Tabrak Lari Menurut Hukum Islam
Saturday, 17 September 2016
SUDUT HUKUM | Tabrak lari sebagai tindak
kejahatan merupakan perbuatan yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Tabrak
lari pada mulanya adalah tindak pelanggaran yang mengakibatkan ruginya
seseorang.
Yakni
menabrak karena kekeliruan atau kelalaian, yang mana terjadinya peristiwa
tersebut tidak diinginkan oleh pelaku, atau pelaku tidak berniat melakukannya.
Peristiwa tersebut dalam Pasal 359 KUHP dijelaskan, “barang siapa karena
kealpaan menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”.[1]
Dalam Pasal 310 UU No. 22 Tahun 2009 menjelaskan bahwa:
Dalam Pasal 310 UU No. 22 Tahun 2009 menjelaskan bahwa:
(1) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan kendaraan dan /atau barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan /atau denda paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(2) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban lukaringan dan kerusakan kendaraan dan /atau barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan /atau denda paling banyak Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(3) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan luka berat sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan /atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(4) Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Kemudian terdapat unsur
kesengajaan, yakni pelaku tidak menghentikan kendaraannya, tidak menolong korban,
tidak melapor ke polisi terdekat, sebagaimana pasal 312 di atas. Bila dilihat
dari sudut pandang ushul fiqh, maka Tabrak Lari dapat di dekati dengan Qiyas
(analogi hukum) sama dengan penganiayaan karena, adanya korban yang
mengalami luka-luka hingga meninggal dunia. Qiyas memiliki rukun yang terdiri
dari empat hal:
- Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya, disebut dengan al-maqis alaihi. Hukum asal ini, adalah apa yang dapat dijadikan sebagai dasar. Hukum penganiayaan adalah haram/ tidak boleh.
- Fara' (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula al-maqîs. Dalam hal ini tabrak lari dapat dimasukkan dalam kasus yang belum ada hukumnya.
- Hukm al-asal, yaitu hukum syar‟i yang terdapat dalam nash hukum asalnya. Adapun hukum dari tabrak lari adalah haram atau tidak diperbolehkan karena sama dengan penganiayaan, yakni dengan menabrak korban sehingga menyebabkan luka ringan, luka berat hingga meninggal dunia.
- Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya.[2] Adapun illat dari perbuatan aniaya tabrak lari adalah perusakan anggota badan, dapat berupa luka ringan dan berat, hingga meninggal dunia.
Berkaitan dengan kemaslahatan,
Muhammad Tholhah Hasan yang mengutip pendapat dari imam Al-Ghozali dan
As-Syatiby menyebutkan mengenai kemaslahatan yang ditempatkan pada tingkatan Ad-Dhoruriyat,[3] yang menjadi
prioritas utama dalam islam. Sehingga dikenal dengan ad-dhoruriyat al-homsah,
yakni meliputi: ad-dienu (agama), an-nafsu (jiwa), an-naslu (keturunan),
al-malu (harta), al-aqlu (akal atau fikiran).[4] Dengan demikian
tabrak lari digolongkan sebagai tindakan aniaya yang mengganggu kemaslahatan
tersebut.
Tabrak lari dapat dikatakan telah
melanggar hak-hak kemanusiaan. Seperti perlindungan terhadap keyakinan agama (hifzh
ad-din), karena tolong menolong merupakan bukti sempurnanya iman seseorang.
Perlindungan terhadap jiwa (hifz an-nafs), Perlindungan terhadap pikiran
(hifzh an-„aql), perlindungan
terhadap keturunan (hifzh an-nasl), dan perlindungan terhadap harta
benda (hifzh al-mal). karena jika seseorang melakukan perbuatan
tersebut, seseorang atau korban tidak akan mengalami
kerugian berupa harta, cacat tubuh, hingga meninggal dunia. Setiap keputusan hukum
yang mengandung perlindungan terhadap lima hal ini adalah kemaslahatan (maslahat),
dan setiap yang mengabaikannya adalah kerusakan (mafsadat).
[1] Nina (ed), Menghadapi Kasus
Pidana 120 kasus pidana dan risiko hukumnya, Op. Cit., h. 144
[2] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul
Fiqh, terj. Noer Iskandar al-Barsany, dan Moh. Tolchah Mansoer, Kaidah-Kaidah
Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996, Cet. 6, h 90.
[3] Menurut As-Syatiby, kepentingan
atau kebutuhan hidup manusia dibagi menjadi tiga, yakni ad-Dhoruriyat merupakan
kebutuhan pokok, Al-Hajiyat merupakan kebutuhan yang wajar atau
sekunder, dan At-Tahsinat adalah kebutuhan yang bersifat mewah, untuk kesenangan
hidup. Lihat, Muhammad Tholhah Hasan, Islam dalam Perspektif Sosiokultural,
Jakarta: Lantabora Press, Cet. Ke-3, 2005, h. 163-164
[4] Ibid.