Diterimanya Konsep Negara Kepulauan Indonesia
Tuesday, 13 December 2016
SUDUT HUKUM | Pada
Desember 1973, Sidang ke-1 Konferensi Hukum Laut Internasional
III
diadakan di New York untuk membicarakan acara dan tata tertib konferensi. Dibandingkan
dengan dua konferensi sebelumnya, terdapat perbedaan yang mencolok
berkaitan dengan berita acara di dalam konferensi. UN Seabed Committee yang
bertindak sebagai panitia pelaksana konferensi, tidak mempersiapkan
rancangan dasar perbincangan di dalam konferensi. Yang ada hanyalah
usulan-usulan dari peserta konferensi yang memang sengaja dikumpulkan
sebagai dasar perbincangan.
Pola
perbedaan kepentingan berbagai negara pada Konferensi Hukum Laut Internasional
III ini sangatlah khusus. Di setiap aspek masalah dan tiap lokasi kawasan
terdapat pola pertentangan kepentingan yang berbeda. Negara-negara berkembang
ingin menunjukkan dirinya sebagai pembela dari kelompok yang menghendaki
suatu perluasan hak negara pantai, di lain pihak, negara-negara industri
menginginkan sesedikit mungkin pengurangan kebebasan di laut lepas. Oleh
karena itu, panitia memakai cara yang berbeda agar masing-masing negara peserta
dapat didengarkan usulannya.
Sidang
yang membahas substansi dari Konferensi Hukum Laut Internasional
III, yaitu sidang ke-2, dilangsungkan dari tanggal 20 Juni - 29 Agustus
1974 di Caracas, Venezuella. Di dalam sidang kedua, Indonesia bersama-sama
pendukung negara kepulauan lainnya secara resmi mengajukan usulannya
tentang negara kepulauan. Pada
sidang kedua inilah usaha Indonesia dalam
memperjuangkan pengakuan internasional terhadap konsepsi negara kepulauan
miliknya dimulai.
Kejadian
penting yang bertalian dengan perkembangan konsepsi hukum kepulauan
dalam konferensi adalah diajukannya usul tentang kepulauan oleh India,
yang didukung antara lain oleh Canada dan Kolombia yang mempunyai kepentingan
sama.
Mengenai usulan ini, Mochtar Kusumaatmadja menceritakan sebagai
berikut;
Berlainan dengan konsepsi negara kepulauan yang diajukan oleh Fiji, Indonesia, Mauritius, dan Filipina, usul India ini mengatur mengenai kepulauan daripada suatu negara (archipelago of state). Konsepsi ini menghendaki diterapkannya asas-asas negara kepulauan bagi kepulauan yang dimiliki oleh suatu negara yang wilayahnya sebagian besar merupakan bagian dari kontinen.”
Walaupun
sepintas lalu banyak persamaan antara kedua konsepsi kepulauan
ini, namun dalam suatu hal terdapat perbedaan karena dalam konsepsi ini
kepulauan merupakan bagian dari wilayah suatu negara yang sebagian besar merupakan
bagian dari benua. Hal
yang sama juga diminta oleh beberapa negara
di Samudera Pasifik. Negara-negara tersebut, baik yang sudah merdeka maupun
yang sedang dalam proses mencapai kemerdekaannya, juga meminta diterapkannya
konsep negara kepulauan pada negara mereka.
Perkembangan-perkembangan
ini menggambarkan kesulitan yang terkandung
dalam mencari pembatasan yang memuaskan atas konsepsi negara kepulauan. Usulan-usulan ini pun—secara tidak langsung—juga menjadi hambatan
bagi Indonesia dalam memperjuangkan konsep negara kepulauan miliknya.
Karena dengan semakin banyaknya usulan terhadap konsep negara kepulauan,
maka dunia internasional akan semakin kesulitan mengenali keunikan konsep
negara kepulauan yang dibawa oleh Indonesia dan kelompoknya.
Meskipun
hambatan yang muncul cukup banyak, namun hasil konferensi dapat
dikatakan baik untuk Indonesia. Sikap para peserta konferensi terhadap konsepsi
Negara Nusantara hingga saat diadakannya sidang ke-3 di Jenewa tahun 1975
adalah cukup memuaskan, karena tidak ada peserta yang menolak atau menentang
konsepsi negara kepulauan.
Bahkan
negara maritim besar seperti Amerika Serikat, yang pada waktu Deklarasi
13 Desember 1957 menentang dengan keras konsepsi negara kepulauan, juga
tidak secara terang-terangan menolak konsepsi negara kepulauan. Sangat berbeda
dengan sikap keras yang sebelumnya diperlihatkan, Delegasi Amerika Serikat
menunjukkan kesediaannya untuk mencapai titik-titik temu dengan Indonesia,
walaupun dalam masalah-masalah tertentu seperti; wewenang organisasi
internasional dalam penetapan alur laut, hak-hak negara kepulauan dalam
membuat peraturan mengenai lintas alur-laut kepulauan dan kewajiban kapal
laut dan udara untuk melewatinya, Amerika Serikat tetap bertahan pada posisinya
yang semula.
Akan
tetapi, hal ini tetap merupakan kemajuan terhadap sikap Amerika Serikat.
Pada dasarnya, Amerika hanya tidak ingin kekuasaannya atas wilayah laut
Indonesia—dan negara-negara kepulauan lainnya—menjadi berkurang karena konsep
negara kepulauan. Negara kepulauan akan memiliki hak-hak yang besar atas
laut jika konsep negara kepulauan ini diterima, salah satunya adalah dapat membatasi
dan melarang pelayaran di perairan tersebut. hal inilah yang tidak dapat
diterima oleh Amerika Serikat.
Seperti
sikap Amerika Serikat, umumnya negara-negara yang kurang setuju
terhadap konsep negara kepulauan memberikan dukungannya dengan syarat.
Seperti Uni Soviet, mereka mau mendukung konsep negara kepulauan asalkan
diperbolehkan melewati laut kepulauan—juga melewati jalur udara—dengan
bebas.
Hal
yang sama dinyatakan juga oleh Jepang. Jepang menginginkan agar hak-hak
negara lain dalam hal perikanan dan pemasangan kabel serta pipa-pipa di bawah
laut tetap dapat terjamin dengan ditetapkannya konsep negara kepulauan. Jepang
sangat khawatir kepentingannya akan terganggu terutama yang berkenaan dengan
perikanannya di perairan Indonesia, lalu lintas laut untuk kapal-kapal tangkinya,
dan pemeliharaan kebel-lautnya yang digunakan untuk komunikasi internasional.
Masalah-masalah
khusus seperti inilah yang berusaha diselesaikan Indonesia
melalui pendekatan bilateral dan melalui cara-cara informal. Indonesia secara
aktif berusaha mencarikan keputusan yang seimbang dalam menghadapi kepentingan
negara-negara maju, negara berkembang, dan kepentingan nasionalnya
sendiri. Indonesia berusaha menempuh tidak hanya cara perjuangan di
forum multilateral, tetapi juga regional dan bilateral, sebagai satu rangkaian kebijakan
dan langkah-langkah diplomatik yang terpadu dan saling melengkapi, untuk
memperoleh pengakuan internasional terhadap konsepsi negara kepulauan.
Naskah
Revised Single Negotiating Text yang dihasilkan oleh sidang ke-4 Konferensi
Hukum Laut Internasional III yang diadakan di New York dalam musim
gugur tahun 1976 mengandung naskah rancangan pasal-pasal tentang kepulauan
yang lebih matang. Dan
puncak perjuangan untuk memperoleh pengakuan
internasional terhadap konsepsi negara kepulauan terjadi pada sidang ke-6
Konferensi Hukum Laut Internasional III di New York yang berlangsung dari
tanggal 23 Mei hingga 15 Juli tahun 1977. Perundingan dengan semua pihak yang
berkepentingan terutama dengan Negara-negara maritim besar dapat diselesaikan
pada sidang ini.
Hal
ini mengandung arti bahwa pengakuan internasional terhadap konsepsi negara
kepulauan praktis telah menjadi kenyataan, meskipun baru dalam tahap informal.
Selanjutnya, pasal-pasal tentang negara kepulauan tersebut berhasil dipertahankan
hingga ditandatanganinya Konvensi Hukum Laut di Montego Bay, Jamaica
pada Desember 1982 oleh sebanyak 159 negara.
Rujukan:
- Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Luar Negeri, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut, (Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Luar Negeri),
- Rebecca. M.M. Wallace, Hukum Internasional, (London : Sweet and Maxwell, 1986),
- Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M, Konsepsi Hukum Negara Nusantara Pada Konferensi Hukum Laut III, (Bandung : P.T. Alumni, 2003),
- Albert. W. Koers, Konvensi PBB tentang Hukum Laut : Suatu Ringkasan, (Yogyakarta : Konsorsium Ilmu Hukum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Gadjah Mada University Press),
- Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Luar Negeri, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut, (Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Luar Negeri, 1986),