Perjudian Dalam Perspektif Hukum Positif
Friday, 23 September 2016
SUDUT HUKUM | Dalam
hukum positif, perjudian merupakan salah satu tindak pidana. Kata
"tindak pidana" merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda “straafbaarfeif” namun
pembentuk Undang-undang di Indonesia tidak menjelaskan
secara rinci mengenai “straafbaarfeit”.[1]
Perkataan “feit”
itu sendiri
di dalam bahasa Belanda berarti "sebagian dari suatu kenyataan" atau "een gedeelte van de werkelijkheid” sedang “strafbaar”
berarti "dapat dihukum",
hingga secara harafiah perkataan "strafbaar
feit" itu dapat diterjemahkan
sebagai "sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang
sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan diketahui bahwa yang
dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan,
perbuatan ataupun tindakan.[2]
Seperti
yang telah dikatakan di atas, bahwa pembentuk UU tidak memberikan
sesuatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang ia maksud dengan
perkataan “strafbaar feit", maka timbullah di dalam doktrin berbagai pendapat
tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan “strafbaar
feit” tersebut,
misalnya perbuatan pidana, peristiwa pidana, perbuatan-perbuatan yang
dapat dihukum, hal-hal yang diancam dengan hukum dan perbuatan-perbuatan yang
dapat dikenakan hukuman serta tindak pidana.[3]
Dalam
hubungan ini, Satochid Kartanegara lebih condong menggunakan
istilah "delict" yang telah lazim dipakai. R. Tresna menggunakan
istilah "peristiwa pidana".[4]
Sudarto menggunakan istilah "tindak
pidana", demikian pula Wirjono Projodikoro menggunakan istilah "tindak
pidana" yaitu suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman
pidana.[5]
Akan
tetapi Moeljatno menggunakan istilah "perbuatan pidana"
yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana
disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar
larangan tersebut.[6]
Unsur
atau elemen perbuatan pidana menurut Moeljatno adalah:
- Kelakuan dan akibat (perbuatan).
- Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.
- Keadaan perbuatan yang memberatkan pidana.
- Unsur melawan hukum yang obyektif.
- Unsur melawan hukum yang subyektif.[7]
Lebih
lanjut dalam penjelasan mengenai perbuatan pidana terdapat syarat
formil dan syarat materiil. Syarat formil dari perbuatan pidana adalah adanya
asas legalitas yang tersimpul pada pasal 1 KUHP, sedangkan syarat materiil
adalah perbuatan tersebut harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai
perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan karena bertentangan
dengan atau menghambat akan terciptanya tata dalam pergaulan masyarakat
yang dicita-citakan oleh masyarakat.[8]
Adapun
dalam konteksnya dengan tindak pidana perjudian, bahwa terdapat
beberapa rumusan sebagai berikut:
- Menurut Kartini Kartono,”perjudian adalah pertaruhan dengan sengaja, yaitu mempertaruhkan satu nilai atau sesuatu yang dianggap bernilai, dengan menyadari adanya risiko dan harapan-harapan tertentu pada peristiwa-peristiwa permainan, pertandingan, perlombaan dan kejadiankejadian yang tidak atau belum pasti hasilnya.
- Menurut Dali Mutiara sebagaimana dikutip Kartini Kartono menyatakan; ”permainan judi ini harus diartikan dengan arti yang luas, juga termasuk segala pertaruhan tentang kalah menangnya suatu pacuan kuda atau lain-lain pertandingan, atau segala pertaruhan dalam perlombaan-perlombaan yang dilakukan antara dua orang yang tidak ikut sendiri dalam perlombaan-perlombaan itu, misalnya totalisator, dan lain-lain.[9]
- Tindak pidana dengan sengaja melakukan sebagai suatu usaha, perbuatan-perbuatan menawarkan atau memberikan kesempatan untuk main judi atau turut serta dalam usaha seperti itu, oleh pembentuk Undang-undang telah diatur dalam pasal 303 ayat 3 KUHP yang berbunyi: “Yang disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena permainannya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya".[10]
Menurut
Van Bemmelen - Van Hattum sebagaimana dikutip P.AF. Lamintang;”bahwa
ditinjau dari sejarahnya, penempatan tindak pidana yang dimaksudkan
di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 303 KUHP sebagai
suatu tindak pidana terhadap kesusilaan itu sudahlah tepat”. Tentang hal
tersebut, Van Bemmelen-Van Hattum berpendapat antara lain bahwa:
Ditinjau dari sejarahnya sudahlah jelas, bahwa yang merupakan dasar bagi dapat dipidananya perbuatan itu terletak pada kenyataan yakni bahwa oleh permainan tersebut, dan khususnya oleh sifatnya yang khas sebagai "permainan untung-untungan", hasrat orang menjadi tidak dapat dikendalikan dan dapat menimbulkan bahaya bagi penguasaan diri, dan bagi pihak ketiga dapat mempunyai pengaruh, baik yang bersifat menolak maupun yang bersifat menarik. Pengaruh permainan ini dapat meniadakan penilaian yang tidak baik dari orang terhadap perbuatan-perbuatan tidak baik lainnya, yang lebih tidak baik dari permainannya itu sendiri, yakni karena orang selalu melihat adanya hubungan antara perjudian, penyalahgunaan minuman keras dan pelacuran”.[11]
Permainan
judi pertama-tama diancam hukuman dalam pasal 303 KUHP
yang bunyinya:
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau pidana denda paling banyak dua puluh lima juta rupiah, barang siapa tanpa mendapat izin :a. dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi dan menjadikannya sebagai pencaharian, atau dengan sengaja turut serta dalam suatu kegiatan usaha itu;b. dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan kepada khalayak umum untuk bermain judi atau dengan sengaja turut serta dalam kegiatan usaha itu, dengan tidak peduli apakah untuk menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat atau dipenuhinya sesuatu tata cara;c. menjadikan turut serta pada permainan judi ssebagai pencaharian.(2) Kalau yang bersalah melakukuan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencahariannya, maka dapat dicabut haknya dalam menjalankan pencaharian itu(3) Yang disebut dengan permainan judi adalah tiap-tiap permainan, dimana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada keberungtungan belaka, juga karena pemainya lebih terlatih atau lebih mahir. Disitu termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya.
Tindak
pidana yang diatur dalam pasal 303 ayat (1) angka 1 KUHP itu terdiri
dari unsur-unsur sebagai berikut:
a.
Unsur subyektif: Dengan sengaja
b.
Unsur-unsur obyektif:
1)
Barang siapa
2)
Tanpa mempunyai hak
3)
Turut serta dengan melakukan sesuatu
4)
Dalam usaha orang lain tanpa hak menawarkan atau memberikan kesempatan
untuk bermain judi .
Tindak
pidana yang diatur dalam pasal 303 ayat (1) angka 2 KUHP itu terdiri
dari unsur-unsur sebagai berikut :
a.
Unsur subyektif: Dengan sengaja
b.Unsur-unsur
obyektif :
1)
Barang siapa
2)
Tanpa mempunyai hak
3)
Menawarkan atau memberi kesempatan untuk bermain judi kepada khalayak
ramai.
Tindakpidana yang di maksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur
dalam pasal 303 ayat (1) angka 3 KUHP tersebut di atas, ternyata hanya terdiri
dari unsur-unsur obyektif saja, masing-masing ialah: 1) Barang siapa; 2)
Tanpa mempunyai hak; 3) Turut serta; 4) Sebagai suatu usaha; 5) Dalam permainan
judi.[12]
Tindak
pidana berjudi atau turut serta berjudi itu pada mulanya telah dilarang
di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 542 KUHP, yang kemudian
berdasarkan ketentuan yang diatur dalam pasal 2 ayat (4) dari UU No.
7 Tahun 1974, telah dirubah sebutannya menjadi ketentuan pidana yang diatur
dalam pasal 303 bis KUHP, dan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam
pasal 1 dari UU yang sama telah dipandang sebagai kejahatan, pasal 303
bis KUHP berbunyi:
(1)
Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda
paling banyak sepuluh juta rupiah:
(a)
barang siapa menggunakan kesempatan main judi, yang diadakan dengan
melanggar ketentuan pasal 303;
(b)
barang siapa ikut serta main judi di jalan umum atau di pinggir jalan umum
atau di tempat yang dapat dikunjungi umum, kecuali ada izin dari
penguasa yang berwenang yang telah memberi izin untuk mengadakan
perjudian itu.
(2)
Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun sejak ada pemindahan
yang menjadi tetap karena salah satu dari pelanggaran ini, dapat
dikenakan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling
banyak lima betas juta rupiah.[13]
Tindak
pidana yang di maksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur
dalam pasal 303 bis ayat (1) angka 1 KUHP itu terdiri dari unsur-unsur obyektif
: 1) Barang siapa; 2) Memakai kesempatan yang terbuka untuk berjudi;
3) Yang sifatnya bertentangan dengan salah satu dari ketentuanketentuan yang
diatur dalam pasal 303 yang diatur dalam KUHP.
Tindak
pidana yang di maksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur
dalam pasal 303 bis ayat (1) angka 2 KUHP itu juga hanya terdiri dari unsur-unsur
obyektif, masing-masing yakni : 1) Barang siapa; 2) Turut serta berjudi;
3) Di atas atau di tepi jalan umum atau di suatu tepat terbuka untuk umum.[14]
Unsur
obyektif pertama menunjukkan orang yang apabila orang tersebut
memenuhi unsur-unsur selebihnya dari tindak pidana yang di maksudkan
di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 303 bis ayat (1)
angka 2 KUHP, dan penyelenggaraan dari perjudian yang bersangkutan itu ternyata
tidak mendapat izin dari kekuasaan yang berwenang, maka ia dapat disebut
sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut. Unsur obyektif kedua dari
tindak
pidana yang di maksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam
pasal 303 bis ayat (1) angka 2 KUHP ialah unsur turut serta berjudi.[15]
Unsur
obyektif ketiga dari tindak pidana yang di maksudkan di dalam ketentuan
pidana yang diatur dalam pasal 303 bis ayat (1) angka 2 KUHP ialah
unsur di atas atau di tepi jalan umum atau di suatu tempat yang terbuka untuk
umum. Yang di maksudkan jalan umum itu ialah jalan yang di peruntukkan
bagi lalu lintas umum. Menurut ketentuan yang diatur dalam
pasal
1 ayat (1) vagverkeersordonnantie,
Staatsblad Tahun 1936 No. 657 Jo. Staatsblad Tahun
1940 No. 72 Jo. UU No. 7 Tahun 1951, Lembaran Negara Tahun
1951 No. 42, yang dimaksudkan dengan jalan ialah setiap jalan yang terbuka
bagi lalulintas umum, termasuk jembatan-jembatan dan tanggultanggul yang
terdapat di jalan-jalan tersebut, termasuk trotoar-trotoar, pemisah-pemisah
jalan, tepi-tepi jalan, gorong-gorong dan tanggul-tanggul jalan.[16]
Perjudian
merupakan salah satu bentuk kejahatan yang memenuhi rumusan
KUHP yaitu, yang diatur melalui pasal 303 dan 303 bis, hal ini sesudah
dikeluarkan oleh UU No. 7 Tahun 1974, ancaman pidana bagi perjudian
tersebut diperberat, perincian perubahannya sebagai berikut:
- Ancaman pidana dalam pasal 303 (1) KUHP diperberat menjadi penjara selama-lamanya sepuluh tahun atau denda sebanyak-banyaknya dua puluh lima juta rupiah.
- Pasal 542 KUHP diangkat menjadi suatu kejahatan dan diganti sebutan pasal 303 bis KUHP, sedangkan ancaman pidananya diperberat yaitu: Ayat (1) menjadi penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya sepuluh juta rupiah. Ayat (2) menjadi pidana penjara selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya lima belas juta rupiah.
Dalam
arti kata yang sempit permainan hazard
adalah segala permainan
jika kalah menangnya orang dalam permainan itu tidak tergantung kepada
kecakapan, tetapi melulu hanya bergantung kepada nasib baik dan sial saja.
Dalam arti kata yang luas yang termasuk hazard
juga segala permainan yang
pada umumnya kemungkinan untuk menang tergantung pada nasib atau secara
kebetulan.
Biarpun kemungkinan untuk menang itu bisa bertambah besar
pula karena latihan atau kepandaian pemain atau secara lain dapat dikatakan
bahwa yang dinamakan permainan hazard
itu ialah, suatu permainan
jika kalah menangnya orang dalam permainan itu tergantung kepada
nasib dan umumnya pada pemain yang banyak. Jadi dengan demikian yang
dinamakan dengan permainan judi sebelumnya hanya diartikan dalam arti
yang sempit, tetapi dalam perkembangan diartikan dalam arti yang luas yaitu
disamping unsur kecakapan dan unsur keahlian ditambah dengan unsur latihan
atau kepandaian si pemain.
Menurut
Adam Chazawi, dalam rumusan kejahatan pasal 303 KUHP tersebut
di atas, ada lima macam kejahatan mengenai hal perjudian (hazardspel), dimuat
dalam ayat (1):
1.
Butir 1 ada dua macam kejahatan;
2.
Butir 2 ada dua macam kejahatan;
3.
Butir 3 ada satu macam kejahatan.[17]
Sedangkan
ayat (2) memuat tentang dasar pemberatan pidana, dan ayat (3)
menerangkan tentang pengertian permainan judi yang dimaksudkan oleh ayat
(1).
Lima
macam kejahatan mengenai perjudian tersebut di atas mengandung
unsur tanpa izin. Unsur tanpa izin inilah melekat sifat melawan hukum
dari semua perbuatan dalam lima macam kajahatan mengenai perjudian
itu. Artinya tiada unsur tanpa izin, atau jika ada izin dari pejabat atau
instansi yang berhak memberi izin, semua perbuatan dalam rumusan tersebut
tidak lagi atau hapus sifat melawan hukumnya oleh karena itu tidak dipidana.
Dimasukannya unsur tanpa izin ini oleh pembentuk UU perjudian terkandung
suatu maksud agar pemerintah atau pejabat pemerintah tertentu dapat
melakukan pengawasan dan pengaturan tentang permainan judi.[18]
Pada
ayat (2) pasal 303 dikatakan diancam pidana pencabutan hak dalam
menjalankan pencarian bagi barang siapa yang melakukan lima macam kejahatan
mengenai perjudian tersebut di atas dalam menjalankan pencahariannya.
Pada ayat (3) diterangkan tentang arti perjudian, yakni tiap-tiap permainan
dimana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung
pada peruntungan belaka, dan juga karena permainannya terlatih atau
lebih mahir.
Dari
rumusan di atas sebenarnya ada bentuk perjudian, yakni sebagai berikut:
- Suatu permainan yang kemungkinan mendapat untung tergantung pada peruntungan atau nasib belaka. Pada macam perjudian ini, menang atau kalah dalam arti mendapat untung atau rugi hanyalah bergantung pada keberuntungan saja. Misalnya dalam permainan judi dengan menggunakan dadu.
- Permainan yang kemungkinan mendapat untung atau kemenangan sedikit atau banyak bergantung pada kemahiran atau keterlatihan si pembuat. Misalnya permainan melempar bola, permainan dengan memanah, bermain bridge atau domino.
Dua
pengertian perjudian di atas, diperluas juga pada dua macam pertaruhan,
yaitu:
- Segala bentuk pertaruhan tentang keputusan perlombaan lainya yang tidak diadakan antara mereka yang berlomba atau yang bermain. Misalnya dua orang bertaruh tentang suatu pertandingan sepak bola antara dua kesebelasan, dimana yang satu bertaruh dengan menebak satu kesebelasan sebagai pemenanganya dan yang satu pada kesebelasan yang lainnya.
- Segala bentuk pertaruhan lainya yang tidak ditentukan dengan kalimat yang tidak menentukan bentuk pertaruhan secara limitatif, maka segala bentuk pertaruhan dengan cara bagaimanapun dan dalam segala hal manapun adalah termasuk perjudian. Seperti beberapa permainan kuis untuk mendapatkan hadiah yang di tayangkan pada televisi termasuk juga pengertian perjudian menurut pasal ini. Tetapi permainan kuis tidak termasuk permainan judi yang dilarang, apabila terlebih dahulu mendapatkan izin dari instansi atau pejabat yang berwenang.[19]
Mengenai
kejahatan perjudian dimuat dalam ayat (1), sedangkan pada ayat
(2) pengulangannya yang merupakan dasar pemberatan pidana. Kejahatan dalam
ayat (1) ada dua bentuk sebagaimana dirumuskan pada butir 1 dan 2, yaitu:
- Melarang orang yang bermain judi dengan menggunakan kesempatan yang diadakan dengan melangar pasal 303;
- Melarang orang ikut serta bermain judi di jalan umum, atau tempat lainnya yang dapat dikunjungi umum kecuali ada izin dari penguasa dalam hal untuk mengadakan perjudian itu.[20]
Pemberian
izin penyelenggaraan segala bentuk dan jenis perjudian dilarang,
dan izin penyelenggaraan perjudian yang sudah diberikan, dinyatakan dicabut
dan tidak berlaku lagi sejak mulai berlakunya PP RI No. 9 Tahun 1981 tentang
Pelaksanaan UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, Bunyi
PP.RI No.9 Tahun 1981 pasal 1 adalah sebagai berikut:
(1)
Pemberian izin penyelenggaraan segala bentuk dan jenis perjudian dilarang, baik perjudian yang diselenggarakan di kasino, di tempat-tempat keramaian, maupun yang dikaitkan dengan alasan-alasan lain.
(2)
lzin penyelenggaraan perjudian yang sudah diberikan, dinyatakan dicabut dan
tidak berlaku lagi sejak tanggal 31 Maret 1981.
Untuk
mewujudkan tertib sosial, negara menetapkan dan mengesahkan peraturan
perundang-undangan untuk mengatur masyarakat. Peraturan - peraturan
itu mempunyai sanksi hukum yang sifatnya memaksa. Artinya bila peraturan
itu sampai dilanggar maka kepada pelanggarnya dapat dikenakan hukuman.
Jenis hukuman yang akan dikenakan terhadap si pelanggar akan sangat
tergantung pada macamnya peraturan yang dilanggar. Pada prinsipnya setiap
peraturan mengandung sifat paksaan artinya orang-orang yang tidak mau
tunduk dan dikenai sanksi terhadap pelanggaran tersebut.[21]
Untuk
menjaga ketertiban dan ketentraman tersebut, hukum pidana diharapkan
difungsikan di samping hukum lainnya yang terdapat di dalam masyarakat.
Norma hukum sedikit atau banyak berwawasan pada objek peraturan
yang bersifat pemaksa dan dapat disebut hukum. Adapun maksud disusunnya
hukum dan peraturan lainnya adalah untuk mencapai ketertiban dan
kesejahteraan dalam masyarakat dan oleh sebab itu pembentukan peraturan
atau hukum kebiasaan atau hukum nasional hendaklah selalu benar-benar ditunjukan
untuk kepentingan umum.
Menurut
Sudarto, bahwa tiap-tiap KUHP memuat dua hal yang pokok:
- Pertama, memuat pelukisan dari perbuatan-perbuatan yang diancam pidana, artinya memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi yang memungkinkan pengadilan menjatuhkan pidana. Jadi disini seolah-olah menyatakan kepada penegak hukum perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan siapa yang dapat dipidana.
- Kedua, KUHP pidana menetapkan dan mengemukakan reaksi apa yang akan diterima oleh orang yang melakukan perbuatan yang dilarang.[22]
Hukuman
pidana dalam usahanya untuk mencapai tujuannya itu tidaklah
semata-mata dengan jalan menjatuhkan pidana (straaft) tetapi disamping
itu juga menggunakan tindakan-tindakan (maatregel). Jadi disamping
pidana ada pula tindakan. Tindakan ini pun merupakan suatu sanksi juga,
walaupun tidak ada pembalasan padanya.
Tujuan
pemidanaan pada umumnya adalah:
- Mempengaruhi perilaku si pembuat agar tidak melakukan tindak pidana lagi, biasanya disebut prevensi special.
- Mempengaruhi perilaku anggota masyarakat pada umumnya agar tidak melakukan tindak pidana seperti yang dilakukan oleh si terhukum.
- Mendatangkan suasana damai atau penyelesaian konflik.
- Pembalasan atau pengimbalan dari kesalahan si pembuat.[23]
[1] Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 5.
[2] P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Ba ru, 1984, hlm.172.
[3] K.Wancik Saleh, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007, hlm.15
[4] R. Tresna, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: PT Tiara Limit, tth, hlm. 27.
[5] Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, Bandung:Refika Aditama, 2008, hlm59
[6] Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, hlm. 63
[7] Ibid,
[8] Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, 1990, hlm. 43
[9] Ibid
[10] Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP. Jakarta: Rineka Cipta, 2000, hlm. 122.
[11] P.A.F. Lamintang, Delik-Delik Khusus (Tindak-Tindak Pidana Melanggar Norma-Norma Kesusilaan dan Norma-Norma Kepatutan) Edisi Kedua, Bandung: Sinar Grafika, 2009,hlm. 282
[12] Ibid, hlm.298
[13] Leden Marpaung, Kejahatan terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya. Jakarta: Sinar Grafika, 1996, hlm. 81.
[14] P.A.F. Lamintang ,lok.cit, hlm.313
[15] Ibid, hlm. 314
[16] Ibid,
[17] Adam Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005. hal. 158
[18] Ibid, hlm 159
[19] Ibid, hlm 167
[20] Ibid, hlm 168
[21] Moeljatno,op.cit, hlm. 1
[22] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, op.cit, hlm.92
[23] Ibid, hlm.187