Hukum Jual Beli dalam Islam
Friday, 30 December 2016
SUDUT HUKUM | Dasar hukum jual beli adalah mubah (boleh). Akan tetapi pada saat situasi tertentu, kondisi atau keadaan berbeda, jual beli bisa menjadi wajib dan juga bisa berhukum haram. Jual beli menjadi wajib ketika terjadi praktek ihtikar (penimbunan barang sehingga stok hilang dari pasar dan harga melonjak naik).
Menurut pakar fiqh Maliki pihak pemerintah boleh memaksa pedagang itu menjual barangnya sesuai dengan harga sebelum terjadinya pelonjakan harga. Dalam hal kasus semacam itu, pedagang itu wajib menjual barang miliknya penentuan harga sesuai dengan ketentuan pemerintah. Akan tetapi jual beli bisa menjadi makruh bahkan pada tingkatan haram, misalnya jual beli barang yang tidak bermanfaat, seperti rokok, itu dikatakan sebagai jual beli yang makruh dan ada pula ulama yang mengatakan haram hukumnya.[1]
Hukum jual-beli itu bisa sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, antara lain:
- Mubah, ialah hukum asal jual-beli akan tetapi masih dalam catatan yakni rukun dan syarat jual-beli, barulah dianggap sah menurut syara’.
- Sunnah, seperti jual-beli kepada sahabat atau famili dikasihi dan kepada orang yang sangat berhajat kepada barang itu.
- Wajib, seperti wali menjual barang anak yatim apabila terpaksa, begitu juga dengan qadhi menjual harta muflis (orang yang lebih banyak hutangnya daripada hartanya).
- Makruh, jual beli pada waktu datangnya panggilan adzan shalat Jum'at.
- Haram, apabila tidak memenuhi syarat dan rukun jual beli yang telah ditentukan oleh syara’.[2]
Rujukan:
[1] Syaikh Muhammad bin Jamil dan Syaikh Khalid Syayi’, Hukum Rokok dalam Timbangan Al-Qur’an, Hadis, dan Medis (Jakarta; Pustaka Imam Nawawi, 2009), 39.
[2] Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Jakarta: Raja Grafindo Pesada, 1994), 74.