rangka mewujudkan “reforma
agraria”81 yang merupakan amanat dari TAP MPR
No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
(SDA).Dengan demikian, kepastian hukum atas hak agraria setiap warga masyarakat
Indonesia dapat diwujudkan dalam rangka menuju kesejahteraan rakyat Indonesia.