Maksud dan Tujuan Pembebasan Bersyarat
Friday, 16 September 2016
SUDUT HUKUM | Adapun
Pembebasan Bersyarat itu sendiri ialah upaya membina narapidana diluar Lembaga
Pemasyarakatan secara bersyarat sehingga bagian terakhir dari hukuman pidananya
tidak diialani. Bagian terakhir itu digantungkan pada suatu syarat yang harus
dipenuhi dlan masa percobaan dan untuk itu diadakan pengawasan. Terhadap
istilah Pembebasan Bersyarat ini semula belun ada kesamaan, ada yang menyatakan
pelepasan dengar perjanjian, ada pula yang mengatakan pelepasan Janggelartau
pelepasan dengan bersyarat.[1]
Semua
ini tidak mempengaruhi inti pengertian dari Pembebasan Bersyarat yaitu:
- Adanya bagian terakhir dari pidana tidak dijalankan (Biasanya sepertiga bagian dari sisa hukuman).
- Adanya masa percobaan yaitu sisa hukuman ditambah satu tahun.
- Adanya syarat umum dan syarat khusus yang harus dipenuhi selama masa percobaan.
- Adanya badan yang mengawasi masa percobaan tersebut.
Tindakan
ini disebut Pembebasan Bersyarat, karena melepaskan terhukum, mengangkat,
memindahkan narapidana dari keadaan yang tidak bebas yaitu keadaan-keadaan
dimana narapidana dibebani kewajiban bagian dirasakan.

Syarat-syarat tersebut harus dipenuhi dalam masa pcrcobaan dan bila dilanggar
akan mengakibatkan pencabutan Pernbebasan Sersyarat itu dan kemudian kepadanya
diwajibkan menjalani sisa hukumannya lagi. Di dalam melaksanakan Pembebasan
Bersyarat yang diberikan kepada narapidana tersebut diperlukan adanya
pengawasan, bimbingan dan pembinaan agar narapidana itu/ tidak akan melanggar
lagi suatu perbuatan yang dapat diancam dengan hukuman, tidak akan melakukan
suatu perbuatan' yang berkelakuan kurang baik. Karena itulah disebut Pembebasan
Bersyarat arti pentingnya terletak pada masa peralihan (dalam tahap integrasi)
dari kehiduan dalam Lembaga Pemasyarakatan yang serba terbatas, Menuju
kehidupan yang merdeka. Masa percobaan ini adalah masa merdeka yang dibatasi
dengan kewajiban memenuhi syarat-syarat guna melangkah ke masa kehidupan yang
merdeka penuh.
Adapun yang menjadi maksud daripada Pembebasan Bersyarat
adalah pandangan bahwa, selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana
harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan. Masalah ini
dapat menimbulkan salah pengertian ataupun dapat dianggap sebagai masalah yang
sukar dimengerti. Karena justru pada waktu mereka menjalani pidana hilang
kemerdekaan, yang menurut faham lama ialah identik dengan pengasingan dari
masyarakat sedangkan menurut sistem Pemasyarakatan, mereka tidak boleh
diasingkan dari rnasyarakat. yang dimaksud sebenarnya disini bukan "geographical"
atau "Physical" tidak diasingkan akan tetapi Cultural"
tidak diasingkan, hingga mereka tidak asing dari masyarakat dan kehidupan
masyarakatnya. Bahkan merek,a k.emudian secara bertahap akan dibimbing di luar
Lembaga (ditengah-tengah masyarakat) hal ini merupakan kebutuhan 'dalam suatu
proses pemasyarakatan. Dan memang sistem Pemasyarakatan didasarkan pada
pembinaan yang "Community-Centerebd", serta berdasarkan inter
aktivitas dan inter-diciplinair approach antar unsur-unsur pegawai, masyarakat
dan narapidana.
Pada tahap pembinaan pemasyarakatan yang terkhir ini diberikan
terhadap narapidana yang telah menjalani dua pertiga dari masa pidana yang
sebenarnya dan sekurang-kurangnya selama sembilan bulan, dengan disertai suatu
ketentuan bahwa menurut Tim Pengamat Pemasyarakatan narapidana yang
bersangkutan dalarn pembinaannya rnengalami kemajuan serta berjalan dengan lancar
dan baik. Dalam tahap pembinaan narapiana benar-benar sudah berada di
tengah-tengah bebas. Dengan lain perkataan wadah dalam berupa masyarakat luar,
dengan pengawasan dan bimbingan yang makin lama makin berkurang akhirnya
dilepas sama sekali. Dengan demikian diharapkan narapidana dapat hidup dalam
keadaan harmonis dan dapat menyesuaikan diri dengan norma-norma dan nilai nilai
yang berlaku dalam masyarakat lingkungannya.
Tujuan pembebasan bersyarat, terlebih dahulu penulis akan
mengutarakan tentang tujuan hukuman ialah sebagai yang ditimbulkan karena
dendam. Disini azas pembalasan, sehingga oleh Borvger bahwa . "hukuman ini
ditimbulkan karena dendam".[2] Kejahatan yang ditimbulkan harus diimbangi
dengan hukumn yang setimpal dengan pengenaan penderitaan baginya. Dalam hukum
adatpun, tujuan hukuman itu berupa pembalasan, yaitu biasanya berupa hukuman
adat yang timbul dari reaksi masyarakat terhadapnya. Mereka diasingkan atau
dibuang dari masyarakat dan tidak diakui sebagai anggota masyarakat lagi.
Keadaan seperti ini adalah sama dengan masuk penjara yang merupakan tempat
pengasingan belaka, bagi mereka yamg telah melakukan kejahatan.[3]
Kemudian timbul keberatan-keberatan terhadap tujuan yang
seperti di atas, lalu timbullah pikiranpikiran baru bahwa tujuan hukuman itu
ialah bertujuan mempertahankan tata tertib dalam masyarakat untuk melindungi
masyarakat dari kejahatan. Bila kita perhatikan tujuan hukuman yang demikian,
lalu memperbandingkannya dengan mereka yang terkena hukuman ternyata hukuman
itu berat sebelah yaitu hanya menitik beratkan pada masyarakat saja, sedangkan
terhukum tidak diperhatikan sama sekali. Tidak ada usaha memperbaiki terhukum
agar menjadi baik kembali sebagai warga masyarakat yang berbudi baik dan
bertanggung jawab. Yang ada hanyalah memulihkan antara dunia lahir dan dunia
gaib. Kita maklumi bersama bahwa terhukum adalah manusia biasa, hamba Tuhan
yang mempunyai hak hidup serta tidak luput kesalahan-kesalahan baik disengaja
maupun tidak disengaja.
Adapun terhadap kebiasaan itu bila belum terlanjur buruk demi
Tuhan bisa kita perbaiki bersama. Karena adalah manusia Indonesia yang memiliki
satu yaitu bangsa Indonesia, tidak boleh antara suku yang satu dengan suku yang
lain, sama-sama mempunyai kedudukan sebagai individu, harga diri juga sebagai
pendukung hak dan masyarakat maka kepadanya berhak kita berikan pendidikan,
pembinaan dan membimbing mereka ke jalan yang benar dan baik agar nantinya bisa
kembali ke masyarakat sebagai tenaga yang positif dan konstruktif. Dari hal-hal
di ataslah kemudian tujuan hukuman di sarnping menimbulkan rasa derita, juga
melindungi masyarakat (sosial preventin) dan mendidik terhukum, mernbina serta
membimbingnya agar kelak menjadi manusia yang bmik, berguna dan bertanggung
jawab.
Pembebasan bersyarat yang merupakan bagian dari pada hukum
nasional lebih menonjolkan pada segi pendidikannya dan pada masa percobaannya.
Bagi narapidana yang mendapatkan Pembebasan Bersyarat, masa percobannya
merupakan masa peralihan dari alam tidak bebas ke alam merdeka. Dalam masa itu
narapidana dibebani tanggung jawab untuk berikhtiar ke arah kebaikan. Dengan
demikian narapidana diharapkan dapat membiasakan berbuat baik, kebiasaan mana
nanti bisa dilanjutkan setelah berada di tengah-tengah masyarakat dalam keadaan
merdeka penuh. Jelaslah bahwa Pembebasan Bersyarat bertujuan mendidik
narapidana, hal mana syarat-syarat itu disamping merupakan pelajaran baginya
juga sebagai ujian untuk nantinya bisa berhasil di alam merdeka penuh.
Selanjutnya juga merupakan pendorong bagi narapidana untuk berkelakuan baik dalam
Lembaga Pemasyarakatan, walaupun diketahui olehnya bahwa berkelakuan baik dalam
Lembaga Pemasyarakatan itu saja belumlah dapat menentukan.
Sungguhpun demikian orang berkelakuan baik itu mempunyai
pengaruh dalam artian bahwa yang tidak berkelakuan baik tidak akan mendapat
Pembebasan Bersyarat. Tujuan Pembebasan Bersyarat yang dernikiun itu adalah
sesuai benar bahkan mencerminkan tujuan hukum maka tujuan hukuman pidana yang
diterapkan, dismping berfungsi pengayoman yang berwujud membimbing manusia untuk,
dengan kepribadian yang penuh menjadi warga masyarakat yang baik dengan patuh
bersama-sama dengan warga masyarakat yang lain ikut men-,bangun negara menuju
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar
1945.
Muladi, dalam melihat tujuan pernidanaan, cenderung untuk
mengadakan kombinasi tujuan pemidanaan yang dianggapnya cocok atas dasar
alasan-alasan yang bersifat sosiologis, ideologis dan filosofis masyarakat
Indonesia. Perangkat tujuan pemindanaan yang bersifat ,integratif tersebut
adalah sebagai berikut. Perlindungan masyarakat, memelihara solidaritas
masyarakat, pencegahan (umum dan khusus) dan pengimbalan atau pengimbangan.[4]
Ditinjau dari sudut narapidana : Pembebasan Bersyarat akan
pendidikan baginya untuk berbuat baik serta; sangat mendororng kearah kebaikan.
Cara yang demikian diharapkan nantinya menjadi kebiasaan dalarn masyarakat.
Dipandang dari sudut masyarakat : maka masyarakat merasa
dilindungi terhadap narapidana, sebab si narapidana masih pengawasan yang
berwajib, sehingga tidak usah akan adanya gangguan dari mereka. Pembebasan
Bersyarat masyarakat tidak akan ketenangannya, karena sebelum ia dilepas sudah
dimintakan persetujuan dari masyarakat menerimanya, disertai surat pernyataan
dari Desa, Kecamatan, Polisi dan lain-lain yang Untuk menerima di daerahnya
serta sikap dan pandangan masyarakat terhadapnya.
Dengan demikian jelas pembebasan bersyarat ini mencerminkan
tujuan Hukum Nasional kita yang kompleks itu sehingga pada tempatnya kalau
hukum Pidana Nasional kita akan mengaturnya di dalam sistem pidana yang
mengandung arti pengayoman.
Peraturan-peraturan mengenai pembebasan bersyarat yaitu
menjadi dasar hukum untuk mernberikan narapidana pembebasan bersyarat,
Pencabutannya, penahanannya diatur dalam Pasal 15, 15a, 15b, dan 16 Huku Kesatu
Hab II kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dasar hukum melepas seorang narapidana
dengan Pembebasan bersyarat ialah Pasal 15 dan 15a KUHP. Pasal ini mnengatur
Pembebasan Bersyarat yang mempunyai pengertian bahwa bila salah satu dari
syarat di atas tidak ada, maka tidak dapat disebut Pembebasan bersyarat
sehingga tidak sampai pada arti Dari Pembebasan Bersyarat yang merupakan masa
peralihan.
Begitu pula kalau masa percobaannya tidak ada, maka akan
menjadi persoalan sampai kapan syarat-syarat itu harus dipenuhi sehingga tidak
ada kepastian sampai kapan narapidana mendapat kemerdekaan terbatas dan kapan
dapat diambil tindakan kalau syarat-syarat tidak dipenuhi. Demikian pula kalau
ada pengawasan maka efeknya sama dengan tidak ada syarat-syarat, sebab tidak
ada yang akan menilai buruk baiknya perbuatan mereka, sehingga mereka kan dapat
berbut sekehendak hatinya. Berikut ini penulis akan tinjau Pasal demi Pasal
yang mengatur Pembebasan Bersyarat : Pasal 15 (1) KUHP.
Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya
pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, yang sekurang-kurangnya harus
sembilan bulan, maka kepadanya dapat diberikan pembebasan bersyarat. Jika
terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut-turut, pidana itu dianggap
sebagai satu pidana.
Dalam hal ini jika narapidana telah menjalani dua pertiga
dari lamanya pidana yang dijatuhkan kepadanya dapat diberikan Pembebasan
Bersyarat. Jika narapidana menjalani beberapa pidana berturut-turut maka semua
pidana yang dijatuhkan kepadanya dijadikan satu pidana. Pasal di atas akan
dikupas lebih lanjut dalam masalah persyaratan yang harus dicukupi di dalam
pernberian Pembebasan Bersyarat. Pasal 15 (2) KUHP.[5]
Dalam memberikan pelepasan bersyarat, ditentukan pula suatu
masa percobaan, serta ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa
percobaan. Pasal 15 (3) KUHP. Masa percobaan itu lamanya sama dengan sisa waktu
pidana penjara yang belum dijalani, ditambah satu tahun. Jika terpidana ada
dalam tahanan yang sah, maka waktu itu termasuk masa percobaan. Dalam pemberian
Pembebasan Bersyarat ditentukan pula suatu masa percobaan, serta ditetapkan
syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan. Masa percobaan itu
lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani ditambah satu
tahun.
Jika narapidana ada dalam tahanan yang sah waktu itu tidak
termasuk masa percobaan. Jadi kedua Pasal di atas mengatur masa percobaan yaitu
bahwa lamanya masa percobaan adalah sisa pidana yang belum dijalani ditambah
satu tahun.
__________________
[1] R. Soesilo,1989, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal, Penerbit Politeia, Hogor, hal. 17.
[2] W.A.Bonger,1987, Pengantar Tentang Kriminolooi, Pustaka Sarjana, PT. Pembangunan, Jakarta, hal. 170. 71
[3] R.A.S. Soemadipradja, Romli Atmasasmita, 1989, Sisten Pemasyarakat.an di Indonesia, Penerbit Bina Cipta, Bandung, hal. 4.
[4] Muladi, 1995, Lembaga Pidana Bersyarat, Penerbit Alumni Bandung, hal. 11.
[5] Moeljatono,1990. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Penerbit Hurni Aksiara, Jakarta, hal. 12.