-->

Tugas dan Wewenang Jurusita atau Jurusita Pengganti

SUDUT HUKUM | Jurusita jurusita pengganti dalam melaksanakan tugasnya diatur berdasarkan Pasal 103 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 ayat (1) menjelaskan:
  • Melaksanakan semua perintah yang diberikan ketua sidang 
  • Menyampaikan pengumuman-pengumuman atau putusan peradilan menurut cara-cara berdasarkan Undang-undang.
  • Melakukan penyitaan atas perintah, ketua Peradilan Agama
  • Membuat berita acara penyitaan, yang salinan resminya diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

Pasal 103 ayat 2 UU No. 7 tahun 1989 menerangkan tentang kewenangan jurusita/jurusita pengganti. “Jurusita” berwenang melakukan tugasnya di daerah hukum pengadilan yang bersangkutan”. Salah satu tugas jurusita/jurusita pengganti adalah pemanggilan pihak-pihak yang berperkara, tetapi tugas pemanggilan oleh jurusita/jurusita pengganti dari Pengadilan Agama hanya menangani pemanggilan perkara permohonan cerai talak dan perkara gugat cerai selain dari dua hal tersebut tidak diatur.

Pemanggilan pihak-pihak yang di Pengadilan Agama, di dasarkan atas perintah Hakim/ketua sidang/ketua majlis di dalam Penetapan Hari Sidang (PHS), yang memuat tentang perintah kepada para pihak untuk hadir di persidangan pada hari, tanggal, dan jam sebagaimana tersebut di dalam Penetapan Hari Sidang (PHS) di tempat sidang yang telah ditetapkan. Tata cara pemanggilan diatur dalam Pasal 390 jo Pasal 389 dan 122 HIR.

Panggilan terhadap pihak berperkara dilaksanakan secara resmi dan patut, dengan ketentuan:
1. Dilakukan oleh jurusita/jurusita pengganti yang sah, yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan (SK) dan telah di sumpah untuk jabatan ini, ini sesuai dengan Pasal 40 ayat 1 dan ayat 2 dan Pasal 21 UU No. 7 tahun 1989, jurusita/jurusita pengganti dalam melaksanakan tugasnya di wilayah hukum Peradilan Agama yang bersangkutan.
2. Pemanggilan di sampaikan langsung kepada pihak yang berperkara secara pribadi di tempat tinggal yang bersangkutan.

Pemanggilan para pihak dilakukan oleh jurusita yang menyerahkan surat pemanggilan beserta salanan surat gugatannya kepada tergugat pribadi di tempat tinggalnya. Dan memberitahukan bahwa yang bersangkutan boleh menjawab surat gugatan tersebut secara tertulis (ini sesuai dengan Pasal 121 ayat (2) HIR dan Pasal 145 ayat (2) RBg serta jurusita/jurusita pengganti tidak dapat bertemu secara langsung dengan orang yang bersangkutan di tempat tinggalkan (kediaman tetap), maka surat panggilan atau Relaas disampaikan kepada kepala desa, yang wajib dengan segera memberitahukan panggilan itu
kepada pihak yang bersangkutan (Pasal 390 ayat (1) HIR dan Pasal 18 ayat (1) RBg). Penyampaian relaas kepada kepala desa ini dianggap sah walaupun tidak sampai pada pihak yang bersangkutan, walau kepala desa tersebut melakukan kelalaian dalam menyampaikan relaas tersebut, dan tidak ada sanksi bagi kepala desa tersebut.

Baca Juga

Dalam hak pihak yang di panggil tidak di ketahui tempat tinggalnya/domisilinya atau pihak yang bersangkutan tidak di kenal maka surat panggilan tersebut disampaikan lewat Bupati yang mana pihak berperkara bertempat tinggal di daerah kekuasaan Bupati tersebut, yang kemudian Bupati meletakkan/menempelkan surat pemanggilan itu di papan pengumuman persidangan hakim yang berhak atas perkara tersebut. Apabila yang di panggil telah meninggal dunia maka relaas tersebut disampaikan kepada ahli waris, dan bila ahli waris tidak di kenal maka disampaikan melalui lurah/kepada desa tempat tinggal terakhir si mayit.

Mengenai pihak yang di panggil berada di luar negeri maka panggilan disampaikan melalui perwakilan Republik Indonesia setempat lewat Departemen Luar Negeri Republik Indonesia di Jakarta.

3. Antara jarak dan hari pemanggilan dengan hari sidang, ketua pengadilan yang bersangkutan harus memperhatikan jauh dekatnya letak tempat tinggal atau domilisi kedua pihak di tempat pengadilan bersidang (Pasal 122 HIR) dan waktu antara pemanggilan kedua belah pihak yang berperkara dengan waktu sidang tidak boleh kurang dari tiga hari termasuk tanggal merah (hari libur) kecuali pada hal yang amat mendesak dan penting yang dapat di tunda yang mana perkara harus di adili secepatnya (Pasal 122 HIR) untuk memenuhi senggang waktu yang patut. 

Dalam hal pemanggilan melalui perwakilan Republik Indonesia setempat dengan ketentuan:
  • Perkara permohonan cerai talak, perkara permohonan lebih dari seseorang dan perkara gugat cerai secepat-cepatnya sidang pertama adalah enam bulan sejak perkara terdaftar di kepaniteraan peradilan agama.
  • Untuk selain perkara di point (a) maka dipertimbangkan waktu dan jarak yang di panggil untuk menghadap pengadilan agama yang bersangkutan.

Pihak yang di panggil tidak di ketahui tempat tinggalnya dan perkaranya bukan tentang gugat cerai, maka penggilan di beri tenggang waktu antara panggilan dan sidang selama 30 hari.

Pemanggilan melalui mass media di umumkan sebanyak dua kali dengan tenggang waktu antara penggilan kedua dengan waktu persidangan adalah sekurang-kurangnya tiga bulan.

Demikian aturan umum yang berpediman pada Hukum Acara Perdata yang bersangkutan di lingkungan Peradilan Umum (HIR dan RBg) mengingat Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 “hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada peradilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang peradilan agama”.

Rujukan:
  • Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Gramedia Parsada, 2002).
  • Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2002).R. Sopomo, Hukum Acara Perkara Pengadilan Negeri, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2000), 
  • Roihan A. Rosyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), 
  • M. Nur Rosaid, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 1999), 
  • Ridwan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), 
  • Sudikno Mertokisimo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1993),
  • Retno Wulan Sutantio dan Iskandar Seriphartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktis, (Bandung: Mandar Maju, 1997), 
  • Ridwan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1998).

Related Posts

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel