Hukum Cloning Menurut Hukum Islam
Friday, 16 December 2016
SUDUT HUKUM | Perkembangan
teknologi berpengaruh disemua segi kehidupan, termasuk dalam bidang kesehatan.
Salah satu bentuk kecanggihan teknologi di dunia medis diantaranya mampu
menduplikasi makhluk hidup yang dikenal dengan cloning. Cloning adalah teknik
membuat keturunan dengan genetik yang sama dengan induknya pada makhluk hidup
tertentu baik berupa tumbuhan, hewan, maupun manusia.
Proses
Cloning
Proses
cloning terbagi menjadi empat cara, yaitu:
- Pertama, menggunakan inti sel (nucleus) nya sendiri, bukan dari pendonor
- Kedua, mengambil inti sel (nucleus of cells) dari pendonor, kemudian ditanam ke dalam ovum wanita yang nukleusnya telah dikosongkan
- Ketiga, menanamkan inti sel (nucleus) jantan ke dalam ovum wanita yang telah dikosongkan nukleusnya. Sel jantan bisa dari hewan atau manusia. Dan jika dari manusia boleh dari pria lain atau suaminya sendiri.
- Keempat, cloning yang dilakukan dengan cara pembuahan (fertilization) ovum oleh sperma (tanpa hubungan seks) dengan proses tertentu bisa menghasilkan embrio-embrio kembar.
Cloning
Dalam Pandangan Islam
Menurut
ajaran Islam, cloning yang dilakukan pada tanaman dan hewan dalam upaya
memperbaiki kualitas tanaman dan meningkatkan produktifitas hewan adalah boleh.
Bahkan menjadi sunnah jika dimanfaatkan sebagai obat. Hal ini didasarkan pada
prinsip bahwa segala sesuatu yang ada di dunia diciptakan untuk kesejahteraan
manusia.
Sedangkan
cloning manusia masih diperdebatkan. Karena pada dasarnya Cloning manusia
adalah teknik membuat keturunan dengan genetic yang sama dengan induknya yang
berupa manusia. Cara yang dilakukan adalah dengan mengambil sel tubuh (sel
somatic) dari tubuh manusia, kemudian diambil inti selnya (nucleus) yang
kemudian ditanam pada sel telur (ovum) wanita yang telah dihilangkan inti
selnya dengan menggunakan metode seperti inseminasi buatan. Keturunan yang akan
lahir secara alami akan merkode genetik sama dengan induknya.
Dari
beberapa cara cloning, muncul pendapat bahwa hukum cara pertama dan kedua
adalah haram. Hal ini diqiyaskan kepada hukum lesbian serta timbulnya
ketidakjelasan pada nasab atau garis keturunan. Sedangkan pada cara ketiga dan
keempat, diharamkan jika selsperma bukan milik suami sendiri atau bahkan dari
hewan. Akan tetapi kebolehan cloning dari sel sperma suami masih melihat bahaya
dan kemaslahatannya. Para pakar keilmuan dan agamawan masih mendiskusikan hukum
terhadap masalah ini.
Setelah
mempelajari proses cloning secara menyeluruh, Islam mengharamkan cloning
terhadap manusia dengan alasan sebagai berikut:
- Hasil cloning tidak melalui cara yang alami. Firman Allah swt:
Dan bahwasannya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan dari air mani apabila dipancarkan.” (QS an-Najm, 53: 45-46)
- Hasil cloning dari proses pemindahan sel telur dengan inti sel tubuh ke dalam rahim yang bukan pemilik sel telur, tidak mempunyai ayah dan tidak mempunyai ibu, karena hanya menjadi mediator. Hal ini tidak sesuai dengan firman Allah Swt:
Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa–bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS al-Hujurât, 49: 13)
- Hasil cloning akan kehilangan garis keturunan (nasab). Cloning bertujuan memproduksi manusia-manusia unggul dalam hal kecerdasan, kekuatan fisik, kesehatan, kerupawanan, mengharuskan melakukan seleksi terhadap orang-orang yang akan dicloning, tanpa memperhatikan apakah mereka suami-isteri atau bukan, sudah menikah atau belum. Sel-sel tubuh itu akan diambil dari perempuan atau laki-laki yang terpilih. Semua ini akan mengacaukan, menghilangkan dan membuat bercampur aduk nasab.