Intervensi dalam Hukum Internasional
Tuesday, 6 December 2016
SUDUT HUKUM | Intervensi tidaklah selalu
merupakan pelanggaran kemerdekaan atau integritas wilayah negara lain, oleh
sebab itu hukum internasional juga memberikan pengecualian terhadap prinsip
tersebut. Pengecualian prinsip intervensi yang dimaksud yaitu:
- Suatu negara pelindung (protector) telah diberikan hak-hak intervensi (intervention rights) yang dituangkan dalam suatu perjanjian oleh negara yang meminta perlindungan.
- Jika suatu negara berdasarkan suatu perjanjian dilarang untuk mengintervensi, namun ternyata ia melanggar larangan ini, maka negara lainnya yang juga adalah pihak/peserta dalam perjanjian tersebut berhak untuk melakukan intervensi.
- Jika suatu negara melanggar dengan serius ketentuan-ketentuan hukum kebiasaan yang telah diterima umum, negara lainnya mempunyai hak untuk mengintervensi negara tersebut.
- Jika warga negaranya diperlakukan semena-mena di luar negeri, maka negara tersebut memiliki hak untuk mengintervensi atas nama warga negara tersebut, setelah semua cara damai telah diambil untuk menangani masalah tersebut.
- Suatu intervensi dapat pula dianggap sah/legal dalam hal tindakan bersama oleh organisasi internasional yang dilakukan atas kesepakatan bersama negara-negara anggotanya.
- Suatu intervensi dapat juga sah manakala tindakan tersebut dilakukan atas permintaan yang sungguh-sungguh dan tegas (genuine and explicit) dari pemerintah yang sah dari suatu negara (invitational intervention).
J.G. Starke juga beranggapan
bahwa tindakan intervensi Negara atas kedaulatan Negara lain belum tentu
merupakan suatu tindakan yang melanggar hukum, terdapat kasus-kasus tertentu
dimana tindakan intervensi dapat dibenarkan menurut hukum internasional. Adapun
tindakan intervensi tersebut adalah:
- Intervensi kolektif yang ditentukan dalam Piagam PBB.
- Untuk melindungi hak dan kepentingan, serta keselamatan warga negaranya di Negara lain.
- Pertahanan diri (Self Defence). Jika intervensi dibutuhkan segera setelah adanya sebuah serangan bersenjata (armed attack). Syarat-syarat pembelaan diri adalah: langsung (Instant), situasi yang mendukung (overwhelming situation), tidak ada cara lain (leaving no means), tidak ada waktu untuk menimbang (no moment of deliberation).100 Syarat-syarat ini diadopsi dari kasus kapal Caroline.
- Berhubungan dengan urusan-urusan protektorat yang berada dibawah kekuasaannya.
- Jika Negara yang akan diintervensi dianggap telah melakukan pelanggaran berat atas hukum internasional, menyangkut negara yang melakukan intervensi, sebagai contoh: apabila negara pelaku intervensi sendiri telah diintervensi secara melawan hukum.
Pelaksanaan dari intervensi
yang disebutkan di atas, disamping tidak menjadi ancaman atau penggunaan
kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik, juga harus
mendapat izin atau tidak melanggar ketentuan-ketentuan dalam Piagam PBB. Maka
untuk ini suatu intervensi harus mendapat izin dari PBB melalui Dewan Keamanan.
Izin ini berbentuk rekomendasi yang berisikan pertimbangan-pertimbangan
terhadap keadaan yang menjadi alasan tindakan intervensi dan apakah intervensi
itu diperlukan terhadap keadaan-keadaan tersebut.
Alasan-alasan dasar suatu
negara untuk melakukan sebuah intervensi dikenal sebagai humanitarian
intervention atau intervensi nilai-nilai kemanusiaan. O'Brien menggolongkan
humanitarian intervention dalam beberapa syarat yakni:
- harus adanya ancaman terhadap HAM,
- intervensi harus dibatasi hanya untuk perlindungan atas HAM,
- tindakan bukan berdasar pada undangan dari pemerintah setempat, dan
- tindakan tidak dilakukan atas dasar Resolusi Dewan Keamanan. Persoalan yang dapat dijadikan dasar diberlakukannya sebuah intervensi humaniter adalah persoalan yang diperhitungkan berdasar pada pengaruhnya yang telah mengguncang hati nurani manusia. Dengan kata lain, suatu persoalan telah mengancam perdamaian atau sebuah perang saudara, dapat dijadikan alasan diberlakukannya intervensi humaniter.
Intervensi humaniter tanpa
otorisasi Dewan Keamanan tidak didukung oleh banyak pakar karena dianggap
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Piagam PBB. Hanya intervensi humaniter
yang direstui Dewan Keamananlah yang dibenarkan hukum internasional, sedangkan
intervensi yang dilakukan secara unilateral atau kolektif oleh sejumlah negara
tanpa otorisasi Dewan Keamanan dianggap tidak sah dan bertentangan dengan hukum
internasional dan ketentuan-ketentuan Piagam PBB.
Ada beberapa parameter yang digunakan sebagai alasan untuk melakukan intervensi kemanusiaan menurut Awaludin, yaitu:
Ada beberapa parameter yang digunakan sebagai alasan untuk melakukan intervensi kemanusiaan menurut Awaludin, yaitu:
- Negara yang gagal. Bila dalam suatu negara pemerintahan gagal berfungsi untuk melindungi warganya karena adanya perang saudara atau pembunuhan masal, maka pada kondisi inilah negara lain dapat membenarkan diri untuk melakukan intervensi kemanusiaan.
- Kesadaran kemanusiaan. Bila dalam suatu negara terjadi pembunuhan secara masal, perbudakan masal dan peledakan yang menimbulkan kematian yang besar (shocking the conscious of mankind), maka kondisi itulah yang membenarkan suatu negara melakukan intervensi kemanusiaan.
- Jalan terakhir. Bila semua cara non-militer telah dilakukan tetapi tetap gagal, maka intervensi menjadi salah satu pilihan dan dapat dibenarkan.
Selain
hal-hal yang telah disebutkan di atas, ada dua prinsip umum hukum internasional
dalam pengecualian prinsip non-Intervensi antara lain:
Prinsip Kemanusiaan
Prinsip-prinsip kemanusiaan
ditafsirkan sebagai pelarangan atas sarana dan metode berperang yang tidak
penting bagi tercapainya suatu keuntungan militer yang nyata. Dalam bukunya
yang berjudul Development and Principle of International Humanitarian Law,
Jean Pictet menginterpretasikan arti kemanusiaan sebagai berikut:105 “... penangkapan lebih diutamakan daripada melukai
musuh, dan melukai musuh adalah lebih baik daripada membunuhnya; bahwa
non-kombatan harus dijauhkan sedapat mungkin dari arena pertempuran; bahwa
korban-korban yang luka harus diusahakan seminimal mungkin, sehingga mereka
dapat dirawat dan diobati; bahwa luka-luka yang terjadi harus diusahakan
seringan-ringannya menimbulkan rasa sakit.”
Mahkamah Internasional PBB
menafsirkan prinsip kemanusiaan sebagai ketentuan untuk memberikan bantuan
tanpa diskriminasi kepada orang yang terluka di medan perang, berupaya dengan
kapasitas internasional dan nasional untuk mengurangi penderitaan manusia. Adanya
prinsip ini bertujuan untuk melindungi dan menjamin penghormatan terhadap
manusia. Prinsip ini bermanfaat untuk meningkatkan saling pengertian,
persahabatan, kerja sama dan perdamaian berkelanjutan diantara semua rakyat
sehingga tidak menciptakan diskriminasi karena kebangsaan, ras, kepercayaan
agama, pendapat kelas maupun aliran politik. Prinsip ini dimaksudkan untuk
melepaskan penderitaan, memberikan prioritas kepada kasus-kasus keadaan susah
yang paling mendesak.
Prinsip HAM
Menurut Hukum HAM
Internasional, suatu negara tidak boleh secara sengaja mengabaikan hak-hak dan
kebebasan-kebebasan yang dimiliki oleh individu. Sebaliknya negara memiliki
kewajiban positif untuk melindungi secara aktif dan memastikan terpenuhinya
hak-hak dan kebebasan-kebebasan. Contoh yang paling umum adalah hak untuk hidup
dan pelarangan untuk penyiksaan. Negara tidak boleh membantu negara lain untuk
menghilangkan nyawa seseorang atau melanggar pelarangan akan penyiksaan. Hal
ini mengandung masalah bagi suatu negara ketika mempertimbangkan untuk menolak
mengakui status pengungsi, mendeportasi orang-orang non-nasional ataupun
menyetujui permintaan ekstradisi.
Perkembangan dalam hukum
internasional telah mengindikasikan bahwa hak asasi manusia merupakan salah
satu isu penting dan universal sehingga perlindungan terhadap hak-hak tersebut
harus diutamakan dalam hubungan antar negara. Indikasinya dapat terlihat dengan
lahirnya Universal Declaration of Human Right 1948, International Convenant
on Economic, Social and Cultural Right (ICCPR) dan International
Convenant on Economic, Social and Cultural Right. Padal awal penerimaan dan
pemberlakuan hak asasi manusia, tiap-tiap negara memiliki perbedaan yang
mendasar. Perbedaan yang cukup besar adalah mengenai universalitas hak asasi
manusia itu sendiri. Namun dalam Deklarasi Wina 1993,
tiap-tiap negara telah berkomitmen bahwa setiap hak asasi manusia bersifat
universal.