Konsepsi Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik
Friday, 16 September 2016
SUDUT HUKUM | Sebagian besar muatan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan duplikasi Wetboek
van Strafrecht voor Nedherland Indie yang pada dasarnya sama dengan KUHP Belanda
(WvS). KUHP Belanda yang diberlakukan sejak 1 September 1886, merupakan
kitab undang-undang yang cenderung meniru pandangan Code Penal Perancis
yang sangat banyak dipengaruhi sistem hukum romawi.
Menurut KUHP setidaknya
dikenal tiga jenis tindak pidana terkait dengan penghinaan, yaitu
pencemaran sebagaimana diatur dalam Pasal 310 KUHP, fitnah diatur dalam Pasal
311 KUHP, dan penghinaan ringan dirumuskan dalam Pasal 315 KUHP. Setidaknya
ada tiga unsur agar tindak pidana penghinaan terpenuhi yaitu menyerang nama
baik, adanya unsr kesengajaan, dan di depan umum. Sedangkan menurut doktrin
dan yurisprudensi, penghinaan pada umumnya menggunakan ukuran pandangan
masyarakat atau ukuran objektif. Penghinaan harus merupapkan penghinaan dalam
anggapan masyarakat dimana penghinaan itu dilakukan (R.H. Sianaipar, 2002 ;
23-24)

Namun, tetap ada pembelaan bagi pihak yang dituduh melakukan pecemaran
nama baik apabila menyampaikan suatu onformasi ke publik. Pertama,
penyampaian informasi itu ditujukan untuk kepentigan umum. Kedua, untuk
membela diri. Ketiga, untuk mengungkapkan kebenaran. Sehingga orang yang
menyampaikan informasi, secara lisan ataupun tertulis diberi kesempatan untuk
membuktikan bahwa tujuannya itu benar. Kalau tidak bisa membuktikan
kebenarannya, itu namanya penistaan atau fitnah (M. Halim, 2009 ; 25).
Belum ada definisi hukum yang
tepat dalam sistem hukum di Indonesia tentang apa yang disebut pencemaran namabaik. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang selama ini
diberlakukan merupakan duplikasi Wetboek van Strafrecht voor
Nederland Indie yang
pada dasarnya sama dengan KUHP Belanda (WvS). Pasal-pasal dalam KUHP
yang mengatur pencemaran nama baik atau penghinaan sebagai aturan
pembatasan dalam kebebasan berekspresi dan kemerdeaan berpendapat, khususnya
bagi kalangan pers yang seringkali tak jelas dan lebih dimotivasi keinginan
dari pembuat undang-undang untuk membatasi akses masyarakat terhadap
informasi, terutama terhadap beragam informasi yang mempunyai dampak terhadap kehidupan masyarakat (M.
Halim, 2009 ; 14).