Iddah Wanita Keguguran Menurut Pendapat Ulama
Friday, 9 December 2016
SUDUT HUKUM | Disebutkan dalam buku Fiqih Lima Mazhab: Ja'fari,
Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali bahwa sebagian ulama’ bersilang pendapat
tentang permaslahan tersebut. Ulama dari kalangan Madzhab Hanafi, sebagian dari
Madzhab Hambali dan sebagian dari Madzhab Syafi'i mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan 'melahirkan' yang menjadi penyebab berakhirnya masa Iddah adalah
jika janin yang dilahirkan itu sudah berbentuk manusia walaupun belum sempurna.
Maksudnya, ia berupa bayi sempurna walaupun terlahir
dalam keadaan meninggal. Atau belum jadi bayi sempurna, tapi sudah berbentuk mudghoh
yang sudah tampak seperti manusia walau masih samar. Dengan syarat ada yang menyaksikan
bahwa janinnya yang gugur itu sudah berbentuk manusia (walau samar).
Sedangkan menurut satu riwayat dari Madzhab Hambali
mengatakan bahwa iddah sudah berakhir ketika wanita ini mengalami
keguguran, jika yang keluar berupa mudghah. Baik mudghah itu sudah
berbentuk seperti manusia atau belum. Akan tetapi ada beberapa saksi yang
menyaksikan bahwa mudghoh itu merupakan bakal penciptaan manusia, yang
seandainya tidak gugur maka ia akan menjadi bayi yang sempurna.
Sebab menurut madzhab ini inti dari iddah adalah
bara'atur rahim (kosongnya rahim), dan itu sudah tercapai dengan keluarnya
janin atau bakal janin dari dalam rahimnya.
Adapun ulama dari kalangan Madzhab Maliki menyatakan
bahwa gugurnya janin menyebabkan berakhirnya iddah bagi wanita hamil
yang dicerai oleh suaminya. Dengan syarat jika yang keluar itu berupa gumpalan
darah yang benar-benar bukti bahwa itu adalah bakal janin. Pembuktiannya dengan
cara dituangi air panas. Jika tidak meleleh, berarti gumpalan darah itu
benar-benar merupakan bakal janin.
Selain pendapat di atas, masih ada beberapa pendapat
para ulama’ tentang iddah wanita keguguran, antara lain seperti yang
dikemukakan dalam kitab Al-Mughni, terdapat riwayat dari Imam Ahmad yang
dinukil oleh Abu Thalib menyatakan bahwa iddahnya wanita tersebut telah selesai dengan keluarnya
gumpalan daging tersebut dan si wanita tidak bisa di anggap ummul walad.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Az-Zuhri yang
memberikan pendapat pada hadist Nabi Muhammad berikut ini :
Mengabrkan pada kami, Yunus bin Yazid menceritakan pada kami, dariIbnu Syihab, Ubaidullah bin Ubaidillah bin Utbah bin Mas’ud. Bahwa ayahnya menulis surat kepada Umar bin Abdillah bin Al-Arqam Az-Zuhri, guna memerintahkannya untuk menemui Subai’ah binti Al-Harits Al-Aslamiyah, lalu menanyakan kepadanya tentang haditsnya dan apa saja yang dikatakan Rasulullah SAW kepadanya, ketika ia meminta fatwa kepada beliau. Umar bin Abdillah kemudian menulis surat untuk Abdullah bin Utbah, guna memberitahukannya bahwa Subai’ah mengabarkan kepadanya (Umar bin Abdillah), bahwa waktu itu ia menjadi istri Sa’d bin Khaulah, seseorang yang tinggal di kalangan Bani Amir bin Lu’ay, dan termasuk salah seorang yang turut serta dalam perang badar. Suaminya kemudian meninggal dunia saat menunaikan Haji Wada’, sedangkan dia sendiri dalam keadaan hamil. Tidak lama kemudian dia melahirkan kandungannya. (ketika ia telah suci dari nifasnya) dia berhias untuk beberapa pria yang melamarnya. Kemudian Abu As Sanabil bin Ba'kak yang merupakan seorang laki-laki dari Bani Abdu Ad Dar menemuinya dan berkata; ada apa aku melihatmu berhias diri? Kemungkinan engkau ingin menikah. Demi Allah engkau tidak boleh menikah hingga berlalu empat bulan sepuluh hari. Subai'ah berkata; kemudian tatkala ia mengatakan hal tersebut kepadaku maka aku kumpulkan pakaianku pada sore hari kemudian aku mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan bertanya kepadanya mengenai hal tersebut. Lalu beliau memberiku fatwa bahwa aku telah halal ketika telah melahirkan kandunganku dan beliau memerintahkanku untuk menikah apabila aku menginginkan. Ibnu Syihab berkata; saya melihat tidak mengapa ia menikah ketika telah melahirkan, walaupun ia masih kena darah hanya saja ia tidak didekati oleh suaminya hingga ia bersih.
Dan hadits ini dilanjutkan dengan adanya hadis lain
yang serupa dengannya. Yaitu :
sesungguhnya Subai’ah Al-Aslamiyah mengalami nifas beberapa malam setelah kematian suaminya, dan ia melaporkan hal itu kepada nabi untuk meminta izin menikah lagi, maka nabi mengizinkan dia untuk menikah.
Menurut Az-Zuhri, hadist ini menjelaskan tentang
kapan Subai’ah mengajukan pertanyaan pada Rasulullah SAW (mengenai kapan ia selesai dari masa iddahnya), dan
masa sucinya dari nifasnya ini tidak dapat dijadikan dalil. Karena yang
dijadikan dalil adalah sabda Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa ia telah suci
(menjalani masa iddah), ketika dia melahirkan kandungannya. Dalam hal
ini, beliau tidak beralasan dengan suci dari nifas.
Beliau juga mengatakan , “sama saja, apakah ia
mengandung satu bayi atau lebih, apakah bayinya itu sudah sempurna
penciptaannya atau belum, apakah masih segumpal darah atau segumpal daging. iddah
tetap berakhir dengan melahirkannya, jika padanya sudah tampak rupa
manusia, apakah rupa itu masih samar atau sudah jelas. Dalilnya adalah
mutlaknya jawaban yang diberikan kepada Subai’ah, dimana ia tidak ditanya
mengenai sifat kehamilannya.
Itulah
beberapa pendapat dan alasan yang dikemukakan oleh para ulama’ tentang iddah
wanita keguguran. Beberapa ulama’ berpendapat bahwa iddahnya wanita
keguguran adalah saat itu juga meskipun yang keluar masih berupa darah dan juga
beberapa ulama’ berpendapat bahwa iddah wanita adalah sampai gugurnya
kandungan yang telah berupa segumpal daging yang diyakini bahwa itu adalah
bakal janin.
Rujukan:
Rujukan:
- Ibnu Quddamah, Al-Mughni, (terj,) Abdul Syukur, Jakarta : Pustaka Azzam, 2013
- Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, (terj,) Ahmad Khatib, Jakarta : Pustaka Azzam, 2011