Sejarah Terbentuknya Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat
Sunday, 16 October 2016
SUDUT HUKUM | Undang-Undang No. 23 Tahun 2011
Tentang Pengelolaan Zakat resmi diundangkan dan masuk dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia bernomor 115 setelah ditandatangani oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono pada tanggal 25 November 2011. Lahirnya UU ini menggantikan
UU sebelumnya bernomor 28 tahun 1999 yang sebelumnya telah menjadi payung hukum
bagi pengelolaan zakat. Struktur dari Undang-Undang No. 23 tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat ini terdiri dari 11 Bab dengan 47 pasal. Tak lupa di dalamnya
juga tercantum ketententuan pidana dan ketentuan peralihan.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat adalah untuk mengdongkrak dayaguna dan hasil guna
pengelolaan zakat, infaq dan sedekah di Indonesia. Pengelolaan zakat pada saat
menggunakan payung hukum UU No. 38 tahun 1999 dirasakan kurang optimal dan
memiliki kelemahan dalam menjawab permasalahan zakat di tanah air. Selain itu
pasal-pasal yang
termaktub di dalamnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum
dalam masyarakat sehingga butuh pembaharuan.
.
Pembahasan RUU
tentang Pengelolaan Zakat, Infaq dan Sedekah diawali dengan Rapat Kerja antar
Komisi VIII DPR RI dengan Pemerintah pada Senin, 28 Maret 2011 Masa Persidangan
III Tahun Sidang 2010-2011 yang menyepakati jadwal dan persidangan pembahasan
serta mengesahkan Panitia Kerja (Panja) RUU tentang Pengelolaan Zakat, Infaq
dan Sedekah. Selanjutnya pembahasan dilakukan melalui Rapat Dengar Pendapat
(RDP) Panja Komisi VIII DPR RI dengan pemerintah sebanyak 7 (tujuh) kali dan
Rapat Konsinyering 2 (dua) kali terhitung mulai tanggal 28 Maret 2011 sampai 17
Oktober 2011. Setelah subtansi RUU tentang pengelolaan zakat, infaq dan sedekah
dicermati sebagaimana kesempatan Panja Komisi VIII DPR RI dengan Panja
Pemerintah pada Rapat Konsiyering hari Jumat, 18 Juni 2011 pukul 21.000 bahwa
judul RUU tentang pengelolaan zakat, infaq dan sedekah berubah menjadi Racangan
Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat, sedangkan pengaturan pengelolaan
zakat, infaq dan sedekah dan dana sosial keagamaan lainnya diatur sebagai norma
tambahan (extra norms); sebagaimana rumusan RUU tentang Pengelolaan
Zakat Pasal 28 ayat (1), (2), (3).
Rapat Kerja
Komisi VIII DPR dengan Pemerintah (Menteri Agama, Menteri Keuangan (terwakili),
Menteri Dalam Negeri (terwakili), Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia) dalam
Pengambilan Keputusan Tingkat I terhadap RUU tentang Pengeloaan Zakat dipimpin
Ketua KOmisi VIII, Abdul Kadir Karding, di Gedung Nusantara I DPR. RUU tentang
Pengelolaan Zakat ini akan diajukan ke Sidang Paripurna Dewan Berdasarkan
persetujuan dari seluruh fraksi yang ada di Komisi VIII saat Pengambilan
Keputusan Tingkat I terhadap RUU tentang Pengelolaan Zakat yang disampaikan
oleh masing-masing juru bicara fraksi dalam pandangan mini fraksinya.
Juru bicara
fraksi Partai Demokrat, Nany Sulistyani Herawati mengusulkan hendaknya
pendekatan dalam pengelolaan zakat sebaiknya lebih difokuskan pada perspektif
pemberdayaan dan bersifat jangka panjang dibanding bersifat santunan dan
sementara. “Penyaluran zakat harus tepat sasaran dan penggunaan zakat mesti
dititikberatkan pada kegiatan produktif agar dapat memberikan efek sosial
ekonomi yang nyata dan signifikan bagi penerima zakat. Karena itu, fraksi
Partai Demokrat sangat mendukung dan mendorong supaya pengelolaan zakat yang
didasarkan syariah Islam dan dikelola secara profesional dan amanah.
Zulkarnaen
Djabar dari fraksi Partai Golkar berpendapat, zakat sebagai salah satu nilai
instrumental dalam ekonomi Islam dapat menjadi instrumen dalam meningkatkan
kesejahteraan rakyat asalkan dikelola dengan baik dan berbanding lurus dengan
nilai instrumental ekonomi Islam lainnya.
Hal ini
berarti menjadikan zakat sebagai bagian dari sumber dana jaminan sosial yang
efektif juga dibutuhkan peran negara sebagai entitas yang mengatur segala yang
terkait kekosongan hukum, dan memberikan sebuah regulasi yang baik demi
tercapainya pengelolaan potensi-potensi yang ada di masyarakat.
Sementara Ina
Amania dari fraksi –Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dalam
pandangan fraksi mininya memberikan catatan dan sikap kritis reflektif terhadap
RUU Zakat. Pertama, perihal prinsip kesukarelaan dalam melaksanakan ajaran
agama. Artinya, pengambilan zakat adalah berdasar kesukarelaan dan kesadaran
menjalankan agama bagi pemeluknya. “Ini berarti tidak boleh ada paksaan bagi
pemeluk agama Islam untuk menyerahkan zakat hanya pada satu kelembagaan saja,
dan Umat Islam dapat memilih amil yang dipercayainya untuk selanjutnya
dikumpulkan harta zakat untuk kemaslahan umat, sesuai aturan agama (fikih).
Kedua, mengenai pajak dan zakat perlu didudukkan sesuai perihal dalam
koridornya masing-masing. Pajak adalah bentuk tanggungjawab rakyat atas
kelangsungan kehidupan bangsa dan negaranya. Berdasarkan Pasal 23A UUD 1945,
pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa adalah untuk keperluan negara
diatur dengan undang-undang. Dengan demikian, jelasnya, prinsip pajak adalah
memaksa.
Ina Amania
menambahkan, uang pajak merupakan salah satu sumber pemasukan APBN yang diambil
dari setiap wajib pajak, tanpa memperhatikan agama yang dianutnya. Oleh sebab
itu, APBN harus digunakan untuk kemakmuran rakyat secara umum.
Sementara
Menteri Agama, Suryadharma Ali dalam sambutannya mengatakan, undang-undang pada
hakikatnya adalah hukum positif yang dilahirkan melalui proses politik yang
dibuat dalam rangka melaksanakan konstitusi, tetapi karena zakat adalah
ketentuan agama Islam maka undang-undang mengenai zakat harus tetap mengacu
kepada ketentuan syariat Islam. Oleh karena langkah penyempurnaan UU No.38
Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang dilakukan oleh DPR bersama pemerintah
sekarang ini merupakan hal yang sangat tepat. Tidak saja dilihat dari
kepentingan politik kenegaraan melainkan pula kepentingan umat Islam.
Menurutnya,
peran pemerintah yang dalam hal ini secara fungsional dilaksanakan oleh
kementerian agama akan berperan sebagai kementerian yang melakukan pembinaan,
pengawasan, dan pengendalian pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BAZNAS dan
LAZ. Dengan demikian, pemerintah akan bertindak sebagai regulator dan BAZNAS
serta LAZ sebagai operator.
Setelah
melakukan rapat-rapat yang cukup panjang dan melelahkan, akhirnya hasil
pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat dilaporkan kepada Komisi VIII DPR RI,
pada tanggal 19 Oktober 2011 dalam forum Rapat Kerja dengan agenda utama
mendengarkan laporan hasil Panitia Kerja atas pembahasan RUU tentang
Pengelolaan Zakat. Namun setelah penyampaian laporan hasil pembahasan Rancangan
Undang-Undang Tentang Pengelolaan Zakat ada beberapa fraksi yang tidak sepakat
dengan pengesahan undang-undang itu karena dinilai ada beberapa pasal yang
tidak sesuai dengan substansi (ruh) yang dikehendaki oleh undang-undang
tersebut diantaranya adalah fraksi Partai Keadilan Sejahtera.
Menurut Rahman
Amin dari fraksi PKS mengatakan Komisi VIII telah berhasil melakukan lompatan
yang cukup signifikan terkait RUU Pengelolaan Zakat jika melihat Undang-Undang
Nomor 38 Tahun 1999 sudah agak sedikit ketinggalan dari apa yang dilakukan oleh
umat Islam secara keseluruhan. Namun fraksi PKS menyarankan ada penambahan kata
dalam Pasal 13 ayat (3) poin a dan poin b ini.
Sehingga bisa
mengakomodasi atau mengakomodir lembaga atau yayasan yayasan yang sudah lama
berkontribusi di tengah umat. Yaitu dengan menambah kata sedikit yaitu “atau”.
Dan Pasal 18 ayat (2) bunyinya: “Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
diberikan apabila memenuhi persyaratan paling sedikit (a) terdaftar sebagai
organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan
sosial; (b) berbentuk lembaga berbadan hukum.
Fraksi PKS
mengusulkan kata “berbadan hukum” ini tambah kata “atau berbadan hukum”,
Sehingga lembagaamil zakat yang sudah ada, yayasan yang sudah ada di
masjid-masjid di kota-kota atau dilanggar langgar ini tetap akan eksis karena
dia telah memberikan kontribusinya di tengah umat demikian lama.
Iskan Qolba
Lubis juga menambahi bahwa pasal 43 kurang relevan. Karena Pasal 43 ayat (4)
“LAZ sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib menyesuaikan diri paling lambat 1
tahun terhitung sejak undang-undang ini diundangkan”. Artinya sesudah 1 tahun,
Dompet Dhuafa, PKPU, itu yang sudah berperan di masyarakat akan mati secara
sistemik. Dalam hal ini iskan menaruh curiga kepada Sekjen Kementerian Agama
karena draf yang diajukan oleh DPR tidak ada istilah pembatasan hanya ormas.
Kemudian yang di draf yang diajukan oleh BAZNAS juga Pasal 26 disebut ormas dan
yayasan. Jadi draf yang diajukan oleh DPR dan BAZNAS itu sangat mengakomodir
ormas. Sehingga PKS dengan jelas tidak setuju kalau ini dibatasi, walaupun
masih ada kesempatan judical review, tapi ini tidak sesuai dengan ruh
dari undang-undang bahwa kita menginginkan peran masyarakat dibuka
seluas-luasnya.
Murady
Darmansjah dari Partai Hanura mengomentari bahwa usul dari PKS itu perlu
dicermati dan dipertimbangkan. Karena masalah sedekah, masalah zakat, adalah
hubungan antara manusia dengan Tuhan. Tidak bisa terlalu banyak diintervensi
oleh suatu permasalahan yang diatur dengan undang-undang. Akan tetapi hal ini
di interupsi oleh Abdul Kardir Karding dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB) dengan menyebutkan bahwa menjelaskan langkah-langkah yang sudah dilakukan
dalam artian prosedur yang sudah ditempuh di dalam penyusunan undang-undang ini
dan telah melakukan uji publik di tiga daerah (Provinsi Aceh, Gorontalo dan
Jawa Barat) setelah itu di Komisi VIII telah melakukan Rapat Internal untuk
meminta masukan-masukan ketika rapat kerja tanggal 19 Oktober 2011 yang lalu,
bersama Menteri Agama dan beberapa menteri terkait kita sudah menyepakati
menggunakan kata akhir fraksi-fraksi di komisi. Dan masing-masing fraksi telah
mengajukan kata akhir dan menyetujui Rancangan Undang-Undang dibawa ke forum
untuk disahkan. Secara formal seluruh fraksi dari 9 (sembilan) fraksi yang ada
sesungguhnya telah menyetujui secara resmi dan bertanda tangan secara resmi
bahwa undang-undang ini akan disepakati disetujui.
Ach Rubaie
juga menyatakan pada intinya spirit undang-undang ini memperkuat peranan
masyarakat untuk berpartisipasi di dalam mengumpulkan dan mendistribusikan
zakat, yaitu dengan membentuk LAZ. Jadi kalau ada anggapan tidak memberikan
peran kepada masyarakat, saya kira memang belum menangkap secara
sungguh-sungguh substansi dari RUU ini. Maka dari itu, sepenuhnya PAN setuju
terhadap laporan yang sudah disampaikan oleh Ketua Komisi VIII.
Disamping itu
Aria Bima dari Partai Demikrasi Perjuangan (PDI-P) memberi masukan dengan
mengatakan menghormati dan menghargai atas disahkannya Rancangan Undang-Undang
tentang Pengelolaan Zakat, karena itu merupakan suatu hal yang penting bagi
umat Islam di dalam menjalankan ibadah sesuai dengan syariat Islam. Namun hal
yang perlu disampaikan bahwa ada sesuatu yang penting dipikirkan secara
bersama-sama sebagai bangsa yang plural, sebagai bangsa yang sesuai dengan
amanat konstitusi kita, kebhinekaan, di mana persamaan di setiap persoalan
bangsa ini baik menyangkut penanggulangan kemiskinan, baik menyangkut
masalah-masalah bencana alam yang sering turut bergotong royong secara
bersama-sama menyelesaikan persoalan,dan perlu adanya undang-undang juga yang
menyangkut kegotong-royongan kita sebagai bangsa dan berharap dalam forum yang
terhormat ini sebagai Anggota Dewan ataupun mengharap kepada Saudara Pimpinan,
DPR juga bisa menginisiasi usul inisiatif Undang-Undang Kegotongroyongan yang
lebih pluralis, yang lebih bisa menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa
sesuai dengan amanat konstitusi. Misalnya bagaimana fakir miskin dan anak
terlantar ini dibiayai dan dihidupi oleh negara. Perlu adanya suatu
undang-undang semacam zakat tapi lepas dari sekat-sekat premodial dan
lepas sekat-sekat kesukuan. Sehingga kebersamaan sebagai bangsa itu bisa
dijamin dan dilindungi oleh undang-undang dan sosialisasikan serta
mengimplementasikan kebhinnekaan, pluralisme, Pancasila, dan Undang-Undang
Dasar 1945 di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Dolfie OFP
dari fraksi PDI-P juga mencermati mencermati mengenai hak lain di Pasal 1 ayat
(2) ketentuan umum. Di situ disebukan zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan
oleh seorang muslim atau badan usaha dan seterusnya dan seterusnya. Tidak ada
pengertian yang jelas tentang badan usaha yang wajib memberikan zakat. Dolfie
menginginkan dicantumkannya batasan yang jelas tentang badan usaha mana yang
wajib memberikan zakat, karena di dalam undang-undang ini penjelasan yang
menjelaskan badan usaha hanya ada di Pasal 4 ayat (3) disebutkan bahwa badan
usaha meliputi badan usaha yang tidak berbadan hukum dan yang berbadan hukum
seperti perseroan terbatas. Sehingga semua badan usaha itu wajib memberikan
zakat. Ini harus ada batasan yang jelas, badan usaha mana yang tunduk terhadap
undang-undang.
Kemudian
Sekjen Menteri Agama menyampaikan tambahan informasi sesuai dengan beberapa
pendapat yang disampaikan oleh Anggota dari DPR RI. Khusus Pasal 18 terkait
dengan izin Lembaga Amil Zakat yang dimiliki oleh masyarakat ini persyaratan
yang dimintakan bersifat kumulatif, itu yang disepakati. Kumulatif dalam bunyi
pembentukan LAZ wajib mendapat izin menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh
menteri”. Dan pada ayat berikutnya: Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya diberikan apabila memenuhi persyaratan paling sedikit dan ini kumulatif.
Yang pertama adalah terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang
mengelola bidang pendidikan dakwah dan sosial. Penjelasannya, lembaga zakat
oleh masyarakat tidak diperkenankan dikelola oleh individu. Oleh karenanya kata
organisais adalah mutlak. Yang kedua, kita tidak memperkenankan juga organisasi
ini bukan berbasis kemasyarakatan Islam. Oleh karenanya kata yang kami pilih
adalah organisasi kemasyarakatan Islam. Hal ini juga sesuai dengan Undang-Undang
Tahun 1985 yang sedang dalam proses perbaikan, tentang Organisasi
Kemasyarakatan. Bunyinya adalah organisasi kemasyarakatan agama dan kita
tambahkan Islam.
Kemudian
kumulatifnya pada b dia harus berbadan hukum. Hal ini terkait dengan
kewenangan-kewenangan terutama dalam pengalihan asset. Apabila dalam satu dan
lain hal terjadi kevakuman atau lembaga yang kita tunjuk LAZ ini suatu waktu
tidak berfungsi atau dipailitkan. Di dalam badan hukum akan jelas diatur kemana
hak-hak dari kewajiban aset ini harus dilarikan. Tanpa perikatan badan hukum
ini akan sulit. Sebab organisasi kemasyarakatan Islam yang nanti akan
didaftarkan di Kementerian Dalam Negeri tidak mengatur kedudukan aset.
Dengan
demikian kita ingin LAZ yang dibentuk oleh masyarakat apabila satu dan lain hal
itu maka seluruh aset dan hak kewajiban dari organisasinya akan diatur sesuai
dengan Undang-Undang Yayasan dan pilihan lain memang ada perhimpunan,
perkumpulan, tapi yayasan adalah pilihan dari badan hukum yang akan cocok
dengan Lembaga Amil Zakat.
Jadi jika
menambahkan kata “atau” untuk kumulatif a dan b, dampaknya adalah kemungkinan
tidak akan sinkron dalam pasal-pasal lain. Apabila a tidak dipenuhi maka b
boleh dipenuhi, itu artinya Lembaga Amil Zakat boleh dikelola bukan oleh umat Islam.
Ini juga menjadi dampak yang tidak baik bagi masyarakat. Sebab lembaga yang
disebut berbadan hukum tidak diharuskan lembaga itu dimiliki oleh umat Islam.
Jadi kalau pilihannya b ini atau, maka a tidak berfungsi, b berfungsi, kita
harus juga melihat badan hukum yayasan tidak harus milik umat Islam. tapi dia
boleh membuka Lembaga Amil Zakat. Kalau itu pilihannya “atau”. Jadi kami
melihat usul yang telah disepakati dalam rapat di tingkat komisi adalah sudah
tepat, kita mempersyaratkan organisasi kemasyarakatan Islam pada saat yang sama
untuk menjamin asset dan kewenangan-kewenangan harta yang dimiliki pada Lembaga
Amil Zakat maka dia harus berbadan hukum. Apabila terjadi satu dan lain hal
kepailitan maka yayasan akan memudahkan untuk pengalihan aset ini kepada
lembaga yang sejenis yang tujuannya sama dengan Undang-Undang Yayasan.