-->

Penggunaan Maqasid Al-Syari’ah

SUDUT HUKUM | Pengetahuan tentang Maqasid Al-Syari’ah ditegaskan oleh Abd Al-Wahab al-Khhalaf adalah hal sangat penting yang dapat dijadikan alat bantu untuk memahami redaksi Al-Qur’an dan Sunnah, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan Sunnah secara kajian kebahasaan. Yang inti dari Maqashid al_syari’ah adalah mencapai kemaslahatan dengan mewujudkan kebaikan dan menghindarkan keburukan.[1] 

Adapun hubungan antara Maqashid al_syari’ah dengan beberapa metode Ijtihad atau penetapan hukum dapat dikemukakan dalam beberapa aspek maslahat yang dapat dilihat dari:

Qiyas


Secara bahasa Qiyas berarti mengukur, menyamakan dan menghimpun atau ukuran, skala, bandingan dan analogi. Adapun pengertian Qiyas secara istilah adalah:
Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan ‘illat hukum antara keduanya[2]

Qiyas sebagai metode Ijtihad dipakai hampir semua madzhab hukum dalam islam, walaupun pemakainya dalam intensitas yang berbeda-beda. Oleh karena itu, Qiyas termasuk dalam kategori dalil hukum yang muttafaq ‘alaih (disepakati) setelah al-Qur’an, hadits dan ijma’. Masuknya Qiyas kedalam dalil yang di sepakati dapat ditinjau dari berbagai pertimbangan, antara lain:
  1. Kedekatan Qiyas dengan sumber nah hukum dalam mekanisme penalaran ta’lili (‘illah hukum).
  2. Pertimbangan pertama di atas sekaligus menjadi qiyas sebagai langkah awal proses panggilan hukum.
  3. Upaya ke arah pemikiran analogi dianjurkan oleh Allah dalam al-Qur’an.[3]

Baca Juga

Qiyas sebagai istimbath ta’lili merupakan upaya nalar yang memiliki kedekatan hubungan dengan nash. Qiyas sebagai penalaran ta’lili harus senantiasa dipertajam dengan pertimbangan Maqashid
al_syari’ah, baik yang berkaitan dengan kemasyarakatatan, ekonomi maupun politik dan moral. Pertimbangan Maqashid al_syari’ah menjadikan metode Qiyas lebih dinamis, sebagai solusi permasalahan-permaslahan hukum.[4]

Istihsan


Istihsan secara bahasa berarti menganggap sesuatu itu baik, memperhitungkan sesuatu lebih baik, mengikuti sesuatu yang lebih baik, atau mencari yang lebih baik untuk diikuti, karena memang
disuruh itu.

Lafal yang seakar kata dengan Istihsan sangat banyak dijumpai dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah, sebagai contoh:
yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya, mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal

Adapun sabda Rasullah SAW:
ما رءاه المسلمون حسنا فھو عند لله حسن
Sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam, maka di sisi Allah itu juga baik” (HR. Ahmad Ibn Hambal)

Adapun pengertian istihsan menurut istilah, sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab Khalaf “Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali (yang jelas) kepada
ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan yang kulli (umum) kepada ketentuan yang sifatnya istisna’i (pengecualian), karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan tersebut”.[5]

Dari definisi diatas, dapat difahami bahwa pada hakikatnya istihsan itu adalah keterkaitan dengan penerapan ketentuan hukum yang sudah jelas dasar dan kaidahnya secara umum baik dari nash, ijma atau qiyas, tetapi ketentuan hukum yang sudah jelas ini tidak dapat diberlakukan dan harus dirubah karena berhadapan dengan persoalan yang khusus dan spesifik.

Dengan demikian, Istihsan pada dasarnya adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama. Artinya, persoalan khusus yang seharusnya tercakup ada ketentuan yang sudah jelas, tetapi karena tidak memungkinkan dan tidak tepat diterapkan, maka harus berlaku ketentuan khusus sebagai pengecualian dari ketentuan umum atau ketentuan yang sudah jelas.

Menurut al-Syatibi, Istihsan harus selalu berorientasi pada usaha untuk mewujudkan Maqashid al_syari’ah, serta memperhitungkan dampak positif dan negatif dari penerapan suatu hukum yang dalam istilah al-Syatibi disebut An-nadzar fi al-ma’alat. Urgensi dari prinsip tersebut dalam Istihsan adalah mempertajam analisi Istihsan itu sendiri.[6]

Maslahat al-Mursalah


Pada dasarnya mayoritas ulama ahli fiqh menerima metode Maslahat al-mursalah. Karena tujuan dari maslahat adalah menarik manfaat menghindarkan bahaya dan memelihara tujuan hukum Islam untuk agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta manusia. Untuk menggunakan metode tersebut, para ulama memberikan beberapa perysyartan, diantara persyaratan agar dapat dijadikan sebagai dasar hukum adalah sebagai berikut:
  1. Kemaslahatan itu termasuk dalam kategori daruriyyat. Artinya bahwa untuk menetapkan satu kemaslahatan tingkat keperluanya harus diperhatikan. Apakah sampai mengancam lima unsur pokok maslahat atau belum sampai pada batas tersebut.
  2. Kemaslahatan itu bersifat Qath’i, artinya yang dimaksud dengan maslahat benar-benar telah diyakini sebagai maslahat, tidak didasarkan pada dugaan semata-mata.
  3. Kemaslahatan itu bersifat kulli, artinya bahwa kemaslahatan itu berlaku secara umum dan kolektif tidak bersifat individual.

Berdasarkan persyaratan diatas, maslahat yang dikemukakan oleh para ahli ushul fiqh dapat difahami bahwa betapa eratnya hubungan antara metode maslahat al-mursalah dengan Maqashid alsyari’ah[7]



[1] Amir Mu’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum islam (Yogyakarta: UII Press, 1999) Hal. 92
[2] Tototk jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2005), Hal. 270
[3] Asafri jaya Bakri, Konsep Maqashid………… Hal 135
[4] A. Ghufron Mas’adi, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001), Hal. 174
[5] Abdul Wahab Khalaf, “Ilmu Ushul al-fikih (Maktabah Al-Dakwah al-Islamiyah, cetakan VIII,thn 1991) hal.79
[6] A. Ghufron Mas’adi, Metodologi pembaharuan Hukum Islam, Hal 183.
[7] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999) hlm. 128.

Related Posts

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel