Asas Ultra petita Partium
Saturday, 3 December 2016
SUDUT HUKUM | Ultra petita dalam hukum
formil mengandung pengertian sebagai penjatuhan putusan atas perkara yang tidak
dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang diminta. Ketentuan ini
berdasarkan Pasal 178 ayat (2) dan ayat (3) HIR serta Pasal 189 ayat (2) dan
ayat (3) RBg. Sedangkan, ultra petita menurut
I.P.M. Ranuhandoko adalah melebihi yang diminta.
Asas non ultra petita merupakan
larangan yang lazim disebut sebagai ultra petitum partium. Asas ini
ditentukan dalam pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg, yang menentukan bahwa hakim
dalam memberikan putusan tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan yang
dikemukakan dalam gugatan.
Menurut Yahya Harahap, hakim yang mengabulkan
tuntutan melebihi posita maupun petitum gugatan, dianggap telah melampaui
wewenang atau ultra vires, yakni bertindak melampaui wewenangnya.
Apabila putusan mengandung ultra petita, maka
putusan tersebut harus dinyatakan cacat meskipun hal itu dilakukan hakim dengan
itikad baik (good faith) maupun sesuai dengan kepentingan umum (public
interest).
Namun, menurut Mertokusumo, dengan
mendasarkan pada Putusan Mahkamah Agung tanggal 4 Februari 1970, Pengadilan
Negeri boleh memberi putusan yang melebihi apa yang diminta dalam hal adanya
hubungan yang erat satu sama lainnya.
Dalam hal ini asas non ultra petita tidak
berlaku secara mutlak sebab hakim dalam menjalankan tugasnya harus bertindak
secara aktif dan selalu harus berusaha agar memberikan putusan yang benar-benar
menyelesaikan perkara.