Tindak Pidana Narkotika
Thursday, 1 September 2016
SUDUT HUKUM | Dikemukakan oleh Sudarto, pada
hakikatnya hukum itu mengatur masyarakat secara patut dan bermanfaat dengan
menetapkan apa yang diharuskan ataupun yang dibolehkan dan sebaliknya. Hukum
dapat mengkualifikasi sesuatu perbuatan sesuai dengan hukum atau
mendiskusikannya sebagai melawan hukum. Perbuatan yang sesuai dengan hukum
tidak merupakan masalah dan tidak perlu dipersoalkan; yang menjadi masalah
ialah perbuatan yang melawan hukum. Bahkan yang diperhatikan dan digarap oleh
hukum ialah justru
perbuatan yang disebut terakhir ini, baik perbuatan melawan hukum yang
sungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu) maupun perbuatan melawan hukum
yang mungkin akan terjadi (onrecht in potentie). Perhatian dan
penggarapan perbuatan itulah yang merupakan penegakan hukum. Terhadap perbuatan
yang melawan hukum tersedia sanksi.
Kalau tata
hukum dilihat secara skematis, maka dapat dibedakan adanya tiga sistem
penegakan hukum, ialah sistem sistem penegakan hukum perdata, sistem penegakan
hukum pidana dan sistem penegakan hukum administrasi. Sejalan dengan itu
terdapat berturut-turut sistem sanksi hukum perdata, sistem sanksi hukum pidana
dan sistemsanksi hukum administrasi (tata usaha negara). Ketiga sistem
penegakan hukum tersebut masing-masing didukung dan dilaksanakan oleh alat
perlengkapan negara atau biasa disebut aparatur (alat) penegak hukum, yang
mempunyai aturannya sendiri-sendiri pula.
Sehubungan
dengan masalah tindak pidana Narkotika, Sumarno Ma’sum, mengemukakan
bahwa faktor terjadinya penyalagunaan narkotika secara garis besar dikelompokan
menjadi 3 (tiga) bagian yaitu:
- Barang tersebut sangat mudah diperoleh baik secara sah atau tidak sah, di samping itu, status hukumnya yang masih lemah, serta obatnya mudah menimbulkan ketergantungan dan adiksi;
- Faktor kepribadian, yang meliputi perkembangan fisik dan mental yang labil, kegagalan dalam meraih cita-cita, masalah cinta, prestasi, jabatan dan lain-lain, menutup diri cara lari dari kenyataan, kekurangan onformasi tentang penyalahgunaan obat keras, berpetualang dengan sensasi yang penuh resiko dalam mencarai identitas diri, kurangnya rasa disiplin serta kepercayaan agamanya sangat minim;
- Faktor lingkungan, yang meliputi rumah tangga yang rapuh dan kacau, masyarakat yang kacau, tidak adanya tanggungjawab orang tua, kurangya pencerahan dari orang tua, pengangguaran, serta sanksi hukum yang lemah.

Menurut Friedman
agar hukum mempunyai pengaruh terhadap sikap tindak atau perilaku manusia,
maka perlu diciptakan kondisi-kondisi yang harus ada, antara lain hukum itu
harus dapat dikomunikasikan. Komunikasi itu sendiri merupakan suatu proses
penyampaian dan menerimaan lambang-lambang yang mengandung arti tertentu.
Tujuan komunikasi adalah menciptakan pengertian bersama dengan maksud agar
terjadi perubahan pikiran, sikap ataupun perilaku.
Menurut Siswanto
Sunarso dalam bukunya Penegakan Hukum Psikotropika mengemukakan sebagai
berikut:
Sanksi merupakan aktualisasi dari norma hukum yang mempunyai karakteristik sebagai ancaman atau sebagai sebuah harapan. Sanksi akan memberikan dampak positif atau negatif terhadap lingkungan sosialnya. Di samping itu, sanksi ialah merupakan penilaian pribadi seseorang yang ada kaitannya dengan sikap perilaku dan hati nurani yang tidak mendapatkan pengakuan atau dinilai tidak bermanfaat bila ditaati. Pengaruh hukum dan konsep tujuan dapat dikatakan bahwa konsep pengaruh berarti sikap tindak atau perilaku yang dikaitkan dengan suatu kaidah dalam kenyataan, berpengaruh positif atau efektivitasnya yang tergantung pada tujuan atau maksud suatu kaidah hukum. Suatu tujuan hukum tidak selalu identik dinyatakan dalam suatu aturan dan belum tentu menjadi alasan yang sesungguhnya dari pembuat aturan tersebut”.[1]
Menurut Luthfi
Baraza, terdapat tiga pendekatan untuk terjadinya penyalahgunaan serta
ketergantungan narkotika yaitu pendekatan oragnobiolgik, psikodinamik dan
psikososial. Ketiga pendekatan tersebut tidaklah berdiri sendiri – sendiri
melainkan berkaitan satu sama lain. Dari sudut pandang oragnobiolgik, (susunan
syaraf pusat otak) terdaji adiksi (ketagihan) hingga dependensi (ketergantungan)
dikenal dengan dua istilah, yaitu ganguan mental organik atau sindrom otak
organik; seperti gaduh, gelisah dan kekacauan dalam fungsi kognitif (alam
pikiran, efektif (alam perasaan/emosi) dan psikomotor (perilaku) , yang
disebabkan efek langsung terhadap susunan syaraf pusat (otak).
Seseorang akan
menjadi ketergantungan narkotika, apabila seseorang dengan terus menerus
diberikan zat tersebut. Hal ini berkaitan dengan teori adaptasi sekuler (neuroadaptation),
tubuh beradaptasi dengan menambah jumlah teseptor dan sel-sel syarat
bekerja keras. Jika zat dihentikan, sel yang masih bekerja keras tadi mengalami
kehausan, yang dari luar tampak sebagai gejala-gejala putus obat. Gejala putus
obat itu memaksa orang untuk mengulangi pemakaian obat tersebut.
Dalam teori
psikodinamik dinyatakan bahwa seseorang akan terlibat penyalahgunaan narkotika
sampai ketergantungan, apabila pada orang tersebut terdapat faktor penyebab (factor
contribusi) dan faktor pencetus yang saling keterkaitan satu dengan yang
lain. Faktor predisposisi seseorang dengan gangguan kepribadian (anti sosial)
ditandai dengan perasaan tidak puas terhadap orang lain. Selain itu, yang
bersangkutan tidak mampu untuk berfungsi secara wajar dan efektif dalam
pergaulan di rumah, di sekolah, atau di tempat ia bekerja, gangguan lain
sebagai penyerta yaitu berupa rasa cemas dan depresi. Untuk mengatasi
ketidakmampuan serta menghilangkan kecemasan atau depresinya, maka biasanya
orang itu akan menggunakan norkotika. Semestinya orang itu dapat mengobati
dirinya dengan datang ke dokter/psikiater untuk mendapatkan terapi yang tepat
sehingga dapat dicegah keterlibatannya dalam penggunaan narkotika.
Faktor
kontribusi, seseorang dengan kondisi keluarga yang tidak baik akan merasa
tertekan, dan rasa terletak inilah sebagai faktor penyerta bagi dirinya untuk
terlibat dalam penyalahgunaan narkotika. Disfungsi keluarga yang simaksud
antara lain : keluarga tidak utuh, kedua orang tua terlalu sibuk, hubungan
interpersonal antara orang tua yang tidak harmonis. Sedangkan faktor pencetus
adalah bahwa pengaruh teman sebaya, tersedia dan mudah didapatinya narkotika
mempunyai andil sebagai faktor pencetus seseorang terlibat dalam penyalahgunaan/ketergantungan
narkotika. Dari sudut pandang psikososial, narkotika terjadi akibat negatif
dari interaksi tiga kutub sosial yang tidak kondusif, yaitu kutub keluarga,
kutub sekolah/kampus, dan kutub masyarakat.
Dikemukakan
oleh Dadang Hawari bahwa mereka yang menyalahgunakan narkotika dapat
dibagi menjadi tiga golongan yaitu:
- Mereka yang dusah mengidap ketergantungan primer, yaitu ditandai dengan adanya kecemasan dan depresi, yang pada umumnya terdapat pada orang dengan kepribadian yang tidak stabil;
- Mereka yang sudah ketergantungan simtomatis, yaitu penyalahgunaan narkotika sebagai salah satu gejala dari tipe kepribadian yang mendasarinya, pada umumnya terjadi pada orang yang dengan kepribadian psikopatik (anti sosial), kriminal dan pemakaian narkotika untuk kesenangan semata;
- Mereka yang sudah ketergantungan reaktif, yaitu terutama terdapat pada remaja karena dorongan ingin tahu, pengaruh lingkungan serta tekanan teman kelompok sebaya (peer group pressure).
Adanya
pembagian ketiga golongan itu sangat penting dalam rangka penentuan berat
ringannya hukuman atau pidana yang bakal dijatuhkan kepada mereka yang terlibat
dalam penyalahgunaan nerkotika, apakah mereka tergolong sebagai penderita
(pasien), sebagai korban (victim), atau sebagai kriminal. [2]
Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Dadang Hanawi, di antara
faktor-faktor yang berperan dalam penggunaan narkotika adalah:
- Faktor kepribadian anti sosial atau psikopatik;
- Kondisi kejiwaan yang mudah kecewa atau depresi;
- Kondisi keluarga yang meliputi keutuhan keluarga, kesibukan orang tua, hubungan orang tua dan anak;
- Kelompok temana sebaya;
- Nerkotika itu sendiri mudah diperoleh serta tersedianya pasaran baik secara resmi maupun tidak resmi.
Menurut Sudarsono
yang menjadi penyebab seseorang menyalahgunakan serta ketergantungan
narkotika dilatarbelakangi oleh beberapa sebab yaitu:
- Untuk membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan yang berbahaya seperti ngebut dijalanan dan bergaul dengan wanita;
- Menunjukkan menentang orang tua, guru dan norma sosial;
- Mempermudah penyaluran dan perbuatan seks;
- Melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalaman-pengalaman emosional;
- Mencari dan menemukan arti hidup;
- Mengisi kekosongan dan kesepian hidup;
- Menghilangkan kegelisahan, frustasi dan kepepet hidup;
- Mengikuti kemauan kawan-kawan dalam rangka pembinaan solidaritas;
- Iseng-iseng saja dan rasa ingin tahu.[3]
Dikemukakan
oleh Bambang Poernomo, bahwa seseorang melakukan sesuatu perbuatan yang
bersifat melawan hukum, atau melakukan sesuatu perbuatan mencocoki dalam
rumusan undang-undang hukum pidana sebagai perbuatan pidana, belumlah berarti
ia langsung dipidana. Dia mungkin dipidana, tergantung kepada kesalahannya.
Dapat
dipidananya seseorang, terlebih dahulu harus ada syarat yang menjadi satu
keadaan, yaitu perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagai sendi perbuatan
pidana, dan perbuatan yang dilakukan itu dapat dipertanggungjawabkan sebagai
sendi kesalahan.
Putusan untuk menjatuhkan pidana harus ditentukan adanya perbuatan pidana dan adanya kesalahan yang terbukti dari alat bukti dengan keyakinan Hakim terhadap seorang tertuduh yang dituntut di muka pengadilan. Kaitannya dengan perbuatan yang bersifat melawan hukum Vos menjelaskan bahwa tanpa sifat melawan hukumnya perbuatan tidaklah mungkin dipikirkan adanya kesalahan, namun sebaliknya sifat melawan hukumnya perbuatan mungkin ada tanpa adanya kesalahan. Dalam hubungannya dengan perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagaimana tersebut di atas Moeljatno menyatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau ia tidak melakukan perbuatan pidana, tetapi meskipun melakukan perbuatan pidana tidak selalu ia dapat dipidana.[4]
Ketentuan Pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika:
Putusan untuk menjatuhkan pidana harus ditentukan adanya perbuatan pidana dan adanya kesalahan yang terbukti dari alat bukti dengan keyakinan Hakim terhadap seorang tertuduh yang dituntut di muka pengadilan. Kaitannya dengan perbuatan yang bersifat melawan hukum Vos menjelaskan bahwa tanpa sifat melawan hukumnya perbuatan tidaklah mungkin dipikirkan adanya kesalahan, namun sebaliknya sifat melawan hukumnya perbuatan mungkin ada tanpa adanya kesalahan. Dalam hubungannya dengan perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagaimana tersebut di atas Moeljatno menyatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau ia tidak melakukan perbuatan pidana, tetapi meskipun melakukan perbuatan pidana tidak selalu ia dapat dipidana.[4]
Ketentuan Pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika:
- Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, (Pasal 111); Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, (Pasal 112)
- Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, (Pasal 113);
- Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, (Pasal 114)
- Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengakut, atau mentransito Narkotika Golongan I, (Pasal 115)
- Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain, (Pasal 116)
- Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan II, (Pasal 117)
- Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II, (Pasal 118)
- Setiap orang yang tanpa hak atau melawah hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II, (Pasal 119)
- Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II, (Pasal 20)
- Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan II terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain, (Pasal 121)
- Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan III, (Pasal 122)
- Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III, (Pasal 123)
- Setiap orang yang tanpa hak atau melawah hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III, (Pasal 124)
- Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III, (Pasal 125)
- Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan III terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain, (Pasal 126)
- Setiap Penyalah Guna Narkotika Golongan I, II, dan III bagi diri sendiri (Pasal 127); Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak melapor, (Pasal 128)
- Memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Prekursor Narkotika untuk perbuatan Narkotika; Memproduksi, menimpor, mengekspor, atau menyalurkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika (Pasal 129)
- Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana Narkotika (Pasal 130); Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika (Pasal 131)
- Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana Narkotika; Untuk menggunakan Narkotika (Pasal 133)
- Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur dan dengan sengaja tidak melaporkan diri; Keluarga dari Pecandu Narkotika yang dengan sengaja tidak melaporkan Pecandu Narkotika tersebut (Pasal 134 ).
Penetapan
jenis pidana oleh pembuat undang-undang antara lain dimaksudkan untuk
menyediakan seperangkat sarana bagi para penegak hukum dalam rangka
menanggulangi kejahatan. Di samping itu, dimaksudkan pula untuk membatasi para
penegak hukum dalam menggunakan saran berupa pidana yang telah ditetapkan itu.
Mereka tidak boleh mengguna sarana pidana yang tidak lebih dahulu ditetapkan
oleh pembuat undang-undang. Dengan demikian, jenis pidana yang dipilih dan
ditetapkan oleh pembuat undang-undang mengikat dan membatasi para penegak hukum
lainnya.
Apabila
seperangkat sanksi pidana yang telah ditetapkan merupakan hasil pilihan yang
kurang tepat atau sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kriminalitas,
maka adalah wajar apabila penanggulangan perkembangan kriminalitas agak “agak
terganggu”. Hubungan antara gejala masa kini, yaitu adanya peningkatan dan
perkembangan kriminalitas di satu pihak dengan keterbatasan jumlah sanksi
pidana yang tersedia bagi Hakim dan Jaksa di lain pihak, merupakan salah satu
masalah di bidang kebijakan pemidanaan (centencing polity) yang cukup
sulit.[5]
Rujukan:
- Siswanto Sunarso, 2004. Penegakan Hukum Psikotropika. Raja Grafindo, Jakarta. hlm. 90
- Dadang Hawari, 1997. Al-Quran, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Dana Bakti Primayasa, Yogyakarta. hlm. 102.
- Sudarsono, 1992. Kenakalan Remaja. Rineka Cipta, Jakarta. hlm. 67
- Bambang Poernomo, 1983. Asas-asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia, Jakarta. hlm. 134.
- Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005. Op. cit. hlm. 98-99.