Peradilan Militer Tahun 1997 sampai dengan sekarang
Saturday, 12 November 2016
SUDUT HUKUM | Peradilan Militer Tahun 1997 sampai dengan sekarang
a. Peradilan Militer Berdasarkan Undang-undang No. 31 Tahun 1997.
Berdasarkan undang-undang ini,
maka semua peraturan, undang-undang yang berkaitan dengan Peradilan Militer
maupun hukum acaranya dinyatakan tidak berlaku. Undang-Undang ini selain
mengatur tentang susunan dan kekuasaan pengadilan serta
oditurat (kejaksaan) di lingkungan Peradilan Militer juga memuat hukum acara
pidana militer. Hal yang paling baru yang belum pernah diatur sebelumnya adalah
masalah sengketa Tata Usaha ABRI dan menggabungkan perkara gugatan ganti rugi
dalam perkara pidana.
Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Militer terdiri dari:
- Pengadilan Militer;
- Pengadilan Militer Tinggi;
- Pengadilan Militer Utama; dan
- Pengadilan Militer Pertempuran (pasal 12)
Kekuasaan Pengadilan Militer,
Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer Utama hampir sama dengan
kekuasaan pengadilan sebagaimana diatur dalam ketentuan sebelumnya, hanya
ditambahkan dengan sengketa Tata Usaha dan menggabungkan gugatan ganti rugi.
Sedangkan Pengadilan Militer
Utama, sebelumnya Mahkamah Militer Agung dengan kekuasaan hampir sama, hanya
ditambahkan kekuasaan untuk memutus perbedaan pendapat antar Perwira Penyerah
Perkara dan Oditur berkaitan dengan diajukannya perkara kepengadilan.
Sedangkan Pengadilan Militer
Pertempuran memiliki kekuasaan memeriksa Pidana oleh prajurit (militer) di
daerah pertempuran serta bersifat mobil mengikuti gerakan pasukan, berkedudukan
serta berdaerah hukum di daerah pertempuran (pasal 45 dan pasal 46) pidana yang
dilakukan oleh prajurit ABRI atau yang dipersamakan berdasarkan undang-undang
atau seseorang yang berdasarkan Keputusan Panglima
dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh pengadilan militer juga
memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata
serta menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana dalam satu
putusan.
Undang-undang Nomor. 31 tahun
1997 tentang Peradilan Militer selain mengatur susunan, organisasi peradilan
juga mengatur hukum acaranya, hukum acara yang diatur dalam Undang-undang ini
hampir sama dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
dengan berbagai kekhususan, seperti kewenangan Komandan (Atasan yang Berhak
menghukum/Ankum) melakukan penyidikan, penahan serta peran Perwira Penyerah
Perkara dalam penyerahan perkara (pasal 69 sampai dengan pasal 131)
b. Pemisahan Polri dari ABRI
Berdasarkan Ketetapan MPR RI
Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia serta Ketetapan MPR RI nomor VII/MPR/2000 tentang
Peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka
mulai tanggal 1 Juli 2000, Polri dan TNI dinyatakan sebagai suatu keseimbangan
yang terpisah dengan kedudukan yang setara.
Selanjutnya berdasarkan Keputusan
Presiden RI Nomor 89 tahun 2000 tanggal 1 Juli 2000, kedudukan Polri ditetapkan
berada langsung di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden RI yang
kemudian dikuatkan dengan Ketetapan MPR RI nomor VII / MPR / 2000, khususnya
Pasal 7 ayat (2).
Kemudian dengan diundangkannya
Undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
pada pasal 29 ayat (1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada
kekuasaan Peradilan umum. Pada ketentuan peralihan pasal 43 (b) mengatur tindak
pidana yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
belum diperiksa baik ditingkat penyidikan maupun pemeriksaan di pengadilan
militer berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di lingkungan peradilan
umum.
Berkaitan dengan peradilan mana
yang memeriksa dan memutus tindak pidana yang dilakukan anggota Militer, pasal
65 ayat (2) mengatur Prajurit TNI (militer) tunduk kepada kekuasaan Peradilan
Militer dalam pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan
umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. Ketentuan ini membawa perubahan
yang mendasar, sebab Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan
Militer pasa1 9 mengatur tentang kompetensi Peradilan. Militer mengadili tindak
pidana yang dilakukan oleh militer, dan orang-orang yang ditentukan oleh
Perundang-undangan tunduk kepada Peradilan Militer dan koneksitas. Dalam arti
Peradilan Militer sampai saat ini mengadili dan memeriksa berdasarkan pada
pelaku tindak pidana.
Perkembangan selanjutnya guna
mewujudkan kekuasaan kehakiman yang independen, berbagai pihak terutama hakim
meyakini perlunya memberlakukan sistem satu atap (one roof system) bagi
kekuasaan kehakiman di Indonesia. Satu atap dalam arti satu sistem yang
menyatukan kewenangan pembinaan teknis yang menyatukan kewenangan
pembinaan teknis yudisial dan kewenangan pengelolaan aspek organisasi,
administrasi dan finasial peradilan, berada di Mahkamah Agung RI, lepas dari
campur tangan pemerintah (Mabes TNI) untuk Peradilan Militer.
Sesuai Pasal 72 ayat 3 Undang-Undang Nomor 4 tahun
2004 tentang Kekuasaan Militer Kehakiman mengatur, Pengalihan organisasi,
administrasi, dan finansial dalam lingkungan Peradilan Militer tanggal 30 Juni
2004. Ketentuan ini tidak dapat dilaksanakannya Keputusan Presiden Nomor 56
tahun 2004 tanggal 9 Juli 2004 namun pengalihan berlaku sejak 30 Juni 2004 vide
pasal 2 ayat (1), bahkan secara phisik penyerahan baru terjadi pada tanggal 1
September 2004.73 Akibat yuridis dari peralihan
tersebut, semua pegawai negeri sipil di lingkungan Peradilan Militer beralih
menjadi Pegawai Negeri Sipil Mahkamah Agung, khusus untuk pembinaan personil
militer sesuai dengan peraturan yang mengatur tentang personil militer.