Penggunaan Maqasid Al-Syari’ah
Thursday, 8 September 2016
SUDUT HUKUM | Pengetahuan tentang Maqasid
Al-Syari’ah ditegaskan oleh Abd Al-Wahab al-Khhalaf
adalah hal sangat penting yang dapat dijadikan alat bantu untuk memahami
redaksi Al-Qur’an dan Sunnah, menyelesaikan dalil-dalil yang
bertentangan dan yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum
terhadap kasus yang tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan Sunnah secara
kajian kebahasaan. Yang inti dari Maqashid al_syari’ah
adalah mencapai kemaslahatan dengan mewujudkan kebaikan dan menghindarkan
keburukan.[1]
Adapun
hubungan antara Maqashid al_syari’ah
dengan beberapa metode Ijtihad atau penetapan hukum dapat dikemukakan dalam
beberapa aspek maslahat yang dapat dilihat dari:
Qiyas
Secara bahasa Qiyas
berarti mengukur, menyamakan dan menghimpun atau
ukuran, skala, bandingan dan analogi. Adapun pengertian Qiyas
secara istilah adalah:
Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan ‘illat hukum antara keduanya”[2]
Qiyas sebagai metode
Ijtihad dipakai hampir semua madzhab hukum dalam islam,
walaupun pemakainya dalam intensitas yang berbeda-beda. Oleh
karena itu, Qiyas termasuk dalam kategori dalil hukum yang muttafaq
‘alaih (disepakati) setelah al-Qur’an, hadits dan ijma’. Masuknya Qiyas
kedalam dalil yang di sepakati dapat ditinjau dari berbagai
pertimbangan, antara lain:
- Kedekatan Qiyas dengan sumber nah hukum dalam mekanisme penalaran ta’lili (‘illah hukum).
- Pertimbangan pertama di atas sekaligus menjadi qiyas sebagai langkah awal proses panggilan hukum.
- Upaya ke arah pemikiran analogi dianjurkan oleh Allah dalam al-Qur’an.[3]
Baca Juga
Qiyas sebagai
istimbath ta’lili merupakan upaya nalar yang memiliki kedekatan
hubungan dengan nash. Qiyas sebagai penalaran ta’lili harus
senantiasa dipertajam dengan pertimbangan Maqashid
al_syari’ah,
baik yang berkaitan dengan kemasyarakatatan, ekonomi maupun politik dan
moral. Pertimbangan Maqashid al_syari’ah menjadikan metode
Qiyas lebih dinamis, sebagai solusi permasalahan-permaslahan hukum.[4]
Istihsan
Istihsan secara
bahasa berarti menganggap sesuatu itu baik, memperhitungkan
sesuatu lebih baik, mengikuti sesuatu yang lebih baik, atau mencari
yang lebih baik untuk diikuti, karena memang
disuruh itu.
Lafal yang seakar
kata dengan Istihsan sangat banyak dijumpai dalam al-Qur’an
maupun as-Sunnah, sebagai contoh:
yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya, mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal”
Adapun sabda Rasullah
SAW:
ما رءاه المسلمون حسنا فھو عند لله حسن
Sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam, maka di sisi Allah itu juga baik” (HR. Ahmad Ibn Hambal)
Adapun pengertian
istihsan menurut istilah, sebagaimana disebutkan oleh Abdul
Wahab Khalaf “Istihsan adalah berpindahnya seorang
mujtahid dari ketentuan qiyas jali (yang jelas) kepada
ketentuan
qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan yang kulli (umum) kepada
ketentuan yang sifatnya istisna’i (pengecualian), karena menurut
pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang
menghendaki perpindahan tersebut”.[5]
Dari definisi diatas,
dapat difahami bahwa pada hakikatnya istihsan itu adalah
keterkaitan dengan penerapan ketentuan hukum yang sudah jelas
dasar dan kaidahnya secara umum baik dari nash, ijma atau qiyas,
tetapi ketentuan hukum yang sudah jelas ini tidak dapat diberlakukan
dan harus dirubah karena berhadapan dengan persoalan yang khusus
dan spesifik.
Dengan demikian,
Istihsan pada dasarnya adalah ketika seorang mujtahid lebih
cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum
yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih
menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama. Artinya,
persoalan khusus yang seharusnya tercakup ada ketentuan yang sudah
jelas, tetapi karena tidak memungkinkan dan tidak tepat
diterapkan, maka harus berlaku ketentuan khusus sebagai pengecualian dari
ketentuan umum atau ketentuan yang sudah jelas.
Menurut al-Syatibi, Istihsan
harus selalu berorientasi pada usaha untuk
mewujudkan Maqashid al_syari’ah, serta memperhitungkan
dampak positif dan negatif dari penerapan suatu hukum yang dalam
istilah al-Syatibi disebut An-nadzar fi al-ma’alat. Urgensi dari prinsip
tersebut dalam Istihsan adalah mempertajam analisi Istihsan itu
sendiri.[6]
Maslahat al-Mursalah
Pada dasarnya
mayoritas ulama ahli fiqh menerima metode Maslahat
al-mursalah. Karena tujuan dari maslahat adalah menarik manfaat menghindarkan
bahaya dan memelihara tujuan hukum Islam untuk agama, jiwa, akal, keturunan,
dan harta manusia. Untuk menggunakan metode
tersebut, para ulama memberikan beberapa perysyartan, diantara
persyaratan agar dapat dijadikan sebagai dasar hukum adalah sebagai
berikut:
- Kemaslahatan itu termasuk dalam kategori daruriyyat. Artinya bahwa untuk menetapkan satu kemaslahatan tingkat keperluanya harus diperhatikan. Apakah sampai mengancam lima unsur pokok maslahat atau belum sampai pada batas tersebut.
- Kemaslahatan itu bersifat Qath’i, artinya yang dimaksud dengan maslahat benar-benar telah diyakini sebagai maslahat, tidak didasarkan pada dugaan semata-mata.
- Kemaslahatan itu bersifat kulli, artinya bahwa kemaslahatan itu berlaku secara umum dan kolektif tidak bersifat individual.
Berdasarkan
persyaratan diatas, maslahat yang dikemukakan oleh para ahli ushul
fiqh dapat difahami bahwa betapa eratnya hubungan antara
metode maslahat al-mursalah dengan Maqashid alsyari’ah[7]
[1]
Amir
Mu’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum islam (Yogyakarta: UII Press, 1999) Hal. 92
[2]
Tototk
jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Sinar Grafika Offset,
2005), Hal. 270
[3]
Asafri
jaya Bakri, Konsep Maqashid………… Hal 135
[4]
A.
Ghufron Mas’adi, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2001), Hal. 174
[5] Abdul Wahab Khalaf, “Ilmu
Ushul al-fikih (Maktabah Al-Dakwah al-Islamiyah, cetakan VIII,thn 1991) hal.79
[6] A. Ghufron Mas’adi, Metodologi
pembaharuan Hukum Islam, Hal 183.
[7]
Fathurrahman
Djamil, Filsafat Hukum islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999) hlm. 128.