Al-Qur’an sebagai Sumber Ajaran Islam
Monday, 26 December 2016
SUDUT HUKUM | Ketika
manusia mencoba mengupas keagungan al-Qur’an
al-Karim, maka ketika itu pulalah manusia harus tunduk
mengakui keagungaan dan kebesaran Allah swt. Karena dalam
al-Qur’an terdapat lautan makna yang tiada batas, lautan
keindahan bahasa yang tiada dapat dilukiskan oleh
kata-kata, lautan keilmuan yang belum terpikirkan
dalam jiwa
manusia, dan berbagai lautan lainnya yang tidak terbayangkan
oleh indra kita.
Oleh
karenanya, mereka-mereka yang telah dapat berinteraksi
dengan al-Qur’an sepenuh hati, dapat merasakan ‘getaran
keagungan’ yang tiada bandingannya. Mereka dapat merasakan
sebuah keindahan yang tidak terhingga, yang dapat
menjadikan orientasi dunia sebagai sesuatu yang teramat kecil
dan sangat kecil sekali. Sayid Qutub, di dalam muqadimah Fi
Dzilalil Qur’annya mengungkapkan, “Hidup di bawah naungan
al-Qur’am merupakan suatu kenikmatan. Kenikmatan
yang tiada dapat dirasakan, kecuali hanya oleh mereka
yang benar-benar telah merasakannya. Suatu kenikmatan
yang mengangkat jiwa, memberikan keberkahan dan
mensucikannya”.
Cukuplah menjadi
bukti keindahan bahasa al-Qur’an seperti yang
diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dari Imam Zuhri (Abu Syahbah,
1996 : I/312), bahwa suatu ketika Abu Jahal, Abu Lahab,
dan Akhnas bin Syariq secara sembunyi-sembunyi mendatangi
rumah Rasulullah saw. pada malam hari untuk mendengarkan
lantunan ayat-ayat al-Qur’an yang dibaca Rasulullah
saw. dalam shalatnya. Mereka bertiga memiliki posisi yang
tersendiri, yang tidak diketahui oleh yang lainnya.
Hingga ketika Rasulullah saw. usai melaksanakan shalat,
mereka bertiga memergoki satu sama lainnya di jalan.
Mereka
bertiga saling mencela dan membuat kesepakatan untuk tidak
kembali mendatangi rumah Rasulullah saw. Namun pada
malam berikutnya, ternyata mereka bertiga tidak kuasa
menahan gejolak jiwanya untuk mendengarkan lantunan
ayat-ayat al-Qur’an. Mereka bertiga mengira bahwa yang lainnya
tidak akan datang ke rumah Rasulullah saw., dan mereka
pun menempati posisi mereka masing-masing.
Ketika
Rasulullah saw. usai melaksanakan shalat, mereka pun memergoki
yang lainnya di jalan. Dan terjadilah saling celaan
sebagaimana yang kemarin mereka ucapkan. Kemudian pada
malam berikutnya, gejolak jiwa mereka benar-benar
tidak dapat dibendung lagi untuk mendengarkan al-Qur’an,
dan merekapun menempati posisi sebagaimana hari
sebelumnya. Dan manakala Rasulullah saw. usai melaksanakan shalat,
mereka bertiga kembali memergoki yang lainnya.
Akhirnya mereka bertiga membuat mu’ahadah (perjanjian) untuk
sama-sama tidak kembali ke rumah Rasulullah saw. guna
mendengarkan al-Qur’an.
Masing-masing
mereka mengakui keindahan al-Qur’an, namun
hawa nafsu mereka memungkiri kenabian Muhammad saw.
Selain contoh di atas terdapat juga ayat yang
mengungkapkan keindahan al-Qur’an. Allah mengatakan: “Kalau
sekiranya Kami menurunkan al-Qur’an ini kepada
sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk
terpecah-belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan
itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir.” (al-Mujadilah:
21)