Kekuatan Testimonium De Auditu
Thursday, 24 November 2016
SUDUT HUKUM | Terkadang saksi de auditu pada
suatu ketika sangat penting (indispensability) untuk mendapat
kebenaran dalam beberapa kasus. Maka dalam hal tertentu, perlu diatur
keadaan yang bersifat eksepsional yang membenarkan atau mengakui testimonium de
auditu sebagai alat bukti. Salah satu alasan eksepsional yang dapat dibenarkan
dalam Common Law, apabila saksi utama yang mengalami, melihat, dan
mendengar sendiri meninggal dunia, dan sebelum ia meninggal menjelaskan segala
sesuatu peristiwa atau kepada seseorang. Dan peristiwa yang dipermasalahkan
tidak dapat terungkap tanpa ada penjelasan dari seseorang yang mengetahuinya,
maka dalam kasus yang demikian secara eksepsional dapat dibenarkan
testimonium de auditu sebagai alat bukti.
Dalam penerapannya di peradilan
perlu dilihat variabel yang mendasari sejauh mana kekuatan testimonium
de auditu dalam praktik peradilan. Secara umum ditolak sebagai alat bukti Keterangan saksi yang bersumber
dari cerita atau keterangan yang disampaikan orang lain kepadanya
berarti berada di luar kategori keterangan saksi yang dibenarkan pasal 171 HIR,
pasal 1907 KUH Perdata.
Tidak diterimanya saksi de auditu
sebagai alat bukti merupakan aturan umum yang masih dianut para
praktisi sampai sekarang. Saksi yang tidak mendasarkan keterangannya dari
sumber pengetahuan sebagaimana yang digariskan pasal 171 ayat (1) HIR
dan pasal 1907 ayat (1) KUH Perdata, tidak diterima sebagai alat bukti.
Sudikno berpendapat, pada umumnya
kesaksian de auditu tidak diperkenankan karena keterangan
itu tidak berhubungan dengan peristiwa yang dialami sendiri. Dengan demikian
maka saksi de auditu bukan merupakan alat bukti dan tidak perlu
dipertimbangkan.
Subekti juga berpendapat hal yang
sama, antara lain mengatakan bahwa saksi de auditu sebagai
keterangan yang didasarkan pada pandangan dari orang lain tentang sesuatu, “tidak ada
harganya sama sekali”. Namun hakim tidak dilarang memeriksanya dalam
sidang pengadilan. Bahkan terkesan dapat membenarkan penerapannya secara
eksepsional untuk menerima keterangan saksi de auditu apabila mereka terdiri
dari beberapa orang, dan keterangan yang disampaikan langsung mereka
dengar dari tergugat atau penggugat sendiri.
Testimonium de auditu bukan
merupakan pendapat atau persangkaan yang didapat secara berpikir, maka
dari itu tidak dilarang. Tetapi bahwa yang harus dikemukakan saksi adalah suatu
kenyataan, maka pengadilan dapat mempergunakannya untuk menyusun
suatu alat bukti berupa persangkaan.
Karena undang-undang tidak
melarang hakim untuk menyimpulkan adanya persangkaan dari keterangan pihak
ketiga yang disampaikan kepada saksi. Memang diakui, jarang ditemukan
putusan yang mengkonstruksikan kesaksian de auditu sebagai alat
bukti persangkaan, tetapi bukan berarti tidak ada sama sekali.
Berdasarkan pasal 1922 KUH
Perdata, pasal 173 HIR, hakim diberi kewenangan untuk mempertimbangkan
sesuatu apakah dapat diwujudkan sebagai alat bukti persangkaan, asalkan
hal itu dilakukan dengan hati-hati dan saksama. Hanya saja menurut pasal ini yang
dapat dijadikan sumber atau landasan alat bukti persangkaan yang tidak
berdasarkan undang-undang ialah dari saksi bantahan atau akta. Dengan
demikian persangkaan yang disimpulkan dari de auditu agar tidak melanggar
undanng-undang, maka harus dibantu landasan dari sumber lain yaitu akta ataupun
bantahan (jawaban duplik).
Dari penjelasan di atas, pada
prinsipnya testimonium de auditu tidak dapat diterima sebagai alat bukti. Pada
umumnya sikap praktisi hukum secara otomatis menolaknya tanpa analisis dan pertimbangan yang
argumentatif.