Sistem Nilai Proses Peradilan Pidana
Monday, 28 November 2016
SUDUT HUKUM | Sistem nilai dalam proses
peradilan pidana ini bukan merupakan bentuk kongkrit dalam arti sesuatu yang dapat
dilihat secara nyata, tetapi merupakan suatu pilhan nilai-nilai yang muncul dalam
praktek peradilan pidana di berbagai Negara. Jadi merupakan suatu value sistem
dalam hal lmana dalam praktik nilai-nilai ini saling berinteraksi dan mempengaruhi
praktik sistem peradilan di negara yang bersangkutan dalam
pelaksanaanya.
Perlu dikemukakan, bahwa yang
dimaksud dengan sistem nilai dalam peradilan pidana, adalah merupakan suatu
cara pandang atau merupakan sistem nilai yang dibangun atas dasar pengamatan
terhadap praktik peradilan pidana dalam beberapa negara. Jadi sistem
nilai demikian ini bukanlah merupakan suatu hal yang nampak secara nyata dalam
suatu sistem yang dianut secara eksplisit (dalam undang-undangnya). Untuk
memahami sistem nilai penyelenggaraan peradilan pidana menurut KUHAP berdasarkan
cara pandang sebagaimana tersebut diatas, perlu dilakukan analisa normatif
dengan melakukan interpretasi norma kaitannya dengan situasi atau kondisi yang
berlaku dalam masyarakat.
Hal demikian ini berarti harus
dipelajari aspek sejarah hukum atau sejarah undang-undang dari terbentuknya
norma tersebut. Berkaitan dengan KUHAP, sebagaimana dinyatakan baik
dalam konsideran maupun dalam penjelasan atas undang-undang Republik Indonesia
nomor 8 tahun 1981 tentang hukum Acara Pidana (Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3209) dinyatakan; Bahwa undangundang ini menggantikan HIR jo
undang-undang Darurat Tahun 1981. KUHAP dianggap sebagai karya agung
(master piece) dalam arti, jika dilihat dari sudut cepatnya undang-undang tersebut
dihasilkan lembaga legislatif (kurang lebih dari
12 tahun), dilihat dari sudut
substansi KUHAP yang memuat dan melindungi HAM yang tidak ada dalam HIR.
Penyelenggaraan tidak bisa
dilepaskan dari sudut pelaksananya yaitu penegak hukum. Di Belanda penegak hukum
(starke
arm van de wet/law enforcement officials), terdiri dari
polisis dan jaksa penuntut umum (officier van justitie) tidak termasuk hakim (rechter).
Demikian pula di Inggris penegak hukum terdiri dari polisi dan jaksa (policy and
prosecutor-district attorney), hakim (judge/justice) hanyalah sebagai penilai atau
wasit atau penegak keadilan bukan penegak hukum.
Di Indonesia penegak hukum
adalah disamping polisi dan jaksa penuntut umum termasuk juga hakim, petugas
lembaga pemasyarakatan, serta penasehat hukum. Sedangkan Hagan sebagaimana
dikutip oleh Ramli Atmasasmita, memberikan pengertian proses peradilan
pidana (criminal justice process) sebagai setiap tahap dari suatu putusan yang
menghadapkan sesorang tersangka ke dalam proses yang membawanya kepada penentuan
pidana baginya, sedangkan sistem peradilan pidana (criminal
justice system) adalah interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam
proses peradilan pidana. Sementara itu, Mardjono Reksodiputro menulis bahwa
proses peradilan pidana merupakan suatu rangkaian kesatuan (continuum) yang
menggambarkan peristiwa yang maju secara teratur, mulai dari penyelidikan,
penangkapan, penahanan, penuntutan, diperiksa pengadilan, diputus oleh hakim,
dipidana dan akhirnya kembali ke masyarakat.
Setiap sistem peradilan pidana
mungkin sama atau berbeda dalam hal mengatur tahap-tahapan atau proses
peradilan pidana. Namun demikian, secara garis besar tahapan tersebut setidaknya
dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
- Tahapan sebelum sidang pengadilan (pre-adjudication atau pre-trial processes);
- Tahapan pemeriksaan di sidang pengadilan (adjudication atau trial processes);
- Tahapan sesudah sidang pengadilan selesai (post-adjudication atau post-trial processes).
Sedangkan tahapan proses
peradilan pidana menurut KUHAP dapat dijelaskan seperti pembagian tersebut
diatas, yaitu:
- Tahap Pemeriksaan Pendahuluan Terdiri Atas Tahap Penyelidikan, Tahap Penyidikan Dan Tahap Penuntutan;
- Tahap Pemeriksaan Perkara Di Pengadilan;
- Tahap Sesudah Persidangan Adalah Tahap Pelaksanaan Putusan Hakim.
Tahapan proses peradilan pidana
ini berlaku untuk seluruh tindak pidana, termasuk tindak pidana
terorisme. Dalam Pasal 25 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 disebutkan bahwa, “Penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak
pidana terorisme dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali jika
Peraturan Pengganti Undang-Undang ini mencantumkan lain”. Dengan
demikian, ketentuan beracara di dalam KUHAP juga berlaku terhadap proses
peradilan perkara tindak pidana terorisme, kecuali Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 menentukan lain.