Bentuk Tindakan Main Hakim Sendiri (Eigenrichting)
Tuesday, 15 November 2016
SUDUT HUKUM | Tindakan
main hakim sendiri merupakan suatu respon masyarakat terhadap suatu peristiwa
kejahatan yang malah menciptakan suasana tidak tertib. Masyarakat yang harusnya
menaati hukum yang berlaku yang telah ditetapkan oleh penguasa bertindak sebaliknya,
mereka melakukan suatu respon terhadap adanya kejahatan dengan menghakimi
sendiri pelaku tindak pidana. Akan tetapi apabila dilihat dari pengertian tindak
pidana yang telah diuraikan dimuka maka akan tampak jelas bahwa apa yang
dilakukan oleh masyarakat terhadap pelaku tindak pidana yang tertangkap oleh
masyarakat dengan dipukuli sampai babak belur bahkan sampai dengan membakarnya
hidup- hidup merupakan suatu bentuk lain dari kejahatan (Andi Hamzah 1986:167).
Tindakan main hakim sendiri ini lebih sering dilakukan secara
massal untuk menghindari tanggung jawab pribadi serta menghindari pembalasan
dari teman atau keluarga korban. Tindak kekerasan yang diambil masyarakat
dianggap sebagai langkah tepat untuk menyelesaikan suatu masalah yang dianggap
sebagai perbuatan melawan hukum.
Bentuk-bentuk tindak pidana main hakim sendiri (eigenrichting)
terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh massa, dapat dilihat
bahwa tidak ada perbedaan dengan perbuatan pidana pada umumnya, hanya saja yang
membedakan adalah dari segi subyek pelakunya yang lebih dari satu orang. Oleh
karena itu perbuatan pidana yang dilakukan secara massal pembahasannya dititik
beratkan pada kata “massa”.
Berdasarkan kata “massa” yang menunjuk pada pelaku pada
perbuatan pidana dimaksudkan adalah dua orang lebih atau tidak terbatas
maksimalnya. Melihat definisi tersebut, perbuatan pidana yang dilakukan oleh
massa juga dapat dikatakan dilakukan secara kolektif, karena dalam melakukan
perbuatan pidana para pelaku dalam hal ini dengan jumlah yang banyak/lebih dari
satu orang dimana secara langsung atau tidak langsung baik direncanakan ataupun
tidak direncanakan telah terjalin kerja sama baik hal tersebut dilakukan secara
bersama-sama maupun sendiri sendiri dalam hal satu rangkaian peristiwa kejadian
yang menimbulkan perbuatan pidana atau lebih spesifik menimbulkan/mengakibatkan
terjadinya kerusakan baik fisik ataupun non fisik. Hal ini di atur dalam Pasal
170 KUHP. (Andi Hamzah, 2009:7)
Pasal 170 KUHP berbunyi demikian:
“(1) Barang siapa yang di muka umum bersama-sama melakukan
kekerasan terhadap orang atau barang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun
enam bulan.
(2) Tersalah dihukum:
- Dengan penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika ia dengan sengaja merusakkan barang atau kekerasan yang dilakukannya itu menyebabkan sesuatu luka.
- Dengan penjara selama-lamanya Sembilan tahun,jika kekerasan itu menyebabkan luka berat pada tubuh
- Dengan penjara selama-lamanya dua belas tahun, jika kekerasan itu menyebabkan matinya orang.”
Perlu diuraikan unsur-unsur yang terdapat dalam pasal ini
sebagai berikut:
- Barangsiapa. Hal ini menunjukkan kepada orang atau pribadi pelaku.
- Di muka umum. Perbuatan itu dilakukan di tempat dimana publik dapat melihatnya
- Bersama-sama, artinya dilakukan oleh sedikit-dikitnya dua orang atau lebih. Arti kata bersama-sama ini menunjukkan bahwa perbuata itu dilakukan dengan sengaja (delik dolus) atau memiliki tujuan yang pasti, jadi bukanlah merupakan ketidaksengajaan (delik culpa).
- Kekerasan, yang berarti mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil dan tidak sah. Kekerasan dalam pasal ini biasanya terdiri dari “merusak barang” atau “penganiayaan”.
- Terhadap orang atau barang. Kekerasan itu harus ditujukan kepada orang atau barang sebagai korban.
Biasanya pasal ini sering dipakai oleh penuntut umum untuk
menjerat para pelaku perbuatan pidana yang dilakukan oleh massa yang terbentuk
secara tidak terorganisir. Sedangkan Pasal 170 KUHP mengandung kendala dan
berbau kontroversi karena subyek “barang siapa” menunjuk pelaku satu orang,
sedangkan istilah” dengan tenaga bersama” mengindikasikan suatu kelompok
manusia. Delik ini menurut penjelasannya tidak ditujukan kepada kelompok atau
massa yang tidak teratur melakukan perbuatan pidana, ancamannya hanya ditujukan
pada orang-orang diantara kelompok benar benar terbukti serta dengan tenaga
bersama melakukan kekerasan. Dalam kelompok massa yang unik sifatnya jelas
delik seperti ini sukar diterapkan.
Jadi Pasal 170 relevan diterapkan pada massa yang reaksioner
atau spontanitas dalam melakukan perbuatan pidana. Berbeda halnya dengan massa
yang terorganisir bisa menggunakan pasal pada delik penyertaan, karena dalam
pasal-pasalnya jelas mengenai kedudukan para pelaku yang satu dengan yang lain,
tidak seperti massa yang reaksioner (tidak masuk dalam delik penyertaan yaitu
penganjuran) dimana massa tidak jelas kedudukan satu dengan yang lain, dan
otomatis dalam hal ini dipandang sama-sama sebagai pelaku yang mempunyai
tanggung jawab yang sama dengan pelaku yang lain.
Adapun yang selama ini menjadi permasalahan adalah terkait
tindakan hukum dan pemberian sanksi yang adil serta efektif terhadap kelompok
dan pelaku-pelaku atau sekumpulan orang yang mengalami kesulitan dalam
pengaplikasiannya di lapangan. Pada perbuatan pidana yang dilkukan oleh massa
untuk menentukan batas maksimal dari jumlah massa sulit, sebagaimana pengertian
dari kata “massa” adalah dua orang untuk minimal dan tidak terbatas untuk
maksimal. Jadi massa dalam hal ini ada 2 kategori dari jumlah massa yaitu,
massa yang jelas berapa jumlahnya dan massa yang tidak jelas berapa jumlah
massanya (Adami Chazawi, 2002:123).
Untuk massa yang
jelas berapa jumlah massanya adalah dimana massa yang terlibat perbuatan pidana
dapat dihitung berapa jumlahnya serta diketahui seberapa besar keterlibatan
dalam melakukan perbuatan pidana, sebab hal tersebut sudah diatur dalam hukum
pidana yaitu pada delik penyertaan. Sedangkan untuk massa yang tidak jelas
berapa banyak jumlah massanya adalah dimana massa banyak serta sulit dihitung
dengan nominal, sehingga menyulitkan dalam menentukan apakah semua massa yang
banyak terlibat semua atau tidak, atau hanya sebagiannya saja.