Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)
Wednesday, 5 October 2016
SUDUT HUKUM | Marc Ancel menyatakan, bahwa “modern
criminal science” terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu; “criminology”,
“criminal law”, “penal policy”. Marc Ancel juga pernah mengemukakan mengenai
kebijakan hukum pidana “penal policy” sebagaimana yang dikutif oleh
Barda Nawawi Arief, bahwa “penal policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni yang
mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif
dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada
pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan
undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan
(Barda Nawawi Arief, 2002 : 21).
Pengertian kebijakan atau politikhukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal.
Menurut Sudarto yang dikutif oleh Barda Nawawi Arief, politik hukum, adalah:
- Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.
- Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
Bertolak dari pengertian
demikian,politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil
perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat
keadilan dan daya guna. Maka politik hukum pidana itu mengandung arti, bagaimana
mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana
yang baik.
Menurut A. Mulder yang dikutif
oleh Barda Nawawi Arief, kebijakan hukum pidana ialah kebijakan untuk
menentukan:
- seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui;
- apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
- cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.
Berdasarkan uraian di atas
dapatlah ditegaskan, bahwa pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari
kebijakan/politik hukum pidana (penal policy) dan kebijakan kriminal dengan
menggunakan sarana penal (hukum pidana) juga menentukan masalah perbuatan apa
yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan sanksi apa yang sebaiknya
digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.
Kebijakan hukum pidana merupakan
bagian dari penegakan hukum yang kemudian menurut pendapat Yoseph
Goldstein, yaitu salah satu upaya penanggulangan tindak pidana,
yakni pertama ”total enforcement” (penegakan hukum sepenuhnya/total),
khususnya penegakan hukum pidana substansif (substansif law of crime).
Penegakan hukum secara total inipun memiliki keterbatasan, sebab aparat penegak
hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain meliputi
aturan-aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan
pemeriksaan pendahuluan serta hal lainnya. Adapun ruang lingkup yang
dibatasi ini disebut ”area of no enforcement” (area dimana penegakan hukum pidana
tidak dapat dilakukan sepenuhnya).
Penegakan hukum kedua, yaitu ”full
enforcement” (penegakan hukum secara penuh) dalam
ruang lingkup dimana penegak
hukum diharapkan menegakkan hukum secara maksimal. Hal ini dianggap ”not
a realistic expectation”, sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam
bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan kesemuanya mengakibatkan
keharusan dilakukan ”discreation” dan yang ”actual enforcement”
(Barda Nawawi Arief, 2002 : 26).
Berdasarkan teori Yoseph
Goldstein di atas serta kaitannya dengan kebijakan penegakan hukum atau
penaggulangan terhadap tindak pidana yang dilakukan dalam keadaan bencana dapat
mengarah kepada ”actual enforcement”, yaitu merupakan area yang dapat
ditegakkan oleh hukum pidana. Penegakan hukum atau penanggulangan secara ”actual
enforcement” melihat pada kenyataanya bahwa peristiwa itu melibatkan
aparat penegak hukum dalam hal penegakan hukum maupun penanggulangan terhadap kejahatan atau
tindak pidana itu.