Pungutan Liar dalam KUHP
Thursday, 13 October 2016
SUDUT HUKUM | Adapun penjelasan beberapa
Pasal di dalam KUHP yang dapat mengakomodir perbuatan pungutan liar adalah
sebagai berikut:
- Pasal 368 KUHP
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, atau supaya memberikan hutang maupun menghapus piutang, diancam, karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”
- Pasal 423 KUHP
Pegawai negeri yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa orang lain untuk menyerahkan sesuatu, melakukan suatu pembayaran, melakukan pemotongan terhadap suatu pembayaran atau melakukan suatu pekerjaan untuk pribadi sendiri, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun.”
Menurut ketentuan yang diatur
dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, kejahatan yang diatur dalam Pasal 423 KUHP merupakan tindak
pidana korupsi, sehingga sesuai dengan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal
12 huruf e dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, pelakunya dapat dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau dengan pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua
puluh tahun dan pidana denda paling sedikit dua puluh juta rupiah dan paling
banyak satu miliar rupiah.
Tindak pidana
yang diatur dalam Pasal 423 KUHP maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum di dalam rumusan Pasal 423 KUHP itu merupakan
suatu bijkomend oogmerk. sehingga oogmerk atau maksud tersebut
tidak perlu telah terlaksana pada waktu seorang pelaku selesai melakukan
perbuatan-perbuatan yang terlarang di dalam pasal ini.[1]
.
Dari rumusan
ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 423 KUHP di atas, dapat diketahui
bahwa yang dilarang di dalam pasal ini ialah perbuatan-perbuatan dengan
menyalahgunakan kekuasaan memaksa orang lain:
- untuk menyerahkan sesuatu;
- untuk melakukan suatu pembayaran;
- untuk menerima pemotongan yang dilakukan terhadap suatu pembayaran;
- untuk melakukan suatu pekerjaan untuk pribadi pelaku.
Perbuatan-perbuatan
dengan menyalahgunakan kekuasaan memaksa orang lain untuk menyerahkan sesuatu,
melakukan suatu pembayaran, menerima pemotongan yang dilakukan terhadap suatu
pembayaran dan melakukan suatu pekerjaan untuk pribadi pelaku itu merupakan
tindak-tindak pidana materil, hingga orang baru dapat berbicara tentang selesai
dilakukannya tindak-tindak pidana tersebut, jika akibat-akibat yang tidak
dikehendaki oleh undang-undang karena perbuatan-perbuatan itu telah timbul atau
telah terjadi. Karena tidak diberikannya kualifikasi oleh undang-undang
mengenai tindak-tindak pidana yang diatur dalam Pasal 423 KUHP, maka timbullah
kesulitan di dalam praktik mengenai sebutan apa yang harus diberikan pada
tindak pidana tersebut.[2]
Sejak
diperkenalkannya kata pungutan liar oleh seorang pejabat negara, tindak-tindak
pidana yang dimaksudkan dalam Pasal 423 KUHP sehari-hari disebut sebagai
pungutan liar. Pemakaian kata pungutan liar itu ternyata mempunyai akibat yang
sifatnya merugikan bagi penegakan hukum di tanah air, karena orang kemudian
mempunyai kesan bahwa menurut hukum itu seolah-olah terdapat gradasi mengenai
perbuatan-perbuatan memungut uang dari rakyat yang dilarang oleh undang-undang,
yakni dari tingkat yang seolah-olah tidak perlu dituntut menurut hukum pidana
yang berlaku hingga tingkat yang seolah-olah harus dituntut menurut hukum
pidana yang berlaku, sedang yang dewasa ini biasa disebut pungutan liar itu
memang jarang membuat para pelakunya diajukan ke pengadilan untuk diadili,
melainkan cukup dengan diambilnya tindakan-tindakan disipliner atau
administratif terhadap mereka, padahal kita semua mengetahui bahwa yang disebut
pungutan liar itu sebenarnya merupakan tindak pidana korupsi seperti yang
antara lain diatur dalam Pasal 12 huruf e dan f Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001.
Kebiasaan
tidak mengajukan para pegawai negeri yang melanggar larangan-larangan yang
diatur dalam Pasal 423 atau Pasal 425 KUHP Jo. Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 ke pengadilan untuk diadili, dan semata-mata hanya mengenakan
tindakan-tindakan administratif terhadap mereka itu perlu segera dihentikan,
karena kebiasaan tersebut sebenarnya bertentangan dengan beberapa asas tertentu
yang dianut oleh Undang-Undang Hukum Acara Pidana kita yang berlaku,
masing-masing yakni:
- Asas legalitas, yang menghendaki agar semua pelaku sesuatu tindak pidana itu tanpa kecuali harus dituntut menurut undang-undang pidana yang berlaku dan diajukan ke pengadilan untuk diadili;
- Asas verbod van eigen richting atau asas larangan main hakim sendiri, yakni menyelesaikan akibat hukum dari suatu tindak pidana tidak melalui proses peradilan.
Maksud untuk
tidak mengajukan tersangka ke pengadilan untuk diadili, maka maksud tersebut
harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan-peraturan perundangan yang berlaku.
Menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, suatu perkara itu hanya
dapat dikesampingkan untuk kepentingan umum, dan bukan untuk kepentingan
tersangka/ korps atau organisasi tersangka. Perbuatan menyampingkan perkara itu
tidak dapat dilakukan setiap orang dengan jabatan atau pangkat apa pun, karena
menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, LN Tahun 2004 No. 67, yang
berwenang menyampingkan suatu perkara berdasarkan kepentingan umum itu hanyalah
Jaksa Agung saja.
Mengenai
pengertiannya sebagai uang, perbuatan dengan menyalahgunakan kekuasaan memaksa
orang menyerahkan sesuatu itu sehari- hari dapat dilihat dalam bentuk pungutan
di jalan-jalan raya, di pos- pos pemeriksaan, di instansi-instansi pemerintah,
bahkan yang lebih tragis lagi adalah bahwa pungutan-pungutan seperti itu juga
dilakukan oleh para pendidik baik terhadap sesama pendidik maupun terhadap
anak-anak didik mereka. Akan tetapi, tidak setiap pungutan seperti yang
dimaksudkan di atas itu merupakan pelanggaran terhadap larangan yang diatur
dalam Pasal 423 KUHP jo. Pasal 12 Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001, karena
jika pungutan tersebut ternyata telah dilakukan karena pegawai negeri yang
memungut pungutan itu telah melakukan sesuatu atau mengalpakan sesuatu di dalam
menjalankan tugas jabatannya yang sifatnya bertentangan dengan kewajibannya,
maka perbuatannya itu merupakan pelanggaran terhadap larangan-larangan yang
diatur dalam Pasal 419 angka 2 KUHP jo. Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001.
Perbuatan yang
dilarang dalam Pasal 423 KUHP ialah dengan menyalahgunakan kekuasaan memaksa
orang lain melakukan suatu pembayaran. Sebenarnya tidak seorang pun dapat
dipaksa melakukan suatu pembayaran kecuali jika pemaksaan untuk melakukan
pembayaran seperti itu dilakukan berdasarkan suatu peraturan undang-undang.
- Pasal 425 KUHP
Kejahatan-kejahatan
yang diatur dalam Pasal 425 KUHP yakni menerima atau melakukan pemotongan
terhadap suatu pembayaran seolah-olah merupakan utang kepada dirinya atau
kepada pegawai negeri yang lain atau kepada sesuatu kas umum dan lain-lain,
yang dilakukan oleh pegawai negeri dalam menjalankan tugas jabatannya.
Perbuatan-perbuatan
yang dilarang dalam pasal ini:
- Pegawai Negeri yang di dalam menjalankan tugas jabatannya meminta, menerima, atau melakukan pemotongan terhadap suatu pembayaran seolah-olah merupakan utang kepada dirinya atau kepada pegawai negeri yang lain atau kepada sesuatu kas umum, sedang ia mengetahui bahwa utang seperti itu sebenarnya tidak ada;
- Pegawai Negeri yang di dalam menjalankan tugas jabatannya meminta atau menerima jasa-jasa secara pribadi atau penyerahan-penyerahan seolah-olah orang berutang jasa atau penyerahan seperti itu, sedang ia mengetahui bahwa utang seperti itu sebenarnya tidak ada;
- Pegawai Negeri yang di dalam menjalankan tugas jabatannya menguasai tanah-tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai bangsa Indonesia dengan merugikan orang yang berhak, seolah-olah yang ia lakukan itu sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku, sedang ia mengetahui bahwa dengan melakukan tindakan seperti itu sebenarnya ia telah bertindak secara bertentangan dengan peraturan-peraturan tersebut.
[1]
P.A.F.
Lamintang. 2006. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Sinar Grafika.
Jakarta. hal: 318.
[2] P.A.F. Lamintang. 2009. Delik-Delik Khusus Kejahatan Jabatan
Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika. Jakarta. hal: 390.