Uang menurut Pakar Ekonomi Islam
Friday, 23 September 2016
SUDUT HUKUM | Islam membicarakan uang sebagai sarana penukar dan penyimpan nilai, tetapi uang bukanlah barang dagangan. Uang berguna ketika ditukar dengan benda yang digunakan untuk membeli jasa. Oleh karena itu, uang tidak bisa dijual dengan kredit. Kebijakan Rasulullah
SAW, bahwa tidak hanya mengumumkan bunga atas pinjaman sebagai sesuatu yang tidak sah tetapi juga melarang pertukaran uang dan beberapa
benda yang bernilai lain untuk pertukaran yang tidak sama jumlahnya,
serta menunda pembayaran apabila mata uang adalah sama. (Muhammad, 2002;37)
Di dalam Ekonomi Islam uang bukanlah modal, sekarang ini uang kadang salah diartikan oleh orang dalam menempatkan uang. Uang adalah barang khalayak/public goods masyarakat luas, uang
bukan barang monopoli seseorang. Jadi semua orang berhak memiliki uang yang berlaku disuatu Negara, sedangkan modal adalah barang pribadi orang perorangan. Apabila uang adalah flow concept sementara
modal adalah stock concept.

Menurut Dr. Sahir Hasan, uang adalah pengganti materi terhadap segala aktivitas ekonomi yaitu media atau alat yang memberikan
kepada pemiliknya daya beli untuk memenuhi kebutuhan serta dari segi peraturan perundangan menjadi alat bagi pemiliknya untuk memenuhi segala kewajiban.[2]
Menurut Dr. Ismail hasyim uang adalah sesuatu yang diterima secara luas dalam peredaran, digunakan sebagai alat atau media pertukaran, sebagai standar ukuran nilai harga, media penyimpan
nilai juga digunakan sebagai alat pembayaran untuk kewajiban bayar yang ditunda.[3]
Dari sekian banyak definisi yang diutarakan, penulis bisa membedakan uang dalam tiga segi: pertama, definisi uang dari segi fungsi-fungsi ekonomi sebagai standar ukuran nilai, media
pertukaran, dan alat pembayaran yang tertunda. Kedua, definisi uang dengan
melihat karakteristiknya yaitu segala sesuatu yang diterima secara luas
oleh tiaptiap individu. Ketiga, definisi uang sebagai peraturan perundangan sebagai segala sesuatu yang memiliki kekuatan hukum dalam menyelesaikan tanggungan kewajiban. Para ahli ekonomi membedakan antara uang dan mata uang.[4]
Menurut pendapat Imam Ghazali bahwa dalam ekonomi barter sekalipun, uang dibutuhkan sebagai nilai suatu barang, misalnya
unta memiliki 100 dinar dan kain senilai dinar. Dengan ada uang sebagai ukuran nilai barang, maka uang akan berfungsi pula sebagai media pertukaran. Menurut Imam Ghazali uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna tetapi dapat merefleksikan semua warna. Uang tidak mempunyai harga namun merefleksikan harga semua barang atau dalam ekonomi klasik uang tidak memberi kegunaan langsung, apabila uang
itu digunakan untuk membeli barang, maka uang itu akan memberi kegunaan.
Menurut Ibnu Khaldun menegaskan kekayaan suatu Negara bukanlah ditentukan dari uang yang banyak di Negara tersebut,
tetapi ditentukan oleh tingkat produksi Negara tersebut dan oleh neraca pembayaran yang positif. Beliau juga mengatakan bahwa uang tidak perlu mengandung emas dan perak, namun emas dan perak menjadi standar nilai uang. Uang yang mengandung emas dan perak merupakan jaminan pemerintah, bahwa ia senilai sepersekian gram emas dan
perak. (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, 1:407). Beliau menyarankan digunakan uang standar emas dan perak serta konstannya harga standar emas dan perak. Harga lain boleh berfluktuasi tetapi tidak harga emas dan
perak atau dinar dan dirham. (Ibnu Khaldun, 2:274)
Menurut Al-Maghrizy beliau merupakan spesialisasi dalam uang dan inflasi. Beliau membagi inflasi menjadi dua yaitu: inflasi
akibat persediaan barang yang berkurang dan inflasi akibat kesalahan
manusia. Inflasi akibat berkurang persediaan barang yaitu kekeringan dan peperangan. Sedangkan inflasi yang kedua disebabkan korupsi dan administrasi yang buruk, pajak berlebihan yang memberatkan petani
dan jumlah uang yang terlalu banyak serta berlebihan.
Al-Magrizy memberikan perhatian yang khusus ketika membicarakan sebab yang ketiga, menurut beliau ternyata kenaikan harga-harga yang terjadi adalah dalam bentuk jumlah fulus. Sebab
ketiga ini ada keterkaitan dengan rekapitalisasi perbankan. Dalam kerangka
fikir al Magrizy, hal itu lebih baik dibandingkan apabila pemerintah mengucurkan dana segar, karena dampak inflasinya tidak terjadi sekaligus. Namun akan lebih baik bila obligasi tersebut tidak menggunakan instrumen bunga, namun menggunakan instrumen bagi hasil.[5]
[1] Ahmad Hasan, Mata Uang Islami: Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islami, Jakarta: Rajagrafindo Persada, hlm. 10
[2] Ibid., hlm. 11.
[3] Ibid., hlm. 12.
[4] Ibid., hlm. 12.
[5] Adiwarman A.Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: RajaGrafindo, 2006, hlm. 423.