Zakat Produk Hewani Menurut Didin Hafidhuddin
Thursday, 13 October 2016
SUDUT HUKUM | Secara umum dan
global Al-Qur’an menyatakan bahwa zakat itu merupakan perintah Allah kepada
orang-orang yang beriman untuk mengeluarkan sebagian harta yang diambil dari setiap
harta yang kita miliki dan juga diambil dari setiap hasil usaha yang baik dan
halal dari hasil usaha yang terkait, baik yang berupa mata uang, barang
dagangan, hewan ternak, maupun yang berbentuk tanaman, buah-buahan dan
biji-bijian.
Memahami ayat-ayat
Allah dalam Al-Qur’an jelas sekali memerlukan pemahaman kondisional masyarakat
saat itu. Karena wacana yang dikembangkan Al-Qur’an sangat erat kaitannya dengan
lingkungan masyarakat Arab saat itu. Apa yang terjadi pada waktu itu kemudian
direspon Allah dalam bentuk ayat. Jadi, secara tekstual ayat Al-Qur’an tidak
mencakup apa yang terjadi setelah ayat selesai diturunkan.
Al-Qur’an tidak
memberi ketetapan tentang kekayaan wajib zakat dan syarat-syarat apa yang harus
dipenuhi serta tidak menjelaskan berapa besar yang harus dizakatkan. Persoalan
itu diserahkan kepada sunnah Nabi, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan.
Sunnah itulah yang menafsirkan yang masih bersifat umum, menerangkan yang masih
samar, memperkhusus yang terlalu umum, memberikan contoh konkret
pelaksanaannya, dan membuat prinsip-prinsip aktual dan bisa diterapkan dalam kehidupan
manusia.
Sejalan dengan
ketentuan ajaran Islam yang selalu menetapkan standar umum pada suatu kewajiban
yang dibebankan kepada umatnya, maka
dalam menetapkan harta menjadi sumber atau objek zakat pun terdapat beberapa
ketentuan yang harus dipenuhi. Salah satunya yaitu apabila harta seorang muslim
belum mencapai nishab, maka harta tersebut belum menjadi sumber atau objek
yang wajib dikeluarkan zakatnya.
Pada awal tegaknya
Islam, zakat hanya meliputi zakat pertanian, zakat peternakan, zakat
perdagangan, zakat emas dan perak, dan zakat harta terpendam. Seiring dengan
perkembangan ekonomi, sumber zakat pun mengalami perkembangan berdasarkan qiyas
(analogi), misalnya zakat profesi, zakat perusahaan, zakat surat-surat
berharga, zakat perdagangan uang (money changer), zakat hewan ternak
yang diperdagangkan, zakat madu dan produk hewani, dan zakat sektor modern
lainnya. Jenis hasil binatang yang menimbulkan kekayaan besar dikenakan wajib
zakat. Misalnya madu lebah, ulat sutera, air susu ternak, telur ayam dan hasil
hewani lainnya.
Produk hewani
seperti madu, susu, sutera, telur, dan daging telah menjadi kekayaan besar di
zaman sekarang ini bahkan menjadi komoditas perdagangan. Hasil-hasil hewani tersebut
menjadi salah satu pendapatan masyarakat untuk mengangkat taraf hidupnya
menjadi lebih baik. Dan sebagai umat Islam, mereka harus memperhatikan nasib
fakir miskin dengan mengeluarkan zakat dan shodaqah dari hasil atau produk
hewani tersebut.
Dalam Al-Qur’an
terdapat ayat yang menerangkan mengenai produk hewani yang sangat bermanfaat
dan dapat mendatangkan keuntungan yang besar. Seperti asalnya hewan ternak yang
mengeluarkan air susu sebagai minuman yang sangat segar bagi manusia. Ini
merupakan suatu nikmat yang harus disyukuri oleh manusia dengan cara
memanfaatkannya kepada hal-hal yang berguna bagi kesehatan dan menjadikannya
sarana taqarrub (ibadah) kepada Allah SWT; seperti mengeluarkan zakatnya
untuk membantu fakir miskin meningkatkan taraf hidupnya.[1]
Menurut Didin
Hafidhuddin, produk hewani wajib dikeluarkan zakatnya dengan menggunakan ayat
maupun hadits yang bersifat umum sebagai landasan hukumnya yaitu bahwa semua
harta wajib dikeluarkan zakatnya. Sedangkan untuk menentukan obyek zakat,
salah satu kriterianya adalah tujuan adanya harta tersebut. Tujuan utama dari produk
hewani seperti susu, telur, madu, sutera dll adalah untuk diperjualbelikan.
Karena itu, produk hewani masuk pada ranah perdagangan sehingga dianalogikan
kepada zakat perdagangan dan nishabnya senilai 85 gram emas yang
dikeluarkan setiap tahun sebesar 2,5 persen.
[1]
Mahyuddin,
Masailul Fiqhiyyah, Jakarta: Kalam Mulia, 2003, h. 209