Jenis-Jenis Putusan Hakim Dalam Perkara Pidana
Friday, 11 November 2016
SUDUT HUKUM | Setelah menerima, memeriksa,
dan mengadili seorang pelaku tindak pidana, maka selanjutnya hakim akan
menjatuhkan putusannya. Dalam hukum pidana, ada 2 (dua) jenis putusan hakim
yang dikenal selama ini, yaitu yang pertama, putusan sela dan yang kedua,
putusan akhir.
1. Putusan Sela
Masalah terpenting dalam
peradilan pidana adalah mengenai surat dakwaan penuntut umum, sebab surat
dakwaan merupakan dasar atau kerangka pemeriksaan terhadap terdakwa disuatu
persidangan. Terdakwa hanya dapat diperiksa, dipersalahkan, dan dikenakan
pidana atas pasal yang didakwakan oleh penuntut umum, dalam arti hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa di luar dari pasal yang didakwakan
tersebut. Oleh karena itu, dalam membuat surat dakwaan, penuntut umum harus
memperhatikan syarat-syarat limitatif, sebagaiman yang telah ditentukan oleh
undang-undang, yaitu Pasal 143 KUHAP, yaitu syarat formil dan syarat mareriil.
Terhadap surat dakwaan penuntut
umum tersebut, ada hak secara yuridis dari terdakwa atau penasihat hukum
terdakwa untuk mengajukan keberatan (eksepsi), dimana dalam praktik persidangan
biasanya eksepsi yang diajukan meliputi eksepsi pengadilan tidak berwenang
mengadili (exeptie onbevoegheid) baik absolud maupun yang relatif,
eksepsi dakwaan tidak
dapat diterima, eksepsi pada yang didakwakan bukan merupakan tindak pidana,
eksepsi terhadap perkara yang nebis in idem, eksepsi terhadap perkara telah
kadaluarsa, eksepsi bahwa apa yang dilakukan terdakwa tidak sesuai dengan
tindak pidana yang dilakukan, eksepsi surat dakwaan kabur (obscure libel),
eksepsi dakwaan tidak lengkap, ataupun eksepsi dakwaan error in persona.
Atas keberatan
(eksepsi) yang menyangkut kewenangan pengadilan dalam negeri dalam mengadili
suatu perkara atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus
dibatalkan. Sebagaiman ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP, hakim akan
memberikan kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya,
kemkudian hakim akan mempertimbangkannya, selanjutnya akan diambil suatu
putusan oleh hakim.
Adapun materi
putusan hakim terhadap keberatan (eksepsi) yang menyangkut kewenangan
mengadili, dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan,
sebagaiman ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP dapat berupa antara lain sebagai
berikut:
a.
Menyataan Keberatan (Eksepsi) Diterima
Apabila
keberatan (eksepsi) terdakawa atau penasihat hukum terdakwa, maka pemeriksaan
terhadap pokok perkara bergantung kepada jenis eksepsi mana diterima oleh
hakim, jika eksepsi terdakwa yang diterima mengenai kewenangan relatif, maka
perkara tersebut dikembalikan kepada penuntut umum untuk dilimpahkan kembali
ke wilayah pengadilan negeri yang berwenang mengadilinya.
Adapun jika
keberatan (eksepsi) yang diterima menyangkut dakwaan batal atau dakwaan tidak
dapat diterima, maka secara formal perkara tidak dapat diperiksan lebih lanjut
atau pemeriksaan telah selesai sebelum hakim memeriksa pokok perkara (Pasal 156
ayat (2) KUHAP)
b.
Menyatakan Keberatan (Eksepsi) Tidak Dapat Diterima
Apabila dalam
putusan selanya hakim menyatakan bahwa keberatan dari terdakwa atau penasihat
hukum terdakwa, dinyatakan tidak dapat diterima atau hakim berpendapat hal
tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan perkara a quo, maka
dakwaan penuntut umum dinyatakan sah sebagaimana ketentuan Pasal 143 ayat (2)
huruf a dan b KUHAP.
Terhadap hal
tersebut, upaya hukum yang dapat dilakukan oleh terdakwa atau penasehat
hukumnya adalah perlawanan (verzet), tetapi dalam praktik peradilan,
perlawanan (verzet) yang diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya
akan dikirim bersamaan dengan upaya banding terhadap putusan akhir yang
dijatuhkan oleh pengadilan negeri (Pasal 156 ayat (5) huruf a KUHAP)
2. Putusan Akhir
Setelah
pemeriksaan perkara dinyatakan selesai oleh hakim, maka sampailah hakim pada
tugasnya, yaitu menjatuhkan putusan, yang akan 26
memberikan penyelesaian pada suatu perkara yang terjadi
antara negara dengan warga negaranya. Putusan yang demikian biasanya disebut
sebagai putusan akhir. Menurut KUHAP ada beberapa jenis putusan akhir yang
dapat dijatuhkan oleh hakim dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut.
a.
Putusan Bebas (Vrijspraak)
Putusan bebas (Vrijspraak)
adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim yang berupa pembebasan terdakwa
dari suatu tindak pidana yang dituduhkan terhadapnya, apabila dalam dakwaan
yang diajukan oleh penuntut umum terhadap terdakwa di persidangan, ternyata
setelah melalui proses pemeriksaan dalam persidangan, tidak ditemukannya adanya
bukti-bukti yang cukup yang menyatakan bahwa terdakwalah yang melakukan tindak
pidana dimaksud, maka kepada terdakwa haruslah dinyatakan secara sah dan
meyakinkan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan besalah melakukan tindak
pidana sebagaiman dalam dakwaan penuntut umum, sehingga oleh karena itu
terhadap terdakwa haruslah dinyatakan dibebaskan dari segala dakwaan (Pasal 191
ayat (1) KUHAP)
b.
Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum ( Onslaag van Alle Recht
Vervolging)
Putusan
pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum dijatuhkan oleh hakim apabila
dalam persidangan ternyata terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
sebagaimana dalam dakwaan Penuntut Umum, tetapi diketahui bahwa perbuatan tersebut
bukan merupakan perbuatan pidana, dan oleh karena itu terhadap terdakwa akan
dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP).
Sebagai contoh
dapat dilihat pada Putusan Mahkamah Agung No. 645.K/Pid/1982, tanggal 15 Agustus
1983, dimana dalam peristiwa konkret diketahui terdakwa menerima pinjaman uang
untuk modal usaha dagang dari seorang temannya, tetapi dalam perkembangannya
ternyata si terdakwa tidak mampu untuk melunasi pinjaman itu seluruhnya, dan
oleh pemilik uang, terdakwa ini kemudian dilaporkan ke polisi dengan tuduhan
melakukan penipuan. Namun dalam persidangan, ternyata hakim menemukan fakta
hukum yang menyatakan terdakwa terbukti melakukan pinjaman dari temannya.
Perbuatannya itu bukanlah merupakan tindak pidana tetapi sudah memasuki ruang
lingkup perbuatan dalam hukum perdata.
c.
Putusan Pemidanaan
Dalam hal
terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam dakwaan penuntut umum, maka terhadap terdakwa
harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan tindak pidana yang dilakukannya
(Pasal 193 ayat (1) KUHAP). Putusan Mahkamah Agung RI No. 553.K/Pid/1982,
tanggal 17 Januari 1983 menegaskan bahwa ukuran pidana yang dijatuhkan
merupakan kewenangan dari judex facti untuk menjatuhkan pidana, dimana
hal tersebut tidak diatur dalam undang-undang dan hanya ada 28
batasan maksimal pidana yang dapat dijatuhkan, sebagaimana
dalam KUHP atau dalam undang-undang tertentu ada batas minimal, seperti dalam
Undang-Undang No. 31Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
Undang-undang No. 31 Tahun 2001 tentang HAM.
Selanjutnya
surat putusan pemidanaan, haruslah mencantumkan hal-hal, sebagaiman diatur
dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP, yaitu sebagai berikut:
- Kepala putusan berbunyi: ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
- Nama lengkap, tampat lahir, umut atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa.
- Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan.
- Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.
- Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan.
- Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa.
- Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal.
- Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhinya semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan.
- Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti.
- Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat autentik dianggap palsu.
- Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.
- Hari dan tanggal putusan nama penuntut umum, nama hakim yang memutuskan, dan nama panitera.
Kemudian lebih
lanjut dalam ayat (2) pasal tersebut dinyatakan jika salah satu dari unsur
tersebut, tidak terpenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf
a,b,c,d,e,f,g,h,i,j,k, dah I pasal ini, maka putusan ini batal demi hukum.
Dalam praktik
terhadap putusan pemidanaan ini, sering dijumpai putusan hakim yang menyatakan
terdakwa telah dinyatakan bersalah secara sah dan meyakinkan, tetapi dalam amar
putusannya tidak memerintah agar terdakwa ditahan, seperti dalam perkara
korupsi atas nama Tommy Soeharto maupun Probusutedjo.
Ketentuan
dalam Pasal 193 KUHAP menyatakan bahwa: Ayat (1): “jika pengadilan berpendapat
bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka
pengadilan menjatuhkan pidana”,Ayat (2): “Pengadilan dalam menjatuhkan putusan,
jiak terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakawa tersebut
ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdakwa alasan cukup untuk
itu”.