Tugas dan Wewenang Jurusita atau Jurusita Pengganti
Tuesday, 22 November 2016
SUDUT HUKUM | Jurusita jurusita
pengganti dalam melaksanakan tugasnya diatur berdasarkan
Pasal 103 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 ayat (1) menjelaskan:
- Melaksanakan semua perintah yang diberikan ketua sidang
- Menyampaikan pengumuman-pengumuman atau putusan peradilan menurut cara-cara berdasarkan Undang-undang.
- Melakukan penyitaan atas perintah, ketua Peradilan Agama
- Membuat berita acara penyitaan, yang salinan resminya diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Pasal
103 ayat 2 UU No. 7 tahun 1989 menerangkan tentang kewenangan
jurusita/jurusita pengganti. “Jurusita” berwenang melakukan tugasnya
di daerah hukum pengadilan yang bersangkutan”. Salah satu tugas jurusita/jurusita
pengganti adalah pemanggilan pihak-pihak yang berperkara, tetapi
tugas pemanggilan oleh jurusita/jurusita pengganti dari Pengadilan Agama
hanya menangani pemanggilan perkara permohonan cerai talak dan perkara
gugat cerai selain dari dua hal tersebut tidak diatur.
Pemanggilan
pihak-pihak yang di Pengadilan Agama, di dasarkan atas
perintah Hakim/ketua sidang/ketua majlis di dalam Penetapan Hari Sidang
(PHS), yang memuat tentang perintah kepada para pihak untuk hadir di
persidangan pada hari, tanggal, dan jam sebagaimana tersebut di dalam Penetapan
Hari Sidang (PHS) di tempat sidang yang telah ditetapkan. Tata cara
pemanggilan diatur dalam Pasal 390 jo Pasal 389 dan 122 HIR.
Panggilan
terhadap pihak berperkara dilaksanakan secara resmi dan patut, dengan
ketentuan:
1.
Dilakukan oleh jurusita/jurusita pengganti yang sah, yang diangkat berdasarkan
Surat Keputusan (SK) dan telah di sumpah untuk jabatan ini,
ini sesuai dengan Pasal 40 ayat 1 dan ayat 2 dan Pasal 21 UU No. 7 tahun
1989, jurusita/jurusita pengganti dalam melaksanakan tugasnya di wilayah
hukum Peradilan Agama yang bersangkutan.
2.
Pemanggilan di sampaikan langsung kepada pihak yang berperkara secara
pribadi di tempat tinggal yang bersangkutan.
Pemanggilan
para pihak dilakukan oleh jurusita yang menyerahkan
surat pemanggilan beserta salanan surat gugatannya kepada
tergugat pribadi di tempat tinggalnya. Dan memberitahukan bahwa
yang bersangkutan boleh menjawab surat gugatan tersebut secara tertulis
(ini sesuai dengan Pasal 121 ayat (2) HIR dan Pasal 145 ayat (2) RBg
serta jurusita/jurusita pengganti tidak dapat bertemu secara langsung
dengan orang yang bersangkutan di tempat tinggalkan (kediaman
tetap), maka surat panggilan atau Relaas disampaikan kepada kepala
desa, yang wajib dengan segera memberitahukan panggilan itu
kepada
pihak yang bersangkutan (Pasal 390 ayat (1) HIR dan Pasal 18 ayat
(1) RBg). Penyampaian
relaas kepada kepala desa ini dianggap sah
walaupun tidak sampai pada pihak yang bersangkutan, walau kepala desa
tersebut melakukan kelalaian dalam menyampaikan relaas tersebut, dan
tidak ada sanksi bagi kepala desa tersebut.
Dalam
hak pihak yang di panggil tidak di ketahui tempat tinggalnya/domisilinya
atau pihak yang bersangkutan tidak di kenal maka
surat panggilan tersebut disampaikan lewat Bupati yang mana pihak
berperkara bertempat tinggal di daerah kekuasaan Bupati tersebut, yang
kemudian Bupati meletakkan/menempelkan surat pemanggilan itu di
papan pengumuman persidangan hakim yang berhak atas perkara tersebut. Apabila yang di panggil telah meninggal dunia
maka relaas tersebut
disampaikan kepada ahli waris, dan bila ahli waris tidak di kenal
maka disampaikan melalui lurah/kepada desa tempat tinggal terakhir
si mayit.
Mengenai
pihak yang di panggil berada di luar negeri maka panggilan
disampaikan melalui perwakilan Republik Indonesia setempat lewat
Departemen Luar Negeri Republik Indonesia di Jakarta.
3.
Antara jarak dan hari pemanggilan dengan hari sidang, ketua pengadilan yang
bersangkutan harus memperhatikan jauh dekatnya letak tempat tinggal
atau domilisi kedua pihak di tempat pengadilan bersidang (Pasal 122
HIR) dan waktu antara pemanggilan kedua belah pihak yang berperkara
dengan waktu sidang tidak boleh kurang dari tiga hari termasuk
tanggal merah (hari libur) kecuali pada hal yang amat mendesak
dan penting yang dapat di tunda yang mana perkara harus di adili
secepatnya (Pasal 122 HIR) untuk memenuhi senggang waktu yang patut.
Dalam hal pemanggilan melalui perwakilan
Republik Indonesia setempat
dengan ketentuan:
- Perkara permohonan cerai talak, perkara permohonan lebih dari seseorang dan perkara gugat cerai secepat-cepatnya sidang pertama adalah enam bulan sejak perkara terdaftar di kepaniteraan peradilan agama.
- Untuk selain perkara di point (a) maka dipertimbangkan waktu dan jarak yang di panggil untuk menghadap pengadilan agama yang bersangkutan.
Pihak
yang di panggil tidak di ketahui tempat tinggalnya dan
perkaranya bukan tentang gugat cerai, maka penggilan di beri tenggang
waktu antara panggilan dan sidang selama 30 hari.
Pemanggilan
melalui mass media di umumkan sebanyak dua kali dengan
tenggang waktu antara penggilan kedua dengan waktu persidangan
adalah sekurang-kurangnya tiga bulan.
Demikian
aturan umum yang berpediman pada Hukum Acara Perdata
yang bersangkutan di lingkungan Peradilan Umum (HIR dan RBg) mengingat
Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 “hukum acara yang berlaku pada pengadilan
dalam lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang
berlaku pada peradilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur
secara khusus dalam undang-undang peradilan agama”.
Rujukan:
- Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Gramedia Parsada, 2002).
- Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2002).R. Sopomo, Hukum Acara Perkara Pengadilan Negeri, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2000),
- Roihan A. Rosyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003),
- M. Nur Rosaid, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 1999),
- Ridwan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000),
- Sudikno Mertokisimo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1993),
- Retno Wulan Sutantio dan Iskandar Seriphartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktis, (Bandung: Mandar Maju, 1997),
- Ridwan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1998).