Pengertian Hukuman kebiri Bagi Pelaku Tindak Pidana Pedophilia
Wednesday, 14 September 2016
SUDUT HUKUM | Penggunaan istilah hukuman yang berasal dari istilah Belanda
“straf” dalam hukum pidana sering dikenal dengan istilah “sanksi” atau juga
disebut dengan “pidana”. Adapun unsur-unsur dan ciri-ciri pidana sebagaimana dikemukakan
oleh Mahrus Ali, sebagai berikut:[1]
- Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan yang tidak menyenangkan.
- Pidana diberikan dengan sengaja oleh pihak yang berwenang.
- Pidana dikenakan bagi seorang yang melakukan tindak pidana sebagaimana yang tertera dalam undang-undang.
- Pidana merupakan pencelaan Negara terhadap seseorang karena telah melanggar hukum.
Berdasarkan ciri-ciri di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
hukuman ialah pengenaaan penderitaan yang tidak menyenangkan oleh pihak yang
berwenang bagi seorang yang melakukan tindak pidana sebagaimana yang tertera
dalam undang-undang sebagai bentuk pencelaan negara terhadap seseorang karena
telah melanggar hukum.
Pengertian pedophila sebagaimana dikemukakan oleh Sawitri Supardi,[2] yaitu
kelainan perkembangan psikoseksual dimana individu memiliki hasrat erotis yang
abnormal terhadap anak-anak. Yang dimaksud anak menurut UU Nomor 3 tahun 1997
menyatakan bahwa dikatakan sebagai anak jika memenuhi du syarat pokok. Pertama,
anak dibatasi dengan umur delapan sampai delapan belas tahun. Kedua, si anak
belum pernah menikah, maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan atau
pernah kawin dan kemudian cerai. Apabila si anak sedang terikat dalam
perkawinan atau perkwinannya putus karena perceraian, maka si anak dianggap
telah dewasa meskipun umurnya belum mencapai delapan belas tahun. Sedangkan
dalam Pasal 45 KUHP menyatakan bahwa yang disebut anak ialah yang belum mencapai
usia enam belas tahun.
Tindak pidana Pedophilia mayoritas dialami oleh kaum laki-laki. Kejahatan
semacam ini bisa heteroseksual atau homoseksual. Yang dimaksud kejahatan
heteroseksual adalah melakukan tindak pidana pedophilia terhadap lawan jenis,
sedangkan homoseksual terhadap sesama jenis. Penderita pedophilia tidak hanya
dialami oleh orang yang tidak mempunyai pasangan, tidak jarang pelaku kejahatan
tersebut adalah orang-orang yang sudah berkeluarga.
Pelaku kejahatan pedophilia ini disebut dengan pedophilie.
Kejahatan yang dilakukan kaum pedophilie identik dengan pencabulan, dalam pencabulan
ini kekerasan jarang dilakukan meskipun demikian tidak menutup kemungkinan hal
itu dapat terjadi. Sejumlah pedophilie yang diklasifikasikan ke dalam kelompok
sadistis seksual atau psikopatik biasanya menyakiti objek nafsu mereka secara
fisik yang dapat menyebabkan cedera serius. Perkosaan merupakan suatu tindakan
yang dapat dikenakan hukum pidana di Indonesia, namun persoalannya korban harus
menyediakan dua saksi untuk peristiwa tersebut yang mana hal tersebut
menyulitkan bagi anak-anak.
Kejahatan yang biasa dilakukan misalnya dengan membelai rambut si anak,
memainkan alat kelamin si anak, menyuruh si anak untuk memainkan alat
kelaminnya, memasukkan alat kelaminnya kepada si anak, menganiaya, bahkan
membunuhnya. Kejahatan yang dilakukan pedophilie tersebut disertai dengan
ancaman kepada si anak, seperti mengancam agar tidak memberitahu perbuatannya
kepada siapa pun. Secara viktimologi, anak adalah salah satu kelompok rentan
yang wajib mendapatkan perlindungan dari Negara karena keberadaan anak secara
fisik dan psikis tidak mampu melindungi dirinya.
Seorang pedophilie memiliki ketertarikan subjektif yang kuat untuk mendorong
kejahatan pedophilia terhadap anak-anak yang masih di bawah umur. Pada umumnya
pedophilie mengenal anak-anak yang mereka cabuli, seperti tetangga atau teman
keluarga. Konsumsi alkohol dan stress kemungkinan dapat meningkatkan hasrat
pedophilie untuk mencabuli anak. Pedophilie memiliki fantasi seksual tentang
anak-anak saat mood mereka sedang negatif. Pedophilia juga memiliki kematangan
sosial, harga diri, pengendalian impuls dan keterampilan sosial yang rendah.
Terdapat tiga cara penanganan kelainan pedophilia ini. Pertama, penanganan
kognitif, misalnya melakukan pelatihan empati terhadap orang lain dengan
mengajari pedophilie untuk memikirkan bagaimana efek dari perbuatannya terhadap
orang lain. Pelatihan yang demikian ini berpotensi dapat mengurangi
kecenderungan penjahat seksual untuk melakukan kejahatan semacam itu. Kedua,
penanganan biologis dengan kebiri, yaitu dengan cara kastrasi atau pemotongan
testis dan suntik kimia untuk melemahkan hormon testosteron. Ketiga, hukum
megan, yaitu dengan mengizinkan pihak kepolisian untuk mempublikasikan
keberadaan para penjahat seksual yang terdaftar di kepolisian jika mereka
dianggap berpotensi membahayakan.[3]
Di California, pada tahun 1996, teknik kedua dalam penanganan pedophilie
tersebut dijadikan sebagai hukuman tambahan untuk menangani kaum pedophilie
yang dibebaskan dari penjara.[4]
Sebagai sanksi pidana yang bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan dan sanksi
tindakan yang bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut.[5]
Undang-undang ini digunakan pada era baru yang menerapkan hukuman kebiri
sebagai hukuman yang diberikan untuk merehabilitasi pelaku. Tujuan penerapan
tambahan hukuman ini ialah untuk melindungi anak sebagai generasi bangsa dari kejahatan
kaum pedophilie, hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hokum pidana bahwa tujuan
dibentuknya hukuman ialah untuk memelihara keamanan dan pergaulan hidup yang
teratur.[6]
Secara umum ada dua macam teori hukum pidana tentang tujuan dari pemidanaan
ini, meliputi teori absolut (vergeldingstheorie) dan relative (doeltheorie).
Tujuan penerapan sebuah hukuman sebagaimana teori absolute (vergeldingstheorie)
dalam hukum pidana, yaitu:
- Dengan adanya hukuman tersebut akan memuaskan perasaan balas dendam korban, baik perasaan adil bagi dirinya, keluarganya serta masyarakat.
- Pidana dimaksudkan untuk memberikan peringatan bagi orang lain bahwa setiap kejahatan akan mendapatkan ganjarannya.
- Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara perbuatan dengan pidana yang dijatuhkan.
Sedangkan tujuan penjatuhan hukuman menurut teori relative (vergeldingstheorie)
dalam hukum pidana ialah:
- Dengan penjatuhan pidana diharapkan akan menimbulkan efek jera bagi pelaku sehingga tidak mengulangi lagi perbuatannya (special preventie) dan memberitahukan kepada masyarakat umum bahwa melakukan hal yang melanggar hukum akan mendapatkan hukuman yang serupa (general preventie).
- Berdasarkan pembinaan yang diberikan kepada pelaku saat dipidana, diharapkan dapat memperbaiki kepribadiannya sehingga saat dibebaskan dapat menjadi orang yang baik pula pada masyarakat.
- Membinasakan pelaku dengan menjatuhkan hukuman mati dan membuat tidak berdaya dengan menjatuhkan hukuman seumur hidup.
Kebiri sebagai salah satu jenis sanksi pidana pernah diberlakukan
di beberapa negara dengan tujuan melindungi masyarakat. Dalam teori pemidanaan,
kebiri sebagai sanksi pidana bertujuan untuk melumpuhkan atau membuat pelaku
tindak pidana pedophilia tidak mampu lagi melakukan kejahatannya. Tujuan
pemidanaan dalam teori pelumpuhan adalah untuk mencegah, paling tidak
mengurangi kesempatan melakukan pelanggaran di masa yang akan datang.[7]
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud tambahan
hukuman kebiri bagi pelaku tindak pidana pedophilia yaitu melakukan tindakan
terhadap kaum pedophilie yang telah dibebaskan dari penjara baik menggunakan
metode bedah dengan cara memotong testis atau suntik kimia dengan cara
menyuntikkan obat-obatan tertentu untuk melemahkan hormon testosterone
sebagaimana yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai bentuk pengenaan
penderitan kepada pelaku karena telah melanggar hukum dengan tujuan untuk
melindungi anak dari kejahatan kaum pedophilie.
[1] Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana,… 186.
[2] Sawitri Supardi, Bunga Rampai Kasus Gangguan Psikoseksual …, 71.
[3] Gerald C. Davidson, Psikologi Abnormal, terj: Noermalasari Fajar, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), 639-640.
[4] David L. Rowland dan Luca Incrooci, Handbook of Sexual and Gender Identity Disorders,...618.
[5] Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana,… 204.
[6] Leden Marpaung, Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 105.
[7] Peter W. Low, et al., Criminal Law : Cases and Materials , (New York: The Foundation Press,
1968), 22.