Tindak Pidana Penodaan Agama
Friday, 14 October 2016
SUDUT HUKUM | Pengertian
tindak pidana agama dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) kriteria, yaitu:[1]
- tindak pidana menurut agama;
- tindak pidana terhadap agama;
- tindak pidana yang berhubungan dengan agama atau kehidupan beragama.
Delik
agama dalam pengertian tindak pidana “menurut agama”, menurut Barda Nawawi
Arief, dapat mencakup perbuatan-perbuatan yang menurut hukum yang
berlaku merupakan tindak pidana dan dilihat dari sudut pandang agama juga
merupakan perbuatan terlarang/ tercela, atau perbuatan lainnya yang tidak
merupakan tindak pidana menurut hukum yang berlaku tetapi dilihat dari sudut
pandang agama merupakan perbuatan terlarang/tercela.
Delik
Agama dalam pengertian Delik Terhadap Agama, terlihat terutama dalam
Undang-Undang Nomor 1 Pnps 1965 dan khususnya Pasal 156a KUHP (penodaan
terhadap agama dan melakukan perbuatan agar orang tidak menganut agama) . Pada
delik agama dalam pengertian delik “terhadap agama” (Pasal 156 KUHP) awalnya
tidak dijumpai dalam ketentuan KUHP. Delik ini ditujukan khusus untuk
melindungi Keagungan dan kemuliaan Tuhan, Sabda dan Sifatnya, Nabi/Rasul, Kitab
Suci, Lembaga-lembaga Agama, Ajaran Ibadah Keagamaan, dan tempat beribadah atau
tempat suci lainnya.
Perlu
ditegaskan, bahwa delik agama dalam pengertian “delik terhadap agama”, yakni
Pasal 156a dalam KUHP, sudah ada sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1
Pnps 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama, Lembaran Negara
No. 3 Tahun 1965, tertanggal 27 Januari 1965, di mana salahsatu Pasalnya, yaitu
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Pnps 1965 dimasukkan ke dalam KUHP menjadi Pasal
156a.
Adapun
delik agama dalam pengertian ”yang berhubungan dengan agama” atau “terhadap
kehidupan beragama”, tersebar antara lain di dalam Pasal 175-181 dan 503 ke-2
KUHP yang meliputi perbuatan-perbuatan:
- merintangi pertemuan/upacara agama dan upacara penguburan jenazah (Psl. 175);
- mengganggu pertemuan/upacara keagamaan dan upacara penguburan jenazah (Psl. 176);
- menertawakan petugas agama dalam menjalankan tugasnya yang diijinkan (Psl. 177 ke-1);
- menghina benda-benda keperkuan ibadah (Psl. 177 ke-2);
- merintangi pengangkutan mayat ke kuburan (Psl. 178);
- menodai/merusak kuburan (Psl. 179); menggali, mengambil, memindahkan jenazah (Psl. 180);
- menyembunyikan/menghilangkan jenazah untuk menyembunyikan kematian/kelahiran (Psl. 181);
- membuat gaduh dekat bangunan untuk ibadah atau pada waktu ibadah dilakukan (Psl. 503 ke-2)
Delik
yang berhubungan dengan agama atau terhadap kehidupan beragama ditujukan untuk
menciptakan rasa aman dan ketentraman umat beragama dalam melaksanakan
aktifitas agama dan keagamaan. Keamanan dan ketentrman dalam menjalankan agama dan
keagamaan, merupakan kepentingan hukum yang harus dilindungi dalam rangka
ketertiban umum. Agama dalam delik ini tidak menjadi obyek perlindungan, karena
dianggap bukan kepentingan hukum, yang menjadi kepentingan hukum adalah
aktifitas agama dan keagamaan, seperti merintangi upacara agama dan upacara
penguburan jenazah atau membuat suasana gaduh ditempat ibadah sehingga
menggangu jalannya ibadah.
Pengaturan
tindak pidana agama dalam KUHP, pada awalnya hanyalah mencakup pengertian
tindak pidana agama yang ketiga, yaitu tindak pidana yang berhubungan dengan
agama atau terhadap kehidupan beragama. Namun setelah adanya penambahan Pasal
156a ke dalam KUHP berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1/Pnps/1965, barulah
pengertian tindak pidana agama yang kedua tercakup dalam KUHP.
Selain
Pasal 156a KUHP, sebenarnya Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1/Pnps/1965 juga
merupakan tindak pidana agama, hanya saja tidak diintegrasikan dalam KUHP.
Adapun jenis perbuatan yang dilarang dalam Pasal 1 tersebut adalah melakukan
penafsiran dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyimpang dari pokok-pokok
ajaran agama yang dianut di Indonesia. Namun ketentuan ini baru dapat dipidana,
menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1/Pnps/1965 apabila telah mendapat perintah
dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatan itu (berdasarkan SK Bersama
Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri), organisasi/aliran kepercayaan
yang melakukan perbuatan itu telah dibubarkan/ dinyatakan terlarang oleh
Presiden Republik Indonesia, namun orang/ organisasi itu masih terus melakukan
perbuatan itu.
Wirjono
Prodjodikoro menyatakan bahwa tindak pidana terhadap kepentingan agama dapat
dibedakan menjadi dua:[2]
- Tindak pidana yang ditujukan terhadap agama (againts) adalah benar-benar membahayakan agama dan yang diserang secara lansung. Di sini perbuatan maupun pernyataannya sengaja ditujukan langsung kepada agama.
- Tidak pidana yang bersangkutan/berhubungan dengan agama (relating, concerning) adalah tidak ditujukan secara lansung dan membahayakan agama itu sendiri.
Pada
umumnya orang menyebut tindak pidana agama dalam konotasi seperti yang ditunjuk
pada tindak pidana yang pertama, tidak termasuk tidak pidana yang kedua,
sehingga dapat dikatakan tindak pidana agama ini dalam pergertian sempit.
Sedangkan tindak pidana agama dalam pengertian yang luas mencakup baik tindak
pidana yang pertama maupun tindak pidana yang kedua. Tindak pidana yang
ditujukan terhadap agama dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 156, 156a, dan
157 KUHP yang selengkapnya sebagai berikut: Pasal 156 Barang siapa di muka umum
menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau
beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan ancaman pidana penjara
paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.
Pasal
156a Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa
dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan :
- yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang di anut di Indonesia;
- dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal
157
- Barang siapa menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum, yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
- jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pencariannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak pemidanaannya menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.
Kriminalisasi
tindak pidana agama sebagaimana diatur dalam KUHP dan Undang-Undang Nomor
1/Pnps/1965 tersebut di atas, menurut teori hukum pidana mencakup 3 (tiga)
teori perlindungan, yaitu sebagai berikut:
- Teori perlindungan agama (Religionsschutz-Theorie)
Menurut
teori ini, agama dilihat sebagai kepentingan hukum atau objek yang akan
dilindungi oleh negara, melalui peraturan perundang-undangan yang dibuatnya.
- Teori perlindungan perasaan keagamaan (Gefuhlsschutz-Theorie)
Menurut
teori ini, kepentingan hukum yang akan dilindungi adalah rasa/perasaan
keagamaan dari orang-orang yang beragama.
- Teori perlindungan perdamaian/ketentraman umat beragama (Friedensschutz-Theorie). Objek atau kepentingan hukum yang dilindungi menurut teori ini adalah kedamaian/ketentraman beragama diantara pemeluk agama atau dengan pengertian lain lebih tertuju pada ketertiban umum yang dilindungi.
Sebagai
tindak lanjut upaya pemerintah dalam melindungi agama, dalam Rancangan KUHP
telah diadakan bab khusus yang berjudul “Tindak Pidana Terhadap Agama dan
Kehidupan Beragama”. Diadakannya bab khusus mengenai tindak pidana agama
tersebut merupakan wujud dari upaya pembaharuan kebijakan hukum pidana di
Indonesia (penal reform) dalam rangka mewujudkan ketertiban umum. Adapun ruang
lingkup tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama menurut Rancangan
KUHP Tahun 2005 adalah sebagai berikut:
- Penghinaan terhadap agama, yang dirinci menjadi:
- menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat penghinaan terhadap agama yang dianut di Indonesia (Ps. 341);
- menghina keagungan Tuhan, firman dan sifat-Nya (Ps. 342);
- mengejek, menodai, atau merendahkan agama, rasul, nabi, kitab suci, ajaran agama, atau ibadah keagamaan (Ps. 343);
- delik penyiaran terhadap Pasal 341 atau 342 (Ps. 344).
- Gangguan terhadap penyelenggaraan ibadah dan kegiatan keagamaan, yaitu terdiri:
- mengganggu, merintangi, atau dengan melawan hukum membubarkan dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap jamaah yang sedang menjalankan ibadah, upacara keagamaan, atau pertemuan keagamaan (Ps. 346 (1));
- membuat gaduh di dekat bangunan ibadah pada waktu ibadah sedang berlangsung (Ps. 346 (2));
- di muka umum mengejek orang yang sedang menjalankan ibadah atau mengejek petugas agama yang sedang melakukan tugasnya (Ps. 347).
- Perusakan tempat ibadah, yaitu menodai atau secara melawan hukum merusak atau membakar bangunan tempat beribadah atau benda yang dipakai untuk beribadah (Ps. 348).
[1] Barda Nawawi Arief, Delik Agama dan Penghinaan Tuhan
(Blasphemy) Di Indonesia dan Perbandingan Berbagai Negara, (Semarang: BP
UNDIP, 2010), hal 1.
[2] Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu
Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 1982), hal 149.