Maqashid menurut Izzudin Ibn Abd al-Salam (wafat th 660 H)
Tuesday, 13 September 2016
SUDUT HUKUM | Mengkaji Maqashid syari’ah tidak
boleh melewatkan nama al-Izz Abd al-Salam. Sebagai ahli fiqh al-Syafi’ie yang
banyak menulis fatwa dan takhrij fiqh, Izzudin yang dijuluki “sultan para ulama”
menulis buku penting berjudul Qowaid al-ahkam fi mashalih al-anam yang
merangkum pemikiran tentang Maqashid
al-syari’ah.[1]
Dalam pengantar Qawaid
al-Ahkam, Izzudin mengatakan syari’ah yang dibebankan oleh Allah swt kepada
hamba-Nya mengarah kepada kebaikan, sedangkan larangan Allah swt mengarah
kepada keburukan.
Cara mengetahui maslahat menurut
Izzudin ditentukan oleh rasio. Hal yang mendatanglkan kebaikan atau
kemaslahatan adalah hal terpuji, sebaliknya hal hal yang mencegah kemadharatan
agar tidak menyengsarakan hidup manusia juga hal terpuji, inilah yang di maksud
Izzudin pengetahuan yang bertumpu pada rasio. Dapat dinalar dan difahami oleh
nalar manusia. Dan jika terjadi benturan antara dua maslahat, diupayakan
memilih mana di antara dua yang paling minim resiko buruknya.
Meski penjelasan tentang maslahat
Izzudin diatas tidak mewakili seluruh pemikiran Maqashid al- Syari’ah namun
setidaknya dapat diraba bahwa beliau sangat detail mengulas teori Maqashid. Sikapnya
tegas, akal merupakan wahana untuk mengetahui tujuan agama. Pandangan ini berbeda
dengan ulama ushul sebelumnya. Kendati memberi ruang kebebasan pada akal,
izzudin masih mengikat pemahamanya dengan teksteks agama atau Nash Syar’i.
Sekilas Izzudin terpengaruh
al-Ghozali pada pembagian maslahat menjadi, maslahat duniawi yang dapat
dikenali dan diketahui melalui penalaran akal atau adat, dan maslahat ukhrowi
yang dapat dikenali atau diketahui melalui ajaran agama. Selain pembagian yang
duniawi dan ukhrowi, ia juga membagi maslahat menjadi tiga macam: Al-dhoruriyyah,
al-hajiyyah, dan al-tahsiniyyah.
Hanya saja pembagian tersebut
terlihat masih samar dibalik pembagian macam-macam maslahat dan mafsadah yang
begitu banyak. Lalu pada al-dhoruriyyah, Izzudin memasukan aliradh (kehormatan) untuk melengkapi
lima maslahat primer al-Ghozali. Jika maslahat primer menurut al-Ghozali itu
ada lima: agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. Di tangan Izzudin, maslahat
primer digemukan menjadi enam: agama, jiwa, keturunan, kehormatan, akal, dan
harta. Dalam konteks ini, Izzudin adalah ulama ushul pertama yang mencantumkan
kehormatan (al-iradh) dalam al-mashalih aldharruriyyah.
[1]
Muhammad
Mustafied, dkk,”Peta Pemikiran Ulama Ushul tentang Maqashid alsyari’ah: Menuju Kontekstualisasi dan
Reformulasi”, (Yogyakarta: Jurnal MLANGI, Volume I No 3
November 2013) hlm. 42.