Teori Benhard Grose Fedd Dalam Bukunya The Strength and Weaknese of Comparative
Saturday, 12 November 2016
SUDUT HUKUM | Bahwa tiap negara
mempunyai sejarah dan culture yang berbeda, demikian juga historis yuridis
kemerdekaan yang berbeda pula. Dikatakan dalam teori ini bahwa tiap
kebudayaan mempunyai hukumnya sendiri (Every culture has its particular law,
and every law has an unique individuality). Tentang ketentuan
Perundang-undangan dapat mengakomodir penundukan militer pada peradilan umum
dalam melakukan tindak pidana umum.
Tentang kompetensi
mengambil tindak pidana yang dimaksud dalam Paal 65 ayat (2) UURI No. 24 Tahun
2004 tentang TNI. Hal ini tentunya kembali kepada historis, yuridis dan
sosiologis TNI dan Palsafah Bangsa yang mengandung Pancasila dan Pembukaan UUD
1945 dan tercetus dalam sumpah Pemuda.
Peradilan Militer
tetap dipertahankan karena merupakan fungsi strategis nilai-nilai dan semangat
juang 1945. Hal ini merupakan pertahanan keamanan nasional yang jika tidak
diberlakukan terjadi gaps atau kekosongan hukum sebagaimana diuraikan dalam
pendapat Hans Kelsen. Dikatakan berlaku dalam segala situasi dan Eskalase
Nasional baik dalam keadaan aman, terjadi perubahan adanya ancaman, gangguan
yang dapat merongsong kewibawaan Pemerintah atau Negara meningkat menjadi
darurat, darurat militer dan darurat perang.
Peradilan Militer
merupakan gerbang keamanan nasional karena merupakan sejarah (historis)
perjuangan kemerdekaan dan kemudian lahirnya TNI dari sini lahirnya Keamanan
Republik Indonesia. Perjuangan yang panjang dalam merintis kemerdekaan melalui
pejuang-pejuang rakyat Indonesia yang bersatu padu membuat Barisan Keamanan
Rakyat (BKR) untuk mengusir penjajah dari muka bumi Indonesia yakni dari BKR
(Badan Keamanan Rakyat)
berubah menjadi TKR
(Tentara Keamanan Rakyat) kemudian TRI (Tentara Rakyat Indonesia) dan menjadi
TNI (Tentara Nasional Indonesia). Maka hal ini senantiasa dipertahankan dan
menjadi tradi. Dipertahankan dalam Sistim Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta
(Sishankamrat) yang merupakan pelibatan seluruh Rakyat Indonesia.
Pasal 27 UUD 1945
tentang persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, dan Pasal 30 UUD 1995
tentang kewajiban belanegara. Dalam historis yuridis merupakan perjuangan
BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang
bersidang pada 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945 dengan 3 orang pembicara
sebagai putra-putri terbaik bangsa yaitu : Soepono, M. Jamin dan Soekarno.
Mereka mengemukakan Dasar Negara Indonesia yang akhirnya diberi nama Pancasila.
Dari sini PPKI merumuskan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945. Hasil
pengkajian dan diskusi ini yang kemudian menjadi konsep kedaulatan Rakyat
Indonesia menurut Pancasila dan UUD 1945.
Secara sosiologis hal
ini diikuti, ditaati dan diyakini sebagai idiologi bangsa. Secara ideal sebagai
satu kesatuan pandang dalam visi dan missi secara logis diterima oleh bangsa
Indonesia dengan kesadaran bernegara, kesadaran hukum.
Pengalaman-pengalaman
dalam negara kita sejak perang kemerdekaan, perang pembebasan (Irian) dan
penumpasan-penumpasan pemberontakan sudah cukup banyak untuk dijadikan sebagai
dasar penilaian apakah bagi kita perlu
mengadakan
perundang-undangan agar supaya kekuasaan peradilan militer lebih diperluas lagi
untuk dapat menanggulangi suatu tindak pidana yang dilakukan oleh “orang-orang
tertentu”/non militer dalam keadaan perang dan/atau dalam suatu bagian negara
yang dinyatakan dalam suatu tingkatan keadaan bahaya tertentu, atau dilakukan
di suatu daerah musuh/lawan yang telah dikuasai angkatan Perang kita. Mengingat
perkembangan hakekat, sifat dan cara peperangan di dunia internasional dewasa
ini, kiranya tidak salah lagi apabila kita mengakui kekurang-cepatan kita untuk
membuat perundang-undangan yang setidak-tidaknya mirip dengan ketentuan yang
telah ada di negeri Belanda (bukan di Hindia Belanda).
Kecenderungan ini
lebih diperkuat lagi dengan perkembangan-perkembangan pelajaran-pelajaran atau
doktrin-doktrin dalam Angkatan Perang kita mengenai taktik dan stragtegi perang
seperti misal perang gerilya, perang lawan gerilya, penyerangan, pertahanan,
gerak mundur dan lain sebagainya. Terutama di daerah-daerah gerilya sudah
barang tentu sangat rawan bagi alat-alat penegak hukum umum (sipil) untuk
menjalankan fungsinya, sementara di satu negara hukum tidak diharapkan gar
suatu kejahatan dibiarkan begitu saja, atau akan diselesaikan secara “hukum
rimba”.
Peradilan Militer
mengadili tindak pidana militer dan pelanggaran disiplin militer, terhadap
pelanggaran disiplin militer yang berulang-ulang dapat dilakukan
(pemecatan/PDTH (Pemberhentian Tidak Dengan Hormat).
Bahwa hukum disiplin
militer merupakan “sifat alamiyah ke dua” (tweede natuur) dari seseorang
militer dan tanpa (hukum) disiplin dalam kehidupan dan penghidupan militer,
maka mereka itu tiada lebih dari pada gerombolan liar. Oleh karena itu terhadap
mereka yang diberlakukan hukum disiplin militer walaupun mereka itu tidak
disamakan dengan seseorang militer, sebaiknya ditentukan bahwa mereka termasuk
jurisdiksi peradilan militer, setidak-tidaknya dalam rangka penerapan
pasal-pasal tindak pidana dalam KUHPM.
Bahwa apabila suatu
golongan, jawatan, badan atau organisasi demi kepentingan negara dalam hal ini
kepentingan pertahanan dan keamanan (militer, dalam arti sempit) dinyatakan
dipersamakan dengan (bagian) Angkatan Perang, maka sudah dapat dipastikan
adanya hubungan yang erat secara timbal-balik antara organisasi tersebut dengan
Angkatan Perang. Suatu contoh, apabila suatu pabrik pemerah bibir (lipstick)
“ditugaskan” untuk memproduksikan peluru senjata, adalah tepat jika perusahaan
itu dipersamakan dengan bagian dari Angkatan Perang. Demi kerahasiaan pembuatan
peluru atau kemampuan memproduksi dan lain sebagainya, adalah tepat juga
apabila terhadap anggota-anggota organisasi tersebut ditentukan termasuk
juridiksi peradilan militer, setidak-tidaknya dalam rangka penerapan
pasal-pasal tindak pidana dari KUHPM.
Bahwa seseorang
non-militer yang menyertai/mengikuti suatu operasi militer baik karena hubungan
dinas ataupun atas izin pimpinan operarasi militer, dalam banyak hal mempunyai “kesempatan”
menyalahgunakn suatu kekuasaan/sarana/kesempatan
yang ada pada satuan operasi tersebut. Kepada mereka ini pun perlu ditetapkan
seperti yang diutarkan diatas.
“Pertahanan Negara
merupakan fungsi pemerintahan negara untuk mempertahankan kedaulatan negara,
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan keselamatan segenap
bangsa dari ancaman dan gangguan baik yang beradal dari luar maupun dalam
negeri. Undang-Undang Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Pasal 7
ayat (2) dan (3) menyebutkan dua macam ancaman yaitu ancaman militer dan
ancaman non militer. Ancaman militer adalah ancaman yang menggunakan kekuatan
bersenjata dan terorganisasi serta dinilai mempunyai kemampuan yang
membahayakan kedaulatan negara. Keutuhan wilayah negara dan keselamatan segenap
bangsa. Ancaman non militer, pada hakekatnya ancaman yang menggunakan
faktor-faktor non militer yang dinilai mempunyai kemampuan dan membahayakan
kedaulatan negara, kutuhan wilayah negara dan keselamatan segenap bangsa.
Masalah yang
melibatkan Polisi mengabaikan kenyataan bahwa Polisi adalah bagian dari sistem
keamanan dan keadilan yang lebih luas, yang bukan menjadi tanggung jawab mereka
sepenuhnya.
Sistem
Keamanan
Badan-badan yang
terlibat dalam pemeliharaan dan pemulihan keamanan yaitu:
- Militer.
- Badan-badan keamanan internal.
- Sektor keamanan swasta.
- Penataan keamanan dan keadilan tradisional dan informal.
Bagaimana dengan
Polisi (de jure dan de facto) berkaitan dengan hal tersebut. Polisi
dituntut untuk melaksanakan tiga fungsi dasar yaitu pemeliharaan ketertiban
umum, pencegahan dan pendeteksian tindak pidana dan penyediaan bantuan namun
dapat diperbantukan atau ditambahkan fungsi lain diantaranya Keamanan Nasional
dan Fungsi Intelijen.
Keamanan
Keamanan adalah
kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses
pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai
oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya
ketenteraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan
kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah dan menanggulangi segala bentuk
pelanggaran hak dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.
Keamanan dibagi 2
bagian:
- Defence security approach adalah merupakan pertahanan keamanan.
- Social security approach (Kamtibmas)
Keterangan : subversi,
insurgensi/insureaksi direct action (aksi sepihak). Proses sosial disosiatif
bencana alam dan kriminilitas.