Pengaturan Peninjauan Kembali dalam KUHAP
Wednesday, 21 September 2016
SUDUT HUKUM | Lembaga PK adalah produk hukum
yang baru mendapatkan perhatian di Indonesia sejak tahun 1979 ketika pengadilan melakukan
kesalahan dalam memberikan hukuman penjara kepada orang yang tidak melakukan tindak
pidana seperti yang didakwakan. Kasus Sengkon dan Karta yang terkenal itu mendorong masuknya
PK dalam KUHAP yang sedang di bahas di Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (selanjutnya disingkat DPR RI) saat itu.
R.O. Tambunan sebagai pelaku
sejara masuknya PK di dalam KUHAP (pada saat itu anggota DPR RI yang ikut membahas soal
PK) sebagaimana dikutip oleh Abdul Azis (2004: 59) menyatakan, bahwa “PK
diperuntukkan bagi terpidana atau ahli warisnya, bukan diperuntukkan bagi jaksa penuntut umum. Sebab,
spirit PK adalah untuk melindungi terhukum yang tidak bersalah. Dengan demikian, hakim
seharusnya secara otomatis menolak PK yang diajukan oleh jaksa penuntut umum”.
Pengaturan PK dalam KUHAP
ditentukan dalam Pasal 263 sampai dengan Pasal 268. adapun landasan filosofisnya sebagaimana
dikemukakan oleh R.O. Tambunan diwujudkan dalam norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang
menentukan “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat
mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung” (dalam Abdul Azis
(2004: 61).
Ketentuan Pasal 263 ayat (1)
KUHAP sebagaimana dikutipkan di atas, secara tersurat dan tegas menyatakan, bahwa terpidana atau
ahli warisnya yang dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
Dengan demikian, dari sisi legal formal telah jelas bahwa hak untuk mengajukan PK merupakan
hak terpidana atau ahli warisnya.
Ketentuan Pasal 263 ayat (1)
KUHAP merupakan kehendak pembentuk undang-undang. Hakim tidak dibenarkan membuat tafsir
dengan melanggar kehendak pembentuk undang-undang.
Menurut H. Adami Chazawi dalam
Majalah Gatra 19 Agustus 2009, hal. 23, “Norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut merupakan
norma yang sudah jelas, limitatif, dan tuntas, maka bersifat tertutup (lihat Penjelasan Pasal
263). Rumusan norma hukum yang demikian tidak dapat ditafsirkan lagi (interpretation
cessat in claris)”. Dengan kata lain, berdasarkan ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, kecuali
terpidana atau ahli warisnya tidak seorang pun, baik atas nama pribadi ataupun lembaga yang
dapat mengajukan PK.
Adapun Pejelasan Pasal 263 KUHAP
menentukan “Pasal ini memuat alasan secara limitatif
untuk dapat dipergunakan meminta
peninjauan kembali suatu putusan perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Ketentuan Pasal 263 ayat (1)
KUHAP yang menyatakan, bahwa hanya terpidana atau ahli warisnya yang berhak mengajukan
PK ditegaskan kembali oleh KUHAP melalui ketentuanketentuan, antara lain sebagai berikut:
- Pasal 264 ayat (1) KUHAP yang menentukan, “Permintaan peninjauan kembali oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) diajukan kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya”.
- Pasal 265 ayat (1) KUHAP yang menentukan, “Ketua pengadilan setelah menerima permintaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) menunjuk hakim yang tidak memeriksa perkara semula yang dimintaklan peninjauan kembali itu untuk memeriksa apakah permintaan peninjauan kembali tersebut memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2)”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 263
ayat (1), Pasal 264 ayat (1), dan Pasal 265 ayat (1) KUHAP, jelaslah dan tidak diragukan lagi
bahwa PK yang diatur oleh KUHAP adalah upaya hukum yang diperuntukkan bagi terpidana atau
ahli warisnya untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berbentuk putusan pemidanaan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pernyataan bahwa hak untuk
mengajukan PK merupakan hak terpidana, sesungguhnya juga telah tersurat dalam rumusan Pasal 1
angka 12 KUHAP, yang menentukan bahwa yang dimaksud “Upaya hukum adalah hak terdakwa
atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan
atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan
kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.
Abdul Azis (2004: 64) menyatakan,
bahwa “Ketentuan Pasal 1 angka 12 KUHAP sudah sangat jelas dan tidak dapat ditafsirkan
lagi, bahwa upaya hukum yang dimiliki oleh terdakwa dan penuntut umum adalah hak untuk
tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi.
Sedangkan PK merupakan upaya hukum yang hanya merupakan hak dari terpidana”.
Untuk mengimbangi hak terpidana
berupa PK, KUHAP memberi hak kepada Jaksa Agung untuk mengajukan satu kali permohonan
Kasasi Demi Kepentingan Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 259, yang menentukan:
(1) Demi kepentingan hukum
terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain
selain daripada Mahkamah Agung, dapat diajukan satu kali permohonan kasasi oleh
Jaksa Agung”.
(2) Putusan kasasi demi
kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan.
Jika ketentuan Pasal 259 KUHAP
dibandingkan dengan ketentuan Pasal 263 KUHAP, dilihat dari obyeknya terdapat perbedaan
yang signifikan antara kasasi demi kepentingan hukum dengan PK.
Kasasi demi kepentingan hukum
hanya dapat diajukan oleh Jaksa Agung terhadap putusan
pengadilan negeri dan pengadilan
tinggi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, baik
terhadap putusan pemidanaan
maupun terhadap bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum.
PK yang merupakan hak terpidana
atau ahli warisnya dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan tetap, baik putusan pengadilan negeri, putusan pengadilan tinggi, maupun putusan
MARI. Pengajuan PK hanya semata-mata untuk kepentingan terpidana atau ahli warisnya.
karena itu PK tidak dapat diajukan terhadap putusan bebas.
Menurut Adami Chazawi (2008: 265)
“ketentuan Pasal 263 (2) KUHAP, ada tiga alasan diajukannya PK, yaitu :
- adanya keadaan baru;
- ada beberapa putusan yang saling bertentangan; dan
- putusan memperlihatkan adanya suatu kekhilafan hakim atau kekeliruan nyata. Ketiga alasan ini dikenal sebagai syarat materiil pengajuan PK”.
Selanjutnya dinyatakan oleh Adami
Chazawi (2008: 265-266):
- Keadaan baru sebagai salah alasan diajukannya PK adalah suatu keadaan yang sudah ada sebelum/pada saat sidang-pemeriksaan perkara berlangsung, yang baru diketahui setelah putusan menjadi tetap. Sesungguhnya yang baru bukan keadaannya. Keadaan tersebut sudah ada pada saat sidang berlangsung, bahkan sebelumnya. Namun baru diketahui keberadaannya dari alat-alat bukti yang baru diketahui setelah perkara diputus dan menjadi tetap. Alat- bukti ini sesungguhnya juga bukan alat bukti baru, melainkan alat bukti yang sudah ada pada saat sidang berlangsung, bahkan sebelumnya, namun belum diajukan dan diperiksa di sidang, oleh sebab berbagai hal.
- Pelbagai putusan yang saling bertentangan, adalah terdapatnya dua atau lebih putusan yang saling berhubungan dan bersifat saling menentukan terhadap satu dengan yang lain secara timbal balik, dimana pertimbangan hukumnya atau amar putusannya saling bertentangan.
- Putusan yang memperlihatkan kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata, merupakan kesalahan hakim dalam memutus perkara. Disebabkan oleh banyak hal dan keadaan yang sangat luas. Dapat dicari dalam beberapa keadaan, antara lain:
- Pertimbangan hukum putusan maupun amarnya secara nyata bertentangan dengan azas-azas hukum dan norma hukum;
- Putusan tersebut melampaui kewenangan hakim;
- Amar putusan yang sama sekali tidak didukung oleh pertimbangan hukum;
- Amar putusan menyimpang jauh dari pertimbangan hukum;
- Putusan dibuat atas pelaksanaan peradilan yang menyalahi prosedur;
- Putusan peradilan yang sesat, baik karena kesesatan fakta maupun kesesatan hal hukumnya.
- Pengadilan telah melakukan penafsiran suatu norma yang secara jelas melanggar kehendak pembentuk UU mengenai maksud dibentuknya norma tersebut;
- Pengadilan telah menafsirkan suatu norma di luar cara-cara yang lazim & dikenal dalam doktrin hukum. Penafsiran suatu norma secara bebas, tanpa landasan teoritis dan diluar logika hukum. Penafsiran yang merusak (interpretatio est perversio).
- Putusan yang mengakibatkan norma hukum yang sudah jelas, tuntas menjadi berubah/berlainan atau norma yang sudah limitatif menjadi bertambah, norma yang tertutup menjadi terbuka.