Sengketa Pilkada
Tuesday, 8 November 2016
SUDUT HUKUM | Salah satu perwujudan negara yang
demokratis adalah diselenggarakannya pilkada sebagai sarana untuk memilih
Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/ Wakil Walikota, hal ini
secara jelas dinyatakan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan “Gubernur,
Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan
daerah provinsi, kabupaten, dan dipilih secara demokratis”.
Pemilihan Kepala Daerah merupakan
sarana bagi masyarakat lokal dalam suatu daerah guna menentukan sosok yang
pantas untuk memimpin daerah tersebut. Pemilihan Kepala Daerah juga
merupakan suatu perjalanan panjang yang diwarnai oleh tarik menarik antara
kepentingan pusat kota dan daerah, bahkan kepentingan asing. Dengan sedemikian besarnya
kepentingan yang diperjuangkan dalam pemilihan kepala daerah maka
tidak heran jika berbagai cara dilakukan oleh para calon kepala daerah guna
memuluskan langkahnya menjadi pemimpin suatu daerah.
Pelaksanaan Pilkada tidak
terlepas dari peranan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota (KPUD) sebagai
salah satu institusi penyelenggara pemilu. KPUD melaksanakan beberapa tahapan
penyelenggaraan Pilkada. Tahapan pelaksanaan yang dilakukan meliputi penetapan
daftar pemilih, pendaftaran dan penetapan kepala daerah/wakil kepala daerah,
kampanye, pemungutan suara, penghitungan suara, dan penetapan pasangan calon. Dalam
setiap tahapan sebagaimana diatur dalam pasal 5 UU No. 8 Tahun 2015 KPUD dapat
mengeluarkan suatu keputusan atau penetapan yang tentunya berpotensi
menimbulkan perselisihan akibat adanya pihak-pihak yang merasa dirugikan atau
berkeberatan oleh putusan KPUD tersebut.
Sengketa terjadi karena adannya
benturan kepentingan.Oleh karena itu seiring dengan perkembangan masyarakat muncul
hukum yang berusaha meminimalisir berbagai benturan kepentingan dalam
masyarakat. Beberapa abad yang lau seorang ahli filsafat yang bernama Cicero mengatakan “Ubi
Societas Ibi Ius” artinya, dimana ada masyarakat maka disitu ada
hukum.Pernyataan ini sangat tepat sekali karena adanya hukum itu adalah berfungsi
sebagai kaidah atau norma dalam masyarakat. Kaidah atau norma tersebut adalah
patokan-patokan mengenai perilaku yang dianggap pantas. Kaidah berguna untuk
menyelaraskan tiap kepentingan anggota masyarakat sehingga dimasyarakat tidak
terjadi benturan kepentingan anatara kepentingan anggota masyarakat.
Menurut Van Kan,
kepentingan-kepentingan manusia bisa saling bertumbukan kalau tidak dikendalikan oleh
kaidah, sehingga lahirlah kaidah agama,kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan
sebagai usaha manusia untuk menyelaraskan kepentingan-kepentingan
itu.Tetapi ketiga kaidah diatas mempunyai kelemahan:
- Kaidah Agama, kaidah kesusilaan,dan kaidah kesopanan belum cukup melindungi kepentingan-kepentingan manusia dalam masyarakat sebab ketiga kaidah ini tidak mempunyai sangsi yang tegas dan dapat dipaksakan.
- Kaidah Kesusilaan, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan belum mengatur secara keseluruhan kepentingan-kepentingan manusia seperti kepentingan manusia dalam bidang pertanahan, kehutanan, kelautan, udara, dan lain-lain.
Oleh karena itu, diperlukan satu
kaidah lagi yang dapat menjawab dua kelemahan diatas.Kaidah tersebut adalah
kaidah hukum.Kaidah hukum memiliki sifat memaksa, artinya kalau seseorang
melanggar kepentingan orang lain maka dia akan dipaksa oleh hukum untuk ganti rugi atau
bahkan dicabut hak kebebasannya dengan jalan dimasukkan ke penjara agar
kepentingan orang lain tidak terganggu. Lain dengan ketiga kaidah sebelumnya yang
tidak mempunyai sanksi yang dapat dipaksakan. Kaidah hukum juga mengisi ketiga
kelemahan kaidah tadi yaitu dengan jalan berusaha mengatur seluruh peri
keidupan yang berhubungan dengan sesame manusia sebagai anggota masyarakat maupun
sebagai individu. Hukum juga mengatur tentang kepentingan manusia/masyarakat
terhadap tanahnya, kepentingan dari segi administrasinya, hak-hak dan lain-lain.
Dalam masyarakat yang kompleks
kepentingannya,maka hukum pun akan turut mengimbanginya. Dengan demikian
pendapat Cicero berabad-abad lalu itu benar, karena hanya dalam masyarakat
hukum itu berada/diperlukan. Dengan demikian ”Sengketa Pilkada” dapat
diartikan sebagai suatu benturan kepentingan yang terjadi antara calon kepala daerah yang
satu dengan calon kepala daerah yang lainnya dalam peristiwa hukum yang bernama ”pemilihan
kepala daerah”.
Dasar hukum terkait masalah
sengketa pilkada dimulai dari pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi sebagai
berikut: (4) Gubernur, Bupati dan walikota masingmasing sebagai kepala daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Dasar hukum selanjutnya adalah
Undang-undang nomor 8 tahun 2015 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota. Dengan ditetapkannya undangundang ini, kepala daerah dan wakil kepala
daerah memiliki peran yang sangat strategis dalam rangka mengembangkan
kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan kesejahteraan rakyat, memelihara
hubungan yang serasi antara pemerintahan daerah serta dan antar daerah serta
antar daerah untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jika mengacu dalam pengertian
perdata sengketa memiliki pengertian “Perselisihan dua pihak atau lebih yang timbul
karena adanya penafsiran anatara paha pihak, atau suatu ketidaksepakatan tertentu,
yang berhubungan dengan fakta kegiatan dan peristiwa, hukum atau kebijakan,
dimana suatu pengakuan atau pendapat dari salah satu pihak mendapatkan penolakan,
pengakuan yang berbeda, atau pengindaran dari pihak lain, yang terjadi dalam
penyelenggaraan pemilu. Sengketa pemilihan sebagaimana yang terdapat dalam
pasal 142 UU No. 8 Tahun 2015 menyatakan bahwa sengketa terdiri atas
sengketa antar peserta pemilihan dan sengketa antar peserta pemilihan dengan
penyelenggara pemilihan sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota.
UU No. 8 Tahun 2015 tentang
Pemiihan Gubernur, Bupati, dan Walikota tidak memberikan pengertian yang pasti
terkait sengketa dalam pilkada, hanya terdapat pengertian tentang pelanggaran
administrasi pemilihan, yaitu pelanggaran yang meliputi tata cara, prosedur,
mekanisme, yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan dalam setiap tahapan
penyelenggaraan pemilihan di luar tindak pidana pemilihan dan pelanggaran kode
etik penyelenggara pemilihan, padahal jika dirinci, sengketa dalam pelaksanaan
pilkada tidak saja sebatas pelanggaran administrasi pemilihan.