Kriteria Adil bagi Saksi dalam Perkara Cerai Gugat Perspektif Fikih
Saturday, 15 October 2016
SUDUT HUKUM | Dalam Islam seorang istri boleh mengajukan keinginannya
berpisah kepada suami dengan menebus dirinya dengan khuluk. Dalam
Peradilan Islam istri diperbolehkan mengajukan cerai gugat kepada suaminya
dengan alasan suami berbuat zina, atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
lainnya yang sukar untuk disembuhkan, suami meninggalkan istri selama 2 tahun,
suami mendapat hukuman penjara 5 tahun , suami melakukan kekejaman atau
penganiayaan, suami mendapat cacat badan atau penyakit, terjadi perselisihan
terus menerus, pelanggaran taklik talak, suami murtad, suami melalaikan
kewajibannya, dan suami syiqaq.[1]
Hukum memberi kesaksian adalah fadhu ‘ain bagi
orang yang menyaksikannya tanpa diketahui orang lain, apalagi dalam masalah
perceraian yang merupakan aib bagi pelakunya. Macam-macam kesaksian dari segi
banyaknya orang yang memberikan persaksian ada empat, yaitu:
- Kesaksian zina, saksi harus empat orang laki-laki
- Kesaksian semua urusan selain zina, saksinya dua orang laki-laki, atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan
- Kesaksian tentang harta, saksinya cukup dengan satu orang ditambah sumpah
- Kesaksian kehamilan, haid, dan hal-hal kewanitaan yang tidak boleh dilihat, kecuali oleh wanita, kesaksian dengan dua orang perempuan.[2]
Menurut sebuah hadits yang artinya yang diriwayatkan
dari Ibnu Wadhah menyebutkan bahwa dari Abu Maryam, dari Amru bin Salmah, dari
Zahir bin Muhammad, dari Abu Juraij, dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, Nabi
SAW bersabda:
Bila seorang perempuan menggugat cerai kepada suaminya, dan atas gugatannya dia mengajukan saksi satu orang laki-laki yang adil maka suami diperintahkan bersumpah; jika dia bersumpah maka sebab sumpahnya itu keterangan saksi satu orang laki-laki dinilai batal. Dan jika dia menolak bersumpah maka penolakannya itu menempati kedudukan saksi seorang lagi, dan oleh sebab itu boleh menceraikannya”.
Salah satu syarat saksi adalah adil. Kaum muslimin
sepakat tentang disyari’atkannya keadilan agar kesaksian seorang saksi
diterima. Tapi mereka berbeda pendapat mengenai tentang apa itu keadilan.
Menurut Jumhur Ulama keadilan adalah sifat tambahan atas ke-Islaman, yaitu agar
komitmen dengan berbagai kewajiban syar’i dan berbagai anjurannya, dengan
menjauhi hal-hal yang diharamkan dan hal-hal yang dimakruhkan.
Sedangkan menurut Abu Hanifah keadilan cukup dilihat
dari ke-Islaman secara zhahir dan tidak diketahui darinya apa yang merusak
kemuliaan dan kehormatannya. Perbedaan pendapat ini terjadi karena
ketidakjelasan mereka tentang pengertian kata keadilan yang berlawanan dengan
kefasikan. Yang demikian itu karena mereka sepakat bahwa kesaksian orang fasik
tidak diterima, berdasarkan firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 6:
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.
Mereka tidak berbeda pendapat bahwa orang fasik diterima
kesaksiannya jika taubatnya diketahui, kecuali orang yang kefasikannya tidak
diterima meskipun bertaubat, sedangkan menurut jumhur tetap diterima. Perbedaan
pendapat ini terjadi karena adanya pengecualian yang terdapat dalam firman
Allah dalam surat an-Nuur ayat 4-5:
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan 4 orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selamanya-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Kalimat ”kesaksian orang fasik yang telah bertaubat”
apakah kembali kepada kata yang paling dekat atau kepada kalimat sebelumnya,
kecuali yang dikhususkan oleh ijma’ yaitu bahwa taubat tidak menggugurkan
hukuman had dari dirinya.[3] Artinya bahwa kesaksian orang-orang yang fasik
setelah taubat diterima ataukah tidak diterima untuk selamanya, terlepas dari
perbedaan tersebut menurut ijma’ para ulama walaupun orang fasik bertaubat tapi
ia tidak terlepas dari hadd. Adanya sifat adil dalam diri seseorang,
dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Adil merupakan sifat kejiwaan yang
dapat mendorong kepada seseorang untuk selalu melakukan perbuatan yang baik dan
dapat menjauhi perbuatan yang berdosa serta selalu menjaga harga dirinya.
Selain itu, Orang adil ialah yang memiliki sifat:
- Menjauhi segala dosa besar dan tidak terus menerus melakukan dosa kecil
- Baik hati
- Dapat dipercaya sewaktu marah, tidak akan melanggar kesopanan
- Menjaga kehormatannya sebagaimana kehormatan orang yang setingkat dengan dia.[4]
Adil secara bahasa artinya adalah Istiqamah. Kata
adil merupakan lawan kata dari curang. Keadilan menurut syara’ adalah
kestabilan keadaan dalam beragama, kelurusan perkataan dan kelurusan
perbuatannya. Adil dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab, yaitu al-adl.
Dalam al-Qur’an al-adl banyak sinonimnya di antaranya adalah mizan,
qawam, al-haq, wasath dan al-qisth. Meskipun demikian, inti dari
semuanya itu adalah sama yakni seimbang dan tidak berat sebelah serta
menempatkan sesuatu pada tempatnya. Kata adil terdapat dalam al-Qur’an sering
dikaitkan dengan kondisi sosial masyarakat. Hal ini disebabkan bersikap adil
tersebut bukan hanya pada orang lain saja, akan tetapi bersikap adil terhadap
diri sendiripun dianjurkan. Adil adalah orang yang mustaqim dalam
agamanya, tidak Nampak sesuatu yang meragukan dari dirinya, melaksanakan yang
wajib dan menjauhi perkara yang mungkar dan haram. Menurut jumhur Ulama
keadilan adalah sifat lebih dari Islam. Yakni hendaknya selalu berpegang teguh
dengan berbagai perkataan yang wajib dan sunnah serta selalu menjauhi berbagai
hal haram atau makruh.
Syaikh Ibnu Taimiyah menyatakan menolak persaksian
orang yang terkenal suka bohong adalah perkara yang disepakati oleh kalangan
para ahli fikih dan sebaiknya persaksian orang yang terkenal jujur dapat
diterima, sekalipun tidak berpegang teguh kepada batasan-batasan Allah, yakni
ketika dalam kondisi darurat seperti misalnya berada dalam penjara. Sedangkan
menurut ahli fikih yang dianggap sebagai tanda keadilan ada 2 hal, yaitu:
a. Melaksanakan berbagai hal
wajib, yakni shalat 5 waktu dan shalat jum’at dengan segala sunnah rawatibnya.
Maka tidak bisa diterima persaksian orang yang selalu meninggalkan shalat
sunnah rawatib dan witir. Selain itu harus selalu bersikap menjauhi hal-hal
yang haram dengan tidak melakukan dosa besar dan tidak ketagihan melakukan dosa
kecil.
b. Memiliki keperwiraan, yaitu semua amal perbuatan
yang menghiasi dirinya dan menjadikannya bagus, seperti kedermawanan, berakhlak
mulia, baik dalam bertetangga, menjauhi apa-apa yang mengotori dirinya dan
menjadikannya bertindak kasar berupa perkara-perkara hina, seperti penyanyi dan
pelawak, yaitu orang yang selalu mengundang tawa banyak orang karena perkataan
atau tingkah lakunya.
Allah SWT telah melarang untuk menerima persaksian
orang yang suka menuduh orang lain melakukan zina dan juga orang yang mencari
keuntungan untuk dirinya sendiri dengan menjadi saksi atau dengan menjadi saksi
ia akan bebas dari suatu bahaya.[5]
Menurut Imam Syafi’I yang dimaksud saksi yang adil
adalah orang yang tidak berdosa besar dan dosa kecil seperti mencuri, sikap
perilaku tidak sopan dan sebagainya. Artinya bahwa saksi tersebut tidak selalu
melakukan dosa-dosa kecil dan tidak berbuat dosa besar serta berperilaku yang
sopan dalam kehidupan di masyarakat. Ibnu Qasim Al-Ghazi memberikan pengertian
adil adalah Istiqamah dan I’tidal, keduanya diartikan dengan
mampu mengekang hawa nafsunya dari perbuatan-perbuatan yang menyebabkan dosa
kecil maupun dosa besar. Sedangkan menurut Abu Bakar Ad-Dimyati adil adalah
Islam, mukallaf (mengerti dan dapat membedakan yang benar dan yang salah), bisa
mendengar, bisa melihat dan bisa berbicara. Dalam arti tidak cacat secara
fisik, sehingga dalam persaksiannya tidak diragukan keadilannya. Selain itu Abu
Bakar Ad-Dimyati berpendapat bahwa adil adalah jelas dalam meninggalkan dosa
besar dan menjauhi dosa-dosa yang kecil dengan memperbanyak pahala ketaatan
untuk menghapus pahala kemaksiatan. Artinya bahwa orang yang adil adalah orang
yang mampu meninggalkan dosa besar dan tidak terlalu sering mengerjakan
perbuatan yang mengakibatkan dosa kecil serta memperbanyak ketaatan untuk
menghilangkan dosa kemaksiatan yang disengaja maupun yang tidak disengaja.
Pendapat lain sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Sama’I bahwa adil itu
harus mencakup empat syarat:
- Memelihara perbuatan taat (amalan salih) dan menjauhi perbuatan maksiat
- Tidak mengerjakan dosa kecil yang sangat keji
- Tidak mengerjakan yang halal yang merusak muru’ah (kesopanan)
- Tidak mengi’tikadkan sesuatu yang ditolak mentah-mentah oleh dasar-dasar syara’
Kemudian Imam Syaukani memberikan pengertian adil
adalah:
- Berpegang pada syara’
- Mengerjakan pekerjaan taat
- Meninggalkan perbuatan maksiat
Sedangkan menurut Soemiyati yang dimaksud dengan adil
adalah orang yang taat beragama, yaitu orang yang menjalankan perintah Allah
dan meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh Allah. Sedangkan untuk mengetahui
keadilan seseorang dapat dilihat karena popularitasnya sebagai orang yang adil
dan dapat dilihat dalam tingkah lakunya sehari-hari, yaitu melaksanakan
syarat-syarat yang disebutkan berbagai pendapat di atas.
Imam Manshur Al-Bahwati, seorang Ulama Fikih madzhab
Hanbali mengatakan bahwa adil itu ialah: konsisten dalam beragama serta
konsekuen dalam perkataan dan perbuatan. Sedangkan Al-Qurthubi mengatakan bahwa
adil itu adalah konsekuen menjalankan agama dan sempurnanya. Hal ini dengan
menjauhi dosa besar, memelihara harga diri, meninggalkan dosa kecil, dapat
dipercaya dan tidak pelupa. Sedangkan Ash-Shan’ani mendefinisikan adil dengan
orang yang amal baiknya dapat mendesak amal buruknya dan tidak pernah berdusta.[6]
Dari berbagai pendapat di atas dapat diketahui tentang
saksi yang adil adalah:
- Saksi yang selalu mengerjakan apa yang diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang oleh Allah
- Saksi mampu mengekang hawa nafsu untuk berbuat yang tidak dibenarkan oleh syara’
- Saksi selalu taat menjalankan Syari’at Islam
- Saksi yang tidak selalu mengerjakan perbuatan yang mengakibatkan dosa kecil dan tidak melakukan dosa besar
- Saksi yang mempunyai muru’ah (wibawa kesopanan) di dalam masyarakat.
[1] Slamet Abidin dan
Amiruddin, Fiqih Munakahat (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), 85-89.
[2] Abu Bakar Jabir al
Jazairy, Minhajul Muslim (Kairo: Maktabah Al-Mashad Husainiyah),
717-718.
[3] Ibnu Rusyid, Bidayatul
Mujtahid, Jilid 2, Penerjemah Abu Usamah (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007),
940.
[4] Sulaiman Rasyid, Fikih
Islam (Bandung: PT. Sinar Baru Algensindo, 2000), 490.
[5] Shalih Bin Fauzan
Al-Fauzan, Ringkasan Fikuh Lengkap, Jilid I-II, Penerjemah Drs. Asmuni
(Jakarta: PT Darul Falah, 2005), 1180-1182.
[6] Suaidi, Skripsi
Keadilan Saksi Nikah Perspektif Fiqih Islam (Malang: UIN Malang, 2002),
34-36.