Sejarah Kriminologi
Monday, 24 October 2016
SUDUT HUKUM | Menurut Simandjuntak ( 1981 : 19 – 22 ) sejarah Kriminologi
terbagi menjadi lima, yaitu:
Zaman kuno
Pada zaman ini sudah mulai banyak pengetahuan tetapi Kriminologi
belum mendapat perhatian secara sistematik. Ada catatan lepas yang membahas
tentang kejahatan (1903) dari Van Kan mengetengahkan hasil penelitian tentang
sebab – musabab kejahatan. Jauh sebelum zaman ini pengarang Juani Plato (427 –
347 SM) telah mengemukakan bahwa emas, manusia merupakan sumber kejahatan.
Makin tinggi kekayaan dalam pandangan manusia , makin merosot penghargaan
terhadap asusila.
Dalam suatu negara yang sebagian besar rakyat berada dalam
kemiskinan , pasti bersarang secara diam – diam penjahat, tukang copet, anti
agama yang menyuburkan lahirnya ideologis komunis.
Dalam karya lainnya Dewetten mengemukakan : Jika dalam suatu
masyarakat tidak terdapat orang miskin dan tidak ada pula orang kaya, akan
terdapat kesusilaan yang tinggi karena di situ tidak akan ada rasa iri hati.
Aristoteles (384 – 322 SM) mengemukakan bahwa kemiskinan
menimbulkan kejahatan dan pemberontakan. Kedua pengarang ini berpengaruh dalam hokum
pidana. Mereka mengemukakan bahwa hukuman dijatuhkan bukan karena berbuat jahat,
tetapi agar jangan berbuat jahat.
Zaman abad pertengahan
Van Kan memberikan saham dalam merintis pertumbuhan Kriminologi
dengan orientasi sosiologi kriminal dengan mengemukankan pendapat ahli zaman
ini. Tidak banyak pengarang memberikan perhatian pada zaman ini. Thomas Van
Aquino (1226-1274) mengemukakan pendapat bahwa kemiskinan dapat menimbulkan kejahatan
sedangkan orang kaya yang hidup bermewah - mewah akan menjadi pencuri bila
jatuh miskin. Dan kemiskinan biasanya memberikan dorongan mencuri.
Permulaan sejarah baru (abad ke-16)
Zaman ini dapat dianggap zaman lahirnya Kriminologi dalam
arti sempit, karena pada zaman ini Thomas More membahas hubungan kejahatan
dengan masyarakat. Ahli hukum ini menggeritik pemerintahan Inggris yang
menghukum penjahat terlalu keras. Mengatakan kejahatan hanya berkurang bila ada
perbaikan hidup, bukan karena hukuman yang keras, Mengecam susunan hukum pidana
di mana berlakunya hukuman mati untuk pencurian.
Abad ke-18 hingga revolusi perancis
Pada abad ini mulai ada penetangan terhadap hukum pidana. Hukum
pidana sebelumnya ditunjukan untuk menakuti dengan penjatuhan hukuman
penganiayaan. Pembuktian tergantung dari kemauan si pemeriksa dan pengakuan si
tersangka. Keadaan ini mempengaruhi hukum dan acara pidana. Mulailah hak azasi
manusia diberlakukan pula untuk si penjahat.
Montesquie (1748) membuka jalan di mana ia menetang tindakan
sewenang – wenang hukuman yang kejam. Kemudian Rousseau (1712 – 1778) melawan
terhadap perlakuan kejam kepada penjahat, Voltaire (1672) tampil sebagai
pembela untuk Jean Cals yang tidak berdosa yang dijatuhi hukuman mati dan
menetang terhadap peradilan pidana yang sewenang – wenang itu. Sebelum zaman
revolusi Perancis ide – ide ini sudah ada hasilnya, dan pada tahun 1780
Perancis menghapuskan hukuman penganiayaan, sedang tahun 1740 Frederik Agung
sudah menghapuskan penganiayaan tersebut. Sedangkan Joseph II menghapuskan
hukuman mati.
Dari revolusi Perancis hingga tahun 30 abad 19
revolusi Perancis (1791) mengakhiri hukuman pidana. Dimana telah
dirumuskan dengan tegas kejahatan, tiap manusia sama di muka undang – undang.
Hal ini juga berpengaruh ke negeri Inggris. Keadaan pemasyarakatan di Inggris
sangat buruk tetapi di Nederland telah ada reorientasi. Hanya di Amerika di
adakan perubahan yang radikal (1791) dalam lembaga pemasyarakatan. Pada tahun
1823 di Newyork diadakan sistem Auburn. Perbaikan ini belum menyeluruh,
baru bersifat yuridis.
Suatu hal yang masih tidak dapat diterima ialah mempersamakan semua
penjahat. Hal ini masih mendapat perlawanan karena penjahat berbuat jahat tidak
sama. Logis kalau mereka tidak dipersamakan. Iklim baru benar – benar terjadi
pada tahun 70 abad 19.
Kriminologi memberi sumbangan.
Peryakinan ilmu soisal tidak mendapatkan iklim yang baik di
Perancis dan Inggris. Sebenarnya kejahatan memuncak sebagai akibat
berkembangnya industri. Mereka tidak tergerak mencari sebab – sebab kejahatan
untuk membasminya. Mereka tetap berpikir tradisional membasmi kejahtan dengan
penjatuhan hukuman yang berat. R. Owen dalam bukunya “The book of the new
moral word” ( 1844) mengatakan bahwa lingkungan yang tidak baik membuat
kelakuan orang menjadi jahat, dan lingkungan yang baik sebaliknya. Timbulah
semboyan : ubalah keadaan masyarakat dan anggotaanggotanya akan berubah pula.
Jika tiap orang didik dengan baik serta cukup untuk hidup taraf moral akan naik
dan hukuman tidak perlu.
Pada masa ini orang gila masih diperlakukan seperti penjahat.
Penjahat mempunyai kemauan bebas sedang orang gila tidak memiliki kemauan
bebas. Tetapi berkat lahirnya ilmu psikiatri mulailah ada perubahan Dokter
Perancis Pinel (1754 – 1826) memperkenalkan ilmu baru ini. Hasilnya ditambahkan
dalam satu pasal yang berbunyi, tidaklah terdapat suatu kejahatan apabila si
terdakwa berada dalam sakit jiwa. Prinsip ini semula belum selancar bunyi
undang – undang. J.E.D. Esquirol (1772 – 1840) memperkenalkan teorinya
monomanien (ganguan rohani). Maka
pengakuan akan penyakit jiwa sebagai sebab – sebab kejahatan mulai
diakui sejak penghabisan abad ke-18.
Ilmu antropologi kriminal juga lahir berkat usaha prenologi Gall
(1758 – 1828). Mereka mengatakan tiap fungsi mempunyai kedudukan organiknya di
otak. Pendapat ini mempunyai kedudukan organiknya di otak. Pendapat ini
merupakan dasar pada ajaran lokalisasi yang dipimpin Broca (1824 – 1880). Pada
tengkorak bagian luar dapat dilihat ciri- ciri seperti benjol pencurian, benjol
alkohol. Tetapi ada manfaat ajaran ini mendapat serangan dari para ahli
sehingga hilang dari peradaran. Kebenjolan mungkin suatu hal yang kebetulan
saja. Tetapi ada manfaat ajaran ini bagi Kriminologi sebab dengan demikian
orang sadar bahwa kelainan otak penjahat membedakan dia dari orang normal. Ilmu
penologi tidak memberikan bantuan dalam masalah ini.