Filsafat
Sunday, 16 October 2016
SUDUT HUKUM | Filsafat dalam bahasa
Inggris, yaitu philosophy, adapun istilah filsafat berasal dari bahasa
Yunani, philosophia, yang terdiri atas dua kata: philos
(cinta)
atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan shopia (hikmah, kebijaksanaan,
pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi). Jadi secara
etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran. Plato menyebut
Socrates sebagai philosophos (filosof) dalam pengertian pencinta kebijaksanaan.
Kata falsafah merupakan arabisasi yang berarti pencarian yang dilakukan oleh
para filosof. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata filsafat menunjukkan
pengertian yang dimaksud, yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai
hakikat segala yang ada, sebab asal dan hukumnya. Manusia filosofis adalah
manusia yang memiliki kesadaran diri dan akal sebagaimana ia juga memiliki jiwa
yang independen dan bersifat spiritual.
Sebelum Socrates ada satu
kelompok yang menyebut diri mereka sophist (kaum sofis) yang berarti
cendekiawan. Mereka menjadikan persepsi manusia sebagai ukuran realitas dan
menggunakan hujah-hujah yang keliru dalam kesimpulan mereka. Sehingga kata
sofis mengalami reduksi makna yaitu berpikir yang menyesatkan. Socrates karena kerendahan
hati dan menghindarkan diri dari pengidentifikasian dengan kaum sofis, melarang
dirinya disebut dengan seorang sofis (cendekiawan). Oleh karena itu istilah
filosof tidak pakai orang sebelum Socrates (Muthahhari, 2002).
Pada mulanya kata filsafat
berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat
kepada dua bagian yakni, filsafat teoretis dan filsafat praktis. Filsafat
teoretis mencakup:
- ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan, dan astronomi;
- ilmu eksakta dan matematika;
- ilmu tentang ketuhanan dan metafisika.
Filsafat praktis
mencakup:
- norma-norma (akhlak);
- urusan rumah tangga;
- sosial dan politik.
Baca Juga
Secara umum filsafat
berarti upaya manusia untuk memahami segala sesuatu secara sistematis, radikal,
dan kritis. Berarti filsafat merupakan sebuah proses bukan sebuah produk. Maka
proses yang dilakukan adalah berpikir kritis yaitu usaha secara aktif, sistematis,
dan mengikuti pronsip-prinsip logika untuk mengerti dan mengevaluasi suatu informasi
dengan tujuan menentukan apakah informasi itu diterima atau
ditolak. Dengan demikian
filsafat akan terus berubah hingga satu titik tertentu (Takwin, 2001).
Defenisi kata filsafat
bisa dikatakan merupakan sebuah masalah falsafi pula. Menurut para ahli logika
ketika seseorang menanyakan pengertian (defenisi/hakikat) sesuatu, sesungguhnya
ia sedang bertanya tentang macam-macam
perkara. Tetapi paling tidak bisa dikatakan bahwa “falsafah” itu kira-kira
merupakan studi yang didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan
percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari
solusi untuk ini, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi
tertentu dan akhirnya dari proses-proses sebelumnya ini dimasukkan ke dalam
sebuah dialektika. Dialektika ini secara singkat bisa dikatakan merupakan
sebuah bentuk daripada dialog.
Adapun beberapa pengertian
pokok tentang filsafat menurut kalangan filosof adalah:
- Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas.
- Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir dan dasar secara nyata.
- Upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan sumber daya, hakikatnya, keabsahannya, dan nilainya.
- Penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan.
- Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu Anda melihat apa yang Anda katakan dan untuk menyatakan apa yang Anda lihat.
Plato (427–348 SM)
menyatakan filsafat ialah pengetahuan yang bersifat untuk mencapai kebenaran
yang asli. Sedangkan Aristoteles (382–322 SM) mendefenisikan filsafat ialah
ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu
metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Sedangkan
filosof lainnya Cicero (106–043 SM) menyatakan filsafat ialah ibu dari semua
ilmu pengetahuan lainnya.
Filsafat ialah ilmu pengetahuan terluhur dan keinginan untuk mendapatkannya.
Menurut Descartes (1596–1650),
filsafat ialah kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia
menjadi pokok penyelidikannya. Sedangkan Immanuel Kant (1724–1804) berpendapat filsafat
ialah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal segala pengetahuan yang
tercakup di dalamnya 4 persoalan:
- Apakah yang dapat kita ketahui?
Jawabannya termasuk dalam
bidang metafisika.
- Apakah yang seharusnya kita kerjakan?
Jawabannya termasuk dalam
bidang etika.
- Sampai di manakah harapan kita?
Jawabannya termasuk pada
bidang agama.
- Apakah yang dinamakan manusia itu?
Jawabannya termasuk pada
bidang antropologi.
Setidaknya ada tiga
karakteristik berpikir filsafat yakni:
- Sifat menyeluruh: seseorang ilmuwan tidak akan pernah puas jika hanya mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin tahu hakikat ilmu dari sudut pandang lain, kaitannya dengan moralitas, serta ingin yakin apakah ilmu ini akan membawa kebahagian dirinya. Hal ini akan membuat ilmuwan tidak merasa sombong dan paling hebat. Di atas langit masih ada langit. contoh: Socrates menyatakan dia tidak tahu apa-apa.
- Sifat mendasar: yaitu sifat yang tidak saja begitu percaya bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu itu benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu benar sendiri itu apa? Seperti sebuah pertanyaan yang melingkar yang harus dimulai dengan menentukan titik yang benar.
- Spekulatif: dalam menyusun sebuah lingkaran dan menentukan titik awal sebuah lingkaran yang sekaligus menjadi titik akhirnya dibutuhkan sebuah sifat spekulatif baik sisi proses, analisis maupun pembuktiannya. Sehingga dapat dipisahkan mana yang logis atau tidak.
Sir Isacc Newton, seorang
ilmuwan yang sangat terkenal, President of the Royal Society memiliki ketiga
karakteristik ini. Ada banyak penyempurnaan penemuan-penemuan ilmuwan
sebelumnya yang dilakukannya. Dalam pencariannya akan ilmu, Newton tidak hanya percaya
pada kebenaran yang sudah ada (ilmu pada saat itu). Ia menggugat (meneliti
ulang) hasil penelitian terdahulu seperti logika aristotelian tentang gerak dan
kosmologi, atau logika cartesian tentang materi gerak, cahaya, dan struktur
kosmos. “Saya tidak mendefenisikan ruang, tempat, waktu dan gerak sebagaimana
yang diketahui banyak
orang” ujar Newton. Bagi
Newton tak ada keparipurnaan, yang ada hanya pencarian yang dinamis, selalu
mungkin berubah dan tak pernah selesai. “ku tekuni sebuah subjek secara terus
menerus dan ku tunggu sampai cahaya fajar pertama datang perlahan, sedikit demi
sedikit sampai betul-betul terang”.