-->

Sejarah Terbentuknya Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat

SUDUT HUKUM | Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat resmi diundangkan dan masuk dalam Lembaran Negara Republik Indonesia bernomor 115 setelah ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 25 November 2011. Lahirnya UU ini menggantikan UU sebelumnya bernomor 28 tahun 1999 yang sebelumnya telah menjadi payung hukum bagi pengelolaan zakat. Struktur dari Undang-Undang No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat ini terdiri dari 11 Bab dengan 47 pasal. Tak lupa di dalamnya juga tercantum ketententuan pidana dan ketentuan peralihan.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat adalah untuk mengdongkrak dayaguna dan hasil guna pengelolaan zakat, infaq dan sedekah di Indonesia. Pengelolaan zakat pada saat menggunakan payung hukum UU No. 38 tahun 1999 dirasakan kurang optimal dan memiliki kelemahan dalam menjawab permasalahan zakat di tanah air. Selain itu pasal-pasal yang termaktub di dalamnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga butuh pembaharuan.
.
Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat, Infaq dan Sedekah diawali dengan Rapat Kerja antar Komisi VIII DPR RI dengan Pemerintah pada Senin, 28 Maret 2011 Masa Persidangan III Tahun Sidang 2010-2011 yang menyepakati jadwal dan persidangan pembahasan serta mengesahkan Panitia Kerja (Panja) RUU tentang Pengelolaan Zakat, Infaq dan Sedekah. Selanjutnya pembahasan dilakukan melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) Panja Komisi VIII DPR RI dengan pemerintah sebanyak 7 (tujuh) kali dan Rapat Konsinyering 2 (dua) kali terhitung mulai tanggal 28 Maret 2011 sampai 17 Oktober 2011. Setelah subtansi RUU tentang pengelolaan zakat, infaq dan sedekah dicermati sebagaimana kesempatan Panja Komisi VIII DPR RI dengan Panja Pemerintah pada Rapat Konsiyering hari Jumat, 18 Juni 2011 pukul 21.000 bahwa judul RUU tentang pengelolaan zakat, infaq dan sedekah berubah menjadi Racangan Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat, sedangkan pengaturan pengelolaan zakat, infaq dan sedekah dan dana sosial keagamaan lainnya diatur sebagai norma tambahan (extra norms); sebagaimana rumusan RUU tentang Pengelolaan Zakat Pasal 28 ayat (1), (2), (3).

Rapat Kerja Komisi VIII DPR dengan Pemerintah (Menteri Agama, Menteri Keuangan (terwakili), Menteri Dalam Negeri (terwakili), Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia) dalam Pengambilan Keputusan Tingkat I terhadap RUU tentang Pengeloaan Zakat dipimpin Ketua KOmisi VIII, Abdul Kadir Karding, di Gedung Nusantara I DPR. RUU tentang Pengelolaan Zakat ini akan diajukan ke Sidang Paripurna Dewan Berdasarkan persetujuan dari seluruh fraksi yang ada di Komisi VIII saat Pengambilan Keputusan Tingkat I terhadap RUU tentang Pengelolaan Zakat yang disampaikan oleh masing-masing juru bicara fraksi dalam pandangan mini fraksinya.

Juru bicara fraksi Partai Demokrat, Nany Sulistyani Herawati mengusulkan hendaknya pendekatan dalam pengelolaan zakat sebaiknya lebih difokuskan pada perspektif pemberdayaan dan bersifat jangka panjang dibanding bersifat santunan dan sementara. “Penyaluran zakat harus tepat sasaran dan penggunaan zakat mesti dititikberatkan pada kegiatan produktif agar dapat memberikan efek sosial ekonomi yang nyata dan signifikan bagi penerima zakat. Karena itu, fraksi Partai Demokrat sangat mendukung dan mendorong supaya pengelolaan zakat yang didasarkan syariah Islam dan dikelola secara profesional dan amanah.

Baca Juga

Zulkarnaen Djabar dari fraksi Partai Golkar berpendapat, zakat sebagai salah satu nilai instrumental dalam ekonomi Islam dapat menjadi instrumen dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat asalkan dikelola dengan baik dan berbanding lurus dengan nilai instrumental ekonomi Islam lainnya.

Hal ini berarti menjadikan zakat sebagai bagian dari sumber dana jaminan sosial yang efektif juga dibutuhkan peran negara sebagai entitas yang mengatur segala yang terkait kekosongan hukum, dan memberikan sebuah regulasi yang baik demi tercapainya pengelolaan potensi-potensi yang ada di masyarakat.

Sementara Ina Amania dari fraksi –Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dalam pandangan fraksi mininya memberikan catatan dan sikap kritis reflektif terhadap RUU Zakat. Pertama, perihal prinsip kesukarelaan dalam melaksanakan ajaran agama. Artinya, pengambilan zakat adalah berdasar kesukarelaan dan kesadaran menjalankan agama bagi pemeluknya. “Ini berarti tidak boleh ada paksaan bagi pemeluk agama Islam untuk menyerahkan zakat hanya pada satu kelembagaan saja, dan Umat Islam dapat memilih amil yang dipercayainya untuk selanjutnya dikumpulkan harta zakat untuk kemaslahan umat, sesuai aturan agama (fikih). Kedua, mengenai pajak dan zakat perlu didudukkan sesuai perihal dalam koridornya masing-masing. Pajak adalah bentuk tanggungjawab rakyat atas kelangsungan kehidupan bangsa dan negaranya. Berdasarkan Pasal 23A UUD 1945, pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa adalah untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Dengan demikian, jelasnya, prinsip pajak adalah memaksa.

Ina Amania menambahkan, uang pajak merupakan salah satu sumber pemasukan APBN yang diambil dari setiap wajib pajak, tanpa memperhatikan agama yang dianutnya. Oleh sebab itu, APBN harus digunakan untuk kemakmuran rakyat secara umum.

Sementara Menteri Agama, Suryadharma Ali dalam sambutannya mengatakan, undang-undang pada hakikatnya adalah hukum positif yang dilahirkan melalui proses politik yang dibuat dalam rangka melaksanakan konstitusi, tetapi karena zakat adalah ketentuan agama Islam maka undang-undang mengenai zakat harus tetap mengacu kepada ketentuan syariat Islam. Oleh karena langkah penyempurnaan UU No.38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang dilakukan oleh DPR bersama pemerintah sekarang ini merupakan hal yang sangat tepat. Tidak saja dilihat dari kepentingan politik kenegaraan melainkan pula kepentingan umat Islam.

Menurutnya, peran pemerintah yang dalam hal ini secara fungsional dilaksanakan oleh kementerian agama akan berperan sebagai kementerian yang melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BAZNAS dan LAZ. Dengan demikian, pemerintah akan bertindak sebagai regulator dan BAZNAS serta LAZ sebagai operator.

Setelah melakukan rapat-rapat yang cukup panjang dan melelahkan, akhirnya hasil pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat dilaporkan kepada Komisi VIII DPR RI, pada tanggal 19 Oktober 2011 dalam forum Rapat Kerja dengan agenda utama mendengarkan laporan hasil Panitia Kerja atas pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat. Namun setelah penyampaian laporan hasil pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Pengelolaan Zakat ada beberapa fraksi yang tidak sepakat dengan pengesahan undang-undang itu karena dinilai ada beberapa pasal yang tidak sesuai dengan substansi (ruh) yang dikehendaki oleh undang-undang tersebut diantaranya adalah fraksi Partai Keadilan Sejahtera.

Menurut Rahman Amin dari fraksi PKS mengatakan Komisi VIII telah berhasil melakukan lompatan yang cukup signifikan terkait RUU Pengelolaan Zakat jika melihat Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 sudah agak sedikit ketinggalan dari apa yang dilakukan oleh umat Islam secara keseluruhan. Namun fraksi PKS menyarankan ada penambahan kata dalam Pasal 13 ayat (3) poin a dan poin b ini.

Sehingga bisa mengakomodasi atau mengakomodir lembaga atau yayasan yayasan yang sudah lama berkontribusi di tengah umat. Yaitu dengan menambah kata sedikit yaitu “atau”. Dan Pasal 18 ayat (2) bunyinya: “Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan apabila memenuhi persyaratan paling sedikit (a) terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial; (b) berbentuk lembaga berbadan hukum.

Fraksi PKS mengusulkan kata “berbadan hukum” ini tambah kata “atau berbadan hukum”, Sehingga lembagaamil zakat yang sudah ada, yayasan yang sudah ada di masjid-masjid di kota-kota atau dilanggar langgar ini tetap akan eksis karena dia telah memberikan kontribusinya di tengah umat demikian lama.

Iskan Qolba Lubis juga menambahi bahwa pasal 43 kurang relevan. Karena Pasal 43 ayat (4) “LAZ sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib menyesuaikan diri paling lambat 1 tahun terhitung sejak undang-undang ini diundangkan”. Artinya sesudah 1 tahun, Dompet Dhuafa, PKPU, itu yang sudah berperan di masyarakat akan mati secara sistemik. Dalam hal ini iskan menaruh curiga kepada Sekjen Kementerian Agama karena draf yang diajukan oleh DPR tidak ada istilah pembatasan hanya ormas. Kemudian yang di draf yang diajukan oleh BAZNAS juga Pasal 26 disebut ormas dan yayasan. Jadi draf yang diajukan oleh DPR dan BAZNAS itu sangat mengakomodir ormas. Sehingga PKS dengan jelas tidak setuju kalau ini dibatasi, walaupun masih ada kesempatan judical review, tapi ini tidak sesuai dengan ruh dari undang-undang bahwa kita menginginkan peran masyarakat dibuka seluas-luasnya.

Murady Darmansjah dari Partai Hanura mengomentari bahwa usul dari PKS itu perlu dicermati dan dipertimbangkan. Karena masalah sedekah, masalah zakat, adalah hubungan antara manusia dengan Tuhan. Tidak bisa terlalu banyak diintervensi oleh suatu permasalahan yang diatur dengan undang-undang. Akan tetapi hal ini di interupsi oleh Abdul Kardir Karding dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan menyebutkan bahwa menjelaskan langkah-langkah yang sudah dilakukan dalam artian prosedur yang sudah ditempuh di dalam penyusunan undang-undang ini dan telah melakukan uji publik di tiga daerah (Provinsi Aceh, Gorontalo dan Jawa Barat) setelah itu di Komisi VIII telah melakukan Rapat Internal untuk meminta masukan-masukan ketika rapat kerja tanggal 19 Oktober 2011 yang lalu, bersama Menteri Agama dan beberapa menteri terkait kita sudah menyepakati menggunakan kata akhir fraksi-fraksi di komisi. Dan masing-masing fraksi telah mengajukan kata akhir dan menyetujui Rancangan Undang-Undang dibawa ke forum untuk disahkan. Secara formal seluruh fraksi dari 9 (sembilan) fraksi yang ada sesungguhnya telah menyetujui secara resmi dan bertanda tangan secara resmi bahwa undang-undang ini akan disepakati disetujui.

Ach Rubaie juga menyatakan pada intinya spirit undang-undang ini memperkuat peranan masyarakat untuk berpartisipasi di dalam mengumpulkan dan mendistribusikan zakat, yaitu dengan membentuk LAZ. Jadi kalau ada anggapan tidak memberikan peran kepada masyarakat, saya kira memang belum menangkap secara sungguh-sungguh substansi dari RUU ini. Maka dari itu, sepenuhnya PAN setuju terhadap laporan yang sudah disampaikan oleh Ketua Komisi VIII.

Disamping itu Aria Bima dari Partai Demikrasi Perjuangan (PDI-P) memberi masukan dengan mengatakan menghormati dan menghargai atas disahkannya Rancangan Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat, karena itu merupakan suatu hal yang penting bagi umat Islam di dalam menjalankan ibadah sesuai dengan syariat Islam. Namun hal yang perlu disampaikan bahwa ada sesuatu yang penting dipikirkan secara bersama-sama sebagai bangsa yang plural, sebagai bangsa yang sesuai dengan amanat konstitusi kita, kebhinekaan, di mana persamaan di setiap persoalan bangsa ini baik menyangkut penanggulangan kemiskinan, baik menyangkut masalah-masalah bencana alam yang sering turut bergotong royong secara bersama-sama menyelesaikan persoalan,dan perlu adanya undang-undang juga yang menyangkut kegotong-royongan kita sebagai bangsa dan berharap dalam forum yang terhormat ini sebagai Anggota Dewan ataupun mengharap kepada Saudara Pimpinan, DPR juga bisa menginisiasi usul inisiatif Undang-Undang Kegotongroyongan yang lebih pluralis, yang lebih bisa menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa sesuai dengan amanat konstitusi. Misalnya bagaimana fakir miskin dan anak terlantar ini dibiayai dan dihidupi oleh negara. Perlu adanya suatu undang-undang semacam zakat tapi lepas dari sekat-sekat premodial dan lepas sekat-sekat kesukuan. Sehingga kebersamaan sebagai bangsa itu bisa dijamin dan dilindungi oleh undang-undang dan sosialisasikan serta mengimplementasikan kebhinnekaan, pluralisme, Pancasila, dan Undang-Undang Dasar 1945 di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Dolfie OFP dari fraksi PDI-P juga mencermati mencermati mengenai hak lain di Pasal 1 ayat (2) ketentuan umum. Di situ disebukan zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha dan seterusnya dan seterusnya. Tidak ada pengertian yang jelas tentang badan usaha yang wajib memberikan zakat. Dolfie menginginkan dicantumkannya batasan yang jelas tentang badan usaha mana yang wajib memberikan zakat, karena di dalam undang-undang ini penjelasan yang menjelaskan badan usaha hanya ada di Pasal 4 ayat (3) disebutkan bahwa badan usaha meliputi badan usaha yang tidak berbadan hukum dan yang berbadan hukum seperti perseroan terbatas. Sehingga semua badan usaha itu wajib memberikan zakat. Ini harus ada batasan yang jelas, badan usaha mana yang tunduk terhadap undang-undang.

Kemudian Sekjen Menteri Agama menyampaikan tambahan informasi sesuai dengan beberapa pendapat yang disampaikan oleh Anggota dari DPR RI. Khusus Pasal 18 terkait dengan izin Lembaga Amil Zakat yang dimiliki oleh masyarakat ini persyaratan yang dimintakan bersifat kumulatif, itu yang disepakati. Kumulatif dalam bunyi pembentukan LAZ wajib mendapat izin menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh menteri”. Dan pada ayat berikutnya: Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan apabila memenuhi persyaratan paling sedikit dan ini kumulatif. Yang pertama adalah terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan dakwah dan sosial. Penjelasannya, lembaga zakat oleh masyarakat tidak diperkenankan dikelola oleh individu. Oleh karenanya kata organisais adalah mutlak. Yang kedua, kita tidak memperkenankan juga organisasi ini bukan berbasis kemasyarakatan Islam. Oleh karenanya kata yang kami pilih adalah organisasi kemasyarakatan Islam. Hal ini juga sesuai dengan Undang-Undang Tahun 1985 yang sedang dalam proses perbaikan, tentang Organisasi Kemasyarakatan. Bunyinya adalah organisasi kemasyarakatan agama dan kita tambahkan Islam.

Kemudian kumulatifnya pada b dia harus berbadan hukum. Hal ini terkait dengan kewenangan-kewenangan terutama dalam pengalihan asset. Apabila dalam satu dan lain hal terjadi kevakuman atau lembaga yang kita tunjuk LAZ ini suatu waktu tidak berfungsi atau dipailitkan. Di dalam badan hukum akan jelas diatur kemana hak-hak dari kewajiban aset ini harus dilarikan. Tanpa perikatan badan hukum ini akan sulit. Sebab organisasi kemasyarakatan Islam yang nanti akan didaftarkan di Kementerian Dalam Negeri tidak mengatur kedudukan aset.

Dengan demikian kita ingin LAZ yang dibentuk oleh masyarakat apabila satu dan lain hal itu maka seluruh aset dan hak kewajiban dari organisasinya akan diatur sesuai dengan Undang-Undang Yayasan dan pilihan lain memang ada perhimpunan, perkumpulan, tapi yayasan adalah pilihan dari badan hukum yang akan cocok dengan Lembaga Amil Zakat.

Jadi jika menambahkan kata “atau” untuk kumulatif a dan b, dampaknya adalah kemungkinan tidak akan sinkron dalam pasal-pasal lain. Apabila a tidak dipenuhi maka b boleh dipenuhi, itu artinya Lembaga Amil Zakat boleh dikelola bukan oleh umat Islam. Ini juga menjadi dampak yang tidak baik bagi masyarakat. Sebab lembaga yang disebut berbadan hukum tidak diharuskan lembaga itu dimiliki oleh umat Islam. Jadi kalau pilihannya b ini atau, maka a tidak berfungsi, b berfungsi, kita harus juga melihat badan hukum yayasan tidak harus milik umat Islam. tapi dia boleh membuka Lembaga Amil Zakat. Kalau itu pilihannya “atau”. Jadi kami melihat usul yang telah disepakati dalam rapat di tingkat komisi adalah sudah tepat, kita mempersyaratkan organisasi kemasyarakatan Islam pada saat yang sama untuk menjamin asset dan kewenangan-kewenangan harta yang dimiliki pada Lembaga Amil Zakat maka dia harus berbadan hukum. Apabila terjadi satu dan lain hal kepailitan maka yayasan akan memudahkan untuk pengalihan aset ini kepada lembaga yang sejenis yang tujuannya sama dengan Undang-Undang Yayasan.

Setelah mengalami perdebatan yang cukup panjang, maka sidang diskors pukul 12.00 WIB dan dicabut kembali pukul 12.30 WIB. Berdasarkan hasil lobby di antara fraksi-fraksi dan Komisi VIII, ini mengedepankan tenggang rasa dan saling hormat menghormati. Dan terjadi lobby dengan  semangat persaudaraan dengan seluruh delegasi dan kepada Pimpinan Fraksi-fraksi lain, akhirnya disepakati solusinya sebagai berikut, ialah: masuk dalam ketentuan peralihan di Pasal 43 ayat (4) “LAZ sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib menyesuaikan diri paling lambat 1 tahun terhitung sejak undang-undang ini diundangkan, diganti menjadi paling lambat 5 tahun”. Yang kedua, setelah kita gagas lagi tadi, saya terima kasih dari PDI Perjuangan mengingatkan sehingga ada klausul yang kita sisipkan di sini dan sangat bagus ialah Pasal 4 ayat (3)dalam penjelasannya “Yang dimaksud badan usaha di sini adalah badan usaha yang dimiliki oleh umat Islam”.

Related Posts

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel