Persinggungan Wasiat Wajibah dengan Hukum Waris Islam
Friday, 18 November 2016
SUDUT HUKUM | Menurut konsep hukum kewarisan
Islam, jika ahli waris dengan bagian yang tidak ditentukan secara
keseluruhan ada, maka kedudukan ahli waris yang berhak dan bagiannya
masing-masing adalah :
- anak laki-laki dan anak perempuan secara bersama-sama menerima sisa harta warisan,
- ayah berhak atas seperenam bagian dari harta warisan karena ada anak,
- ibu, berhak atas seperenam bagian dari harta warisan karena ada anak,
- janda, berhak atas seperdelapan bagian dari harta warisan karena ada anak,
- duda, berhak atas seperempat bagian dari harta warisan karena ada anak.
Dari perincian ahli waris dan
bagiannya masing-masing sebagaimana tersebut di atas, terlihat bahwa
ada di antara ahli waris dengan kedudukan tertentu dan bagian yang telah pasti, ada
di antara mereka ahli waris yang tidak disebutkan bagian secara pasti, seperti anak
laki-laki dan saudara laki-laki kandung atau seayah. Di samping dua kelompok
ahli waris tersebut di atas, terdapat juga beberapa ahli waris yang
dikatagorikan sebagai ahli waris dengan menempati penghubung yang sudah meninggal,
seprti cucu, ayah diperluas kepada kakek, ibu diperluas kepada nenek, saudara
diperluas kepada sanak saudara. Sehingga mereka menjadi ahli waris sebagai
ahli waris pengganti. Persoalan ahli waris ini merupakan masalah yang sering
diperdebatkan para ahli hukum Islam, termasuk di Indonesia sampai lahirnya
Kompilasi Hukum Islam. Sebagian mereka mengatakan bahwa ahli waris
pengganti ini dapat saja mendapat warisan dengan dasar wasiat wajibah.
Wasiat wajibah adalah tindakan
yang dilakukan penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk
memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia,
yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu pula. Dalam versi ini
dikemukakan bahwa wasiat wajibah adalah wasiat yang dipandang
sebagai telah dilakukan oleh seseorang yang akan meninggal dunia, walaupun
sebenarnya ia tidak ada meninggalkan wasiat itu. Misalnya, dalam suatu peristiwa,
seseorang yang meninggal dunia tidak meninggalkan wasiat terhadap
keturunan dari anak laki-laki yang telah meninggal dunia di waktu si mati masih
hidup atau mati bersama yang disebabkan oleh suatu peristiwa tertentu, maka wajiblah
wasiat wajibah untuk keturunan dari anak laki-laki tersebut, dari harta peninggalan
ayahnya menurut ketentuan bagian anak lakilakinya yang meningal dunia itu.
Dasar hukum penentuan wasiat
wajibah adalah kompromi dari pendapatpendapat ulama salaf dan khalaf. Menurut
Fatchur Rahman dijelaskan : (1) tentang kewajiban berwasiat
kepada kerabat-kerabat yang tidak menerima pusaka ialah diambil dari
pendapat-pendapat Fuqaha dan Tabi’in besar ahli hukum Islam (fiqih) dan ahli hadis, antara
lain, Said Ibnu al Musayyah, Hasan al Basry, Tawus, Ahmad, Ishaq Ibnu Rahawaih dan
Ibnu Hazm, (2) pemberian sebagian harta peninggalan si mati kepada
kerabat-kerabatnya yang tidak menerima pusaka yang berfungsi sebagai wasiat wajibah,
bila si mati tidak berwasiat adalah diambil dari pendapat Ibnu Hazm yang
dinukilkan dari Fuqaha Tabi’in dan pendapat Imam Ahmad, (3) pengkhususan
kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka kepada cucu-cucu dan pembatasan
penerimaan sebesar sepertiga peninggalan adalah didasarkan pendapat Ibnu
Hazm dan kaidah syari’ah yang mengatakan
bahwa pemegang kekuasaan
mempunyai wewenang memerintahkan perkara yang diperbolehkan karena ia
berpendapat bahwa hal itu akan membawa kemashlahatan umum, bila penguasa
menetapkan demikian maka wajib ditaati.
Lebih lanjut Fatchur Rahman
mengemukakan bahwa wasiat wajibah ini muncul karena : (1) hilangnya
unsur ikhtiar bagi orang yang memberi wasiat dan munculnya kewajiban melalui
perundang-undangan atau surat keputusan tanpa tergantung kerelaan orang yang
berwasiat dan persetujuan orang yang menerima wasiat, (2) ada kemiripan dengan
ketentuan pembahagian harta pusaka dalam penerimaan laki-laki dua kali
lipat bagian perempuan, (3) orang yang berhak menerima wasiat wajibah adalah
cucu-cucu laki-laki maupun perempuan, baik pancar laki-laki maupun pancar
perempuan yang orang tuanya mati mendahului atau bersama-sama dengan kakek
atau neneknya. Wasiat
wajibah sebagaimana yang dikemukakan oleh Fatchur
Rahman ini mempunyai titik singgung yang sangat erat dengan hukum
kewarisan Islam yang apabila dilaksanakan akan menimbulkan banyak persoalan yang
memerlukan solusi penyelesaiannya dengan sebaik-baiknya agar prinsip
keadilan dan kemanusiaan dapat ditegakkan sebagaimana yang dikehendaki oleh
hukum kewarisan itu sendiri.
Sehubungan dengan hal tersebut di
atas, Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa cara pemecahan
persoalan-persoalan yang menyangkut wasiat wajibah karena adanya titik singgung
dalam rangka pelaksanaan hukum kewarisan Islam, yaitu:
- anak laki-laki yang telah mati dikala salah seorang dari kedua orang tuanya masih hidup, maka anaknya yang telah mati tersebut dianggap masih hidup dan bagian warisan yang diterima adalah sama seperti ia masih hidup,
- bagian orang yang mati tadi dikeluarkan dari harta peninggalan, dan selanjutnya diberikan kepada keturunannya yang berhak untuk memperoleh wasiat wajibah tersebut, bila wasiat wajibah tersebut sama dengan sepertiga dari harta peninggalannya atau lebih kecil dari itu. Seandainya lebih dari sepertiga, maka dikembalikan kepada sepertiga, kemudian dibagi-bagikan kepada anak-anaknya, dengan pertimbangan bagian laki-laki dua kali lebih besar dari bagian anak perempuan,
- setelah itu, barulah sisa harta peninggalan dibagikan si pewaris (setelah dikurangi wasiat wajibah tersebut) dibagi sesuai dengan ketentuan hukum waris Islam.
Dalam Inpres No. 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia mempunyai ketentuan
tersendiri tentang konsep wasiat wajibah ini, yaitu membatasi orang yang berhak
menerima wasiat wajibah ini hanya kepada anak angkat dan orang tua angkat
saja. Dalam Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa harta peninggalan
anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193. Terhadap
orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberikan wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan anak angkatnya.
Sedangkan terhadap
anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya
sepertiga dari harta warisan orang tua angkatnya. Tidak diketahui pasti,
mengapa Kompilasi Hukum Islam di Indonesia merubah konsep wasiat wajibah ini
hanya terbatas kepada anak angkat dan orang tua anak angkat saja. Mungkin ini
terpengaruh dengan pewarisan melalui lembaga plaatsverfulling
dalam
hukum perdata ini ketentuan dari ahli waris yang telah meninggal dunia lebih dahulu
masuk dalam hubungan hukum yang sama seperti orang yang masih hidup.
Secara garis besar antara waris
pengganti (penggantian kedudukan) dengan wasiat wajibah adalah
sama. Perbedaannya, jika dalam wasiat wajibah dibatasi penerimaannya, dalam
waris pengganti adalah menggantikan hak sesuai dengan hak yang diterima orang
yang digantikan itu. Jadi, wasiat wajibah ini dapat berfungsi sebagai alat
untuk pengalihan hak secara waris kepada orang yang tidak ditentukan sama sekali
bagian pihak yang menerima wasiat itu, dapat pula berfungsi sebagai ahli waris pengganti
dalam kapasitasnya menggantikan kedudukan orang yang berhak
menerima waris tetapi ia lebih dahulu meninggal dunia dari pada orang yang
menggantikan kedudukannya.
Jika wasiat wajibah berfungsi sebagai penggantian
tempat ahli waris yang telah meninggal dunia terlebih dahulu, maka Kompilasi
Hukum Islam dalam Pasal 185 menetapkan bahwa ahli waris yang meninggal
dunia lebih dahulu dari pada si pewaris, maka kedudukannya dapat diganti oleh
anaknya, kecuali mereka dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh
atau menganiaya berat pada si pewaris, atau juga dipersalahkan secara
memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan suatu
kejahatan yang diancam hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih
berat. Selain itu, Kompilasi Hukum Islam juga menetapkan bahwa bagian ahli
waris pengganti itu tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederejat
yang diganti. Jika wasiat wajibah berfungsi sebagai pengalihan hak kepada
orang yang bukan ahli waris sebagaimana yang ditentukan oleh hukum waris
Islam, maka Kompilasi Hukum Islam menetapkan batasan sebanyak-banyaknya
sepertiga dari harta warisan anak angkatnya atau sebanyak-banyaknya sepertiga dari
harta warisan orang tua.
Oleh karena wasiat wajibah ini
mempunyai titik singgung secara langsung dengan hukum kewarisan Islam,
maka pelaksanaannya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim dalam
menetapkannya dalam proses pemeriksaan perkara waris yang diajukan kepadanya.
Hal ini penting diketahui oleh hakim karena wasiat wajibah itu mempunyai
tujuan untuk mendistribusikan keadilan, yaitu memberikan bagian kepada ahli
waris yang mempunyai pertalian darah, namun nash tidak memberikan bagian yang
semestinya, atau orang tua angkat dan anak angkat yang mungkin sudah sangat
berjasa kepada si pewaris tetapi tidak diberi bagian dalam ketentuan hukum
waris Islam, maka hal ini dapat dicapai jalan
keluar dengan menerapkan wasiat
wajibah sehingga mereka dapat menerima bagian dari harta si pewaris.
Oleh karena itu, para hakim sangat diharapkan agar dalam memeriksa perkara waris ini
harus betul-betul memperhatikan nilai-nilai moral yang hidup dalam
masyarakat, sehingga dengan demikain hakim dapat merobah dirinya dari bauche de
la loi menjadi eageniur social yang menerapkan hukum sesuai dengan prinsip
keadilan dan kemanfaatan, serta adanya kepastian hukum terhadap perkara yang diputusnya.