Pengertian Tindak Pidana Penistaan Agama
Thursday, 24 November 2016
SUDUT HUKUM | Perlu diketahui bahwa Code Penal
sendiri tidak mengatur mengenai delik agama, yang ada hanyalah undang-undang mengenai Godslastering
di Negeri Belanda pada tahun 1932 yang terkenal dengan nama Lex
Donner oleh Menteri Donner yang menciptakan undang-undang tersebut. Undang-undang di Jerman
dalam Strafgesetzbuch mencantumkan delik agama dalam Pasal 166, tampaknya menjadi
model dan ilham bagi Negeri Belanda, yang tidak memiliki aturan mengenai delik agama tersebut di
tengah-tengah kehidupan hukum di sana dan tidak mengadakan transfer ke KUHP
Indonesia.
Akhirnya tindak pidana penistaan
terhadap agama diatur di dalaam Pasal 156 dan 156a, yang memidanakan barang siapa dengan
sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
- yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
- dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Di negeri Belanda, Jerman dan
lain-lain, bahwa ucapan, pernyataan ataupun perbuatan-perbuatan yang mengejek Tuhan, memiliki
peraturan sendiri, suatu Godslasteringswet di samping peraturan-peraturan yang
bersangkutan dengan delikdelik agama, ataupun pernyataan terhadap Tuhan, Nabi dan lain-lainnya
dituangkan dalam satu ketentuan seperti di Inggris, yaitu blasphemy.
Selanjutnya Oemar Seno Adji
berpendapat, tindak pidana penistaan terhadap agama di Indonesia sendiri diatur di dalam Pasal 156
dan Pasal 156a KUHP, yang dimasukkan pada tahun 1965 dengan Penpres No. 1 Tahun 1965
ke dalam kodifikasi mengenai delik agama. Namun demikian, Indonesia dengan Pancasila dengan
sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai causa prima, tidak memiliki suatu aturan terhadap
serangan kata-kata mengejek terhadap Tuhan. Tidak terdapat di sini suatu perundang-undangan
semacam Godslasteringswet ataupun blasphemous libel di atas. Hal ini dikemukakan sebagai suatu
kekurangan yang vital dalam suatu negara yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tindak pidana penistaan terhadap
agama yang diatur di dalam Pasal 156 KUHP, dapat dirumuskan dengan perbuatan
pidana yang kontroversial, yaitu mengeluarkan pernyataan perasaan bermusuhan, benci atau
merendahkan dengan objek dari perbuatan pidana tersebut, ialah golongan penduduk, yang
kemudian diikuti oleh interprestasi otentik.
Dikatakan dalam Pasal 156 KUHP
kemudian, bahwa yang dimaksudkan dengan golongan penduduk ialah golongan yang
berbeda, antara lain karena agama dengan golongan penduduk yang lain. Maka suatu pernyataan
perasaan di muka umum yang bermusuhan, benci atau merendahkan terhadap golongan
agama, dapat dipidanakan berdasarkan Pasal 156 KUHP. Selanjutnya istilah dalam bahasa
Belanda, yaitu ongelukkig adalah pernyataan yang ditujukan terhadap golongan agama.
Selanjutnya Pasal 156a KUHP memidanakan barangsiapa di muka umum mengeluarkan perasaan atau
melakukan perbuatan:
- yang pada pokoknya bersifat bermusuhan, penyalagunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
- dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Seperti telah dikemukakan di
atas, pasal ini dimasukkan dalam kodifikasi delik agama pada Penpres No. 1 Tahun 1965, di mana
dalam Pasal 1 Penpres tersebut melarang untuk dengan sengaja dimuka umum menceritakan,
menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang
suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatankegiatan keagamaan
yang menyerupai kegiatan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan-kegiatan mana
menyimpang dari pokok ajaran agama itu.
Selanjutnya barang siapa
melanggar ketentuan dalam Pasal 1 tersebut, diberi peringatan dan diperintahkan untuk menghentikan
perbuatannya itu ke dalam suatu keputusan bersama menteri agama, jaksa agung dan menteri
dalam negeri. Jika yang melanggar itu suatu organisasi atau aliran kepercayaan, ia oleh
presiden setelah mendapat pertimbangan dari menteri agama, menteri/jaksa agung dan menteri
dalam negeri, dapat dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi/aliran terlarang.
Jika setelah diadakan
tindakan-tindakan sebagaimana tersebut di atas, ia masih terus melanggar ketentuan dalam Pasal 1 itu, maka
orang/anggota atau anggota pengurus dari organisasi/aliran tersebut dipidana penjara
selama-lamanya lima tahun. Sandaran dari peraturan tersebut adalah pertama-tama melindungi
ketenteraman beragama dari pernyataan ataupun perbuatan penodaan/penghinaan serta
ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.