Penyidikan dalam Proses Peradilan Pidana
Monday, 28 November 2016
SUDUT HUKUM | Pasal 1 angka 2 KUHAP
menjelaskan pengertian penyidikan sebagai serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dalam tindak pidana umum, yang
berwenang melakukan penyidikan adalah polisi, kecuali ditentukan lain
oleh undang-undang khusus.
Pasal 7 ayat (1) huruf d KUHAP
menyatakan bahwa penyidik berwenang melakukan penangkapan,
penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Wewenang dari penyidik atau penyelidik
untuk melakukan penangkapan itu oleh pembentuk undang-undang hukum acara pidana
kita telah diatur dalam Pasal 16 ayat (1) sampai dengan Pasal 19 ayat (2)
KUHAP. Semua tindakan yang dasarnya membatasi kebebasan dan hak
asasi seseorang. Oleh karenanya harus benar-benar diletakkan pada proporsi “demi
untuk kepentingan pemeriksaan” dan sangat diperlukan. Hal ini penting,
agar setiap langkah penyidik tidak sedikit-sedikit menjurus ke arah penangkapan
atau penahanan.
Pasal 1 angka 20 KUHAP
menyatakan bahwa penangkapan adalah tindakan penyidik berupa pengekangan
sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup
bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Dengan
demikian, penangkapan sudah merupakan tindakan penyidikan dan hanya dapat
dilakukan atau dapat diperintahkan untuk dilakukan apabila terdapat cukup bukti
untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau peradilan.
Menurut ketentuan dalam Pasal
184 ayat (1) KUHAP, alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang adalah :
- Keterangan saksi;
- Keterangan ahli;
- Surat;
- Petunjuk; dan
- Keterangan terdakwa.
Untuk mendapatkan keterangan dari tersangka, penyidik harus
telah memulai dengan penyidikannya, sedangkan bukti permulaan yang cukup harus
diperoleh sebelum penyidik melakukan penangkapan. Penilaian atas
kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk seperti yang dimaksud dalam Pasal 184
ayat (1) angka 4 KUHAP hanya dapat dilakukan oleh hakim, alat-alat bukti yang
penting bagi penyidik, penyidik pembantu, atau bagi penyelidik tinggal tiga
macam, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, dan
surat-surat, yang harus mereka
peroleh melalui suatu penyeidikan yang teliti, hingga dicapai bukti-bukti
minimal yang dapat menjamin mereka tidak akan terpaksa harus menghentikan
penyidikan setelah melakukan suatu penangkapan terhadap seseorang yang diduga
keras melakukan suatu tindak pidana.
Pasal 52 KUHAP menyatakan bahwa
dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan peradilan, tersangka atau
terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau
hakim. Selanjutnya, Pasal 117 KUHAP menyatakan bahwa keterangan tersangka dan
atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapa pun dan atau
dalam bentuk apapun. Hak asasi manusia dalam hal ini tersangka maupun
terdakwa sebagaimana tercermin dalam Pasal 52 KUHAP dan Pasal 117 KUHAP harus
diartikan bahwa keterangan yang diberikan tersangka bersumber pada
kehendak bebas, sehingga baik hakim maupun penyidik tidak diperkenankan untuk
mencari keterangan yang tidak diberikan secara bebas. Tidak dipenuhi persyaratan ini
menimbulkan persoalan pembuktian yang diperoleh secara tidak sah.