Tugas dan Wewenang Pengadilan Agama dalam Perluasan Kewenangannya
Friday, 14 October 2016
SUDUT HUKUM | Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, pengertian dari
tugas, wewenang dan kewenangan adalah sebagai berikut :
Tugas adalah :
- Sesuatu yang wajib dikerjakan atau dilakukan.
- Suruhan atau perintah untuk melakukan sesuatu.
- Fungsi atau jabatan.
Wewenang adalah hak dan kekuasaan untuk melakukan
sesuatu. Kewenangan adalah hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk
melakukan sesuatu.
Negara Indonesia merupakan negara hukum dan sejalan dengan
hal itu, maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah
adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka yaitu
bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Dalam usaha sesuai tuntutan reformasi di
bidang hukum yaitu memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka
telah dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan UndangUndang Nomor 35
Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kemudian
dirubah lagi secara komprehensif sesuai dengan tuntutan perkembanganhukum masyarakat dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
Melalui perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tersebut telah diletakkan kebijakan bahwa segala urusan berkaitan
dengan peradilan baik yang menyangkut teknis yudisial maupun urusan organisasi,
administrasi dan finansial berada di bawah satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah
Agung. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, pembinaan badan peradilan umum, badan
peradilan agama, badan peradilan militer, dan badan peradilan tata usaha negara
berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Mengingat sejarah
perkembangan peradilan agama yang spesifik dalam sistem peradilan nasional,
pembinaan terhadap badan peradilan agama dilakukan dengan memperhatikan saran
dan pendapat Menteri Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan pancasila. Kekuasaan kehakiman yang merdeka mengandung
pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan
pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kebebasan dalam
melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas
hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila,
sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman tersebut di atas dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang karena
pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi
segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang cepat,
sederhana dan biaya ringan.
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menentukan dalam Pasal 24 ayat (2) bahwa Peradilan
Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung bersama badan peradilan lainnya di lingkungan Peradilan Umum,
Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Peradilan Agama
merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk
menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi masyarakat pencari keadilan
perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan,
waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.
Adanya pemberian dasar hukum kepada pengadilan agama dalam menyelesaikan
perkara tertentu merupakan maksud dari adanya penegasan kewenangan
Peradilan Agama tersebut.
Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, kewenangan pengadilan dilingkungan Peradilan Agama diperluas
sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat,
khususnya masyarakat yang beragama Islam. Perluasan tersebut antara lain
meliputi ekonomi syariah. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman menegaskan adanya pengadilan khusus yang dibentuk dalam
salah satu lingkungan peradilan dengan undang-undang. Oleh karena
itu, keberadaan pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama
perlu diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Adanya
penggantian dan perubahan kedua Undang-undang tersebut secara tegas
telah mengatur pengalihan organisasi, administrasi dan finansial dari semua
lingkungan peradilan di Mahkamah Agung. Dengan demikian, organisasi,
administrasi, dan finansial badan peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang
sebelumnya masih berada di bawah Departemen Agama berdasarkan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama perlu disesuaikan berdasarkan
ketentuan Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,
sehingga perlu pula diadakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama.
Menurut Pasal 49, 50, 51, 52 dan 52A, Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama, maka tugas-tugas dan wewenang
pengadilan agama adalah sebagai berikut:
Pasal 49 Pengadilan agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam dibidang:
- Perkawinan;
- Waris;
- Wasiat;
- Hibah;
- Wakaf;
- Zakat;
- Infaq;
- Shadaqah; dan
- Ekonomi syariah.
Pasal 50 (1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau
sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus
mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Umum. (2) Apabila terjadi sengketa hak milik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara orang-orang yang
beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama
bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
Pasal 51 (1) Pengadilan Tinggi Agama bertugas dan
berwenang mengadili perkara. (2) Pengadilan Tinggi Agama juga bertugas dan
berwenang mengadili ditingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan
mengadili antar pengadilan agama didaerah hukumnya.
Pasal 52(1) Pengadilan dapat memberikan keterangan,
pertimbangan, dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah
di daerah hukumnya,apabila diminta. (2) Selain tugas dan
kewenangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49 dan Pasal 51, pengadilan dapat
diserahi tugas dan kewenangan lain oleh atau berdasarkan undang-undang.
Pasal 52A Pengadilan agama memberikan istbat kesaksian rukyat hilal
penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah. Penyelesaian sengketa di pengadilan agama
tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syariah, melainkan juga di bidang
ekonomi syariah lainnya.
Dan yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang
beragama Islam” di sini adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan
sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai
hal-hal yang menjadi kewenangan
Peradilan Agama.