Pembagian Maqasid Al-Syari’ah
Wednesday, 21 September 2016
SUDUT HUKUM | Dalam memaparkan hakikat Maqasid
Al-Syari’ah, telah dikemukakan bahwa dari segi
substansi Maqasid Al-Syari’ah adalah kemaslahatan. Kemaslahatan dalam
taklif Tuhan dapat berwujud dalam dua bentuk, pertama dalam bentuk
hakiki, yakni manfaat langsung dalam arti kausalitas, kedua, dalam
bentuk majazi yakni bentuk yang merupakan sebab yang membawa kemaslahatan.[1]
Sebagian besar masalah yang terdapat dalam Ushul Fiqh tidak
memperdulikan hikmah syariah dan tujuannya, tetapi hanya sekedar
berputar-putar pada wilayah pengambilan hukum dari lafadz asy- Syari
melalui kaidah-kaidah kebahasaan yang jelas-jelas memungkinkan bagi
orang yang menguasainya untuk melepaskan furu dan rsquo; dari
hikmah dan tujuan syariah. Menurut alsyatibi kemaslahatan tersebut dilihat
dari dua sudut pandang.
Dua sudut pandang itu adalah:
- Maqasid Al-Syari’ (Tujuan Tuhan)
- Maqasid Al-mukalaf (Tujuan Mukallaf)
Maqasid Al-Syrai’ah dalam arti
Maqasid al-Syari’, mengandung empat aspek. Keempat aspek
tersebut adalah:
- Tujuan awal dari syari’at yakni kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat
- Syari’at sebagai sesuatu yang harus di fahami
- Syari’at sebagai hukum taklif yang harus dilakukan, dan
- Tujuan syari’at adalah membawa manusia ke bawah naungan hukum.
Aspek pertama berkaitan dengan
muatan dan hakikat maqasid al sayri’ah. Aspek kedua berkaitan
dengan dimensi bahasa agar syariat dapat dipahami sehingga dicapai
kemaslahatan yang dikandungnya. Aspek ketiga berkaitan dengan
pelaksanaan ketentuan-ketentuan syari’at dalam rangka mewujudkan kemaslahatan.
Ini juga berkaitan dengan kemampuan manusia untuk melaksanakanya.
Aspek yang terakhir berkaitan dengan kepatuhan manusia sebagai
mukallaf di bawah dan terhadap hukum-hukum Allah atau dalam istilah yang
lebih tegas aspek tujuan syari’at berupaya membebaskan manusia dari
kekangan hawa nafsu.[2]
Apabila tujuan dari suatu
larangan adalah bentuk perbuatan, maka tidak diperbolehkan menggunakan
sifat yang tidak berhubungan dengan esensi dari perbuatan itu
sendiri.[3] Aspek pertama sebagai inti dapat
terwujud melalui pelakasanaan taklif atau pembenahan hukum
terhadap para hamba sebagai aspek ketiga.
Taklif tidak dapat dilakukan
kecuali memiliki pemahaman baik dimensi lafal maupun maknawi
sebagaimana aspek kedua. Pemahaman dan pelaksanaan taklif ini dapat
membawa manusia berada dibawah lindungan hukum Tuhan, lepas dari
kekangan hawa nafsu, sebagai aspek keempat.
Dalam keterkaitan demikianlah
tujuan diciptakan syariat yakni kemaslahatan manusia di dunia dan
di akhirat, sebagai aspek inti, dapat diwujudkan.
Dalam rangka pembagian Maqasid
Al-Syari’ah, aspek pertama sebagai aspek ini menjadi focus
analisi. Sebab, aspek pertama berkaitan dengan hakikat pemberlakuan
syariat oleh tuhan. Hakikat atau tujuan awal pemberlakuan syari’at adalah
untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Kemaslahatan itu dapat diwujudkan
apabila unsur pokok dapat diwujudkan dan dipelihara. Kelima unsur
pokok itu, kata al-Sytaibi adalah agama, jiwa keturunan, akal dan harta. Dalam
usaha mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok itu, ia membagi
kepada tingkat maqasid atau tujuan syari’ah, yaitu:
- Maqashid al-daruriyat
- Maqashid al-Hajiyat, dan
- Maqashid al-Tahsiniyat.
Maqasid al
Daruriyat dimaksud
untuk memelihara lima unsur pokok dalam kehidupan manusia di
atas. Maqasid al- Hajiyat dimaksud untuk menghilangkan kesulitan
atau menjadikan pemeliharan terhadap lima unsur pokok menjadi lebih
baik lagi. Sedangkan Maqasid al Tahsiniyat dimaksudkan agar
manusia dapat melakukan yang terbaik untuk penyempurnaan pemeliharaan
lima unsur pokok.
Tidak terwujudnya aspek daruriyat
dapat merusak kehidupan manusia dunia dan akhirat secara
keseluruhan. Pengabian terhadap aspek hajiyat, tidak sampai merusak
keberadaan lima unsur pokok, akan tetapi hanya membawa kepada kesulitan
bagi manusia sebagai mukallaf dalam merealisasikanya. Sedangkan
pengabaian aspek tahsiniyat, membawa upaya pemeliharaan lima unsur
pokok tidak sempurna. Sebagai contoh, dalam memelihara unsur agama,
aspek daruriyatnya antara lain mendirikan salat. Salat merupakan aspek
darurariyat, keharusan menghadap kiblat merupakan aspek hajiyat, dan
menutup aurat merupakan aspek tahsiniyat.
Dalam rangka pemahaman dan
dinamika hukum Islam, pengkategorian yang dilakukan
oleh Al-syatibi kedalam tiga macam Maqasid itu perlu pula dilihat
dalam dua klompok besar pembagian yaitu segi keduniaan dan segi
keahiratan. Secara tegas al-Syitibi memang tidak menyebutkan pembagian terakhir
ini. Akan tetapi apabila kita memahami pemikiran al-syatibi dalam
kitabnya Al-Muafaqot, bertolak dari batasan bahwa al-Maqasid adalah kemaslahatan,
maka dapat dikatakan bahwa ia juga membagi maqasid atau tujuan
hukum kepada oreentasi kandungan.
Kedua kandungan itu adalah:
- Al-masalih al-Dunyawiyyah (tujuan kemaslahatan dunia)
- Al-masalih al-Ukhrowiyyah (tujuan kemaslahatan akhirat)
[1]
Husen
Hamid Hasan, Nazariyah al maslahah fi al-fiqih al-islam, (Mesir: dar al Nahdhah
al-arabiyah, 1971), Hal. 5
[2]
Asafri
Jaya Bakri, Konsep Maqashid Al-Ssyari’ah menurut AL-Syatibi, (Jakarta:
PT. Raja
Grafindo Persada, 1996), hlm 70
[3]
Muhamad
Hashim kamali, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam ‘ushu al-Fiqh’ (Yogyakarta
: Pustaka pelajar, 1996), Hal. 186