Keadilan Substantif
Thursday, 1 December 2016
SUDUT HUKUM | Keadilan substantif terfokus
atau berorientasi kepada nilai-nilai fundamental yang terkandung didalam hukum.
Sehingga hal-hal yang menitikberatkan kepada aspek prosedural akan di „nomorduakan‟.
Secara teoritik, kedalilan substantif dibagi ke dalam empat bentuk keadilan,
yakni kedailan distributif, keadilan retributif, kedilan komutatif, dan
keadilan korektif.
Kedilan distributif menyangkut pengaturan dasar segala
sesuatu, buruk baik dalam mengatur masyarakat. Berdasarkan keadilan ini, segala
sesuatu dirancang untuk menciptakan hubungan yang adil antara dua
pihak/masyarakat. Prinsip pokok dalam keadilan distributif adalah setiap orang
harus mendapat/andil/kesempatan yang sama untuk memperoleh keadilan.

Sebagai
lembaga yang mengawal konstitusi (the guardian of constitution) dan
penafsir konstitusi, maka konsekwensinya menjamin hak-hak rakyat yang telah
ditegaskan dalam konstitusi. Salah satu hak yang harus dijamin adalah rasa
keadilan.
Keadilan secara umum diartikan
sebagai perbuatan atau perlakuan yang adil. Sementara adil adalah tidak berat
sebelah, tidak memihak dan berpihak kepada yang benar. Keadilan menurut kajian
filsafat adalah apabila dipenuhi dua prinsip, yaitu: pertama tidak merugikan
seseorang dan kedua, perlakuan kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi
haknya. Jika kedua prinsip ini dapat dipenuhi barulah itu dikatakan adil.
Pada praktiknya, pemaknaan
keadilan dalam penanganan sengketa-sengketa hukum ternyata masih dapat
diperdebatkan. Banyak pihak merasakan dan menilai bahwa lembaga pengadilan
kurang adil karena terlalu syarat dengan prosedur, formalistis, kaku, dan
lamban dalam memberikan putusan terhadap suatu sengketa. Agaknya faktor
tersebut tidak lepas dari cara pandang hakim terhadap hukum yang amat kaku dan
normatif-prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum.
Hakim semestinya
menjadi seorang interpretator yang mampu menangkap semangat keadilan dalam
masyarakat dan tidak terbelenggu oleh kekakuan normatif-prosedural yang ada
dalam peraturan perundang-undangan, karena hakim bukan lagi sekedar pelaksana
undang-undang. Artinya, hakim dituntut untuk memiliki keberanian mengambil
keputusan yang berbeda dengan ketentuan normatif undang-undang, sehingga
keadilan substansial selalu saja sulit diwujudkan melalui putusan hakim
pengadilan, karena hakim dan lembaga pengadilan hanya akan memberikan keadilan
formal.
Keadilan
substantif dimaknai keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan hukum
substantif, dengan tanpa melihat kesalahan-kesalahan prosedural yang tidak
berpengaruh pada hak-hak substantif penggugat. Ini berarti bahwa apa yang
secara formal-prosedural benar bisa saja disalahkan secara materiil dan
substansinya melanggar keadilan. Demikian sebaliknya, apa yang secara formal
salah bisa saja dibenarkan jika secara materiil dan substansinya sudah cukup adil
(hakim dapat menoleransi pelanggaran procedural asalkan tidak melanggar
substansi keadilan).
Dengan kata lain, keadilan substantif bukan berarti hakim
harus selalu mengabaikan bunyi undang-undang. Melainkan, dengan keadilan
substantif berarti hakim bisa mengabaikan undang-undang yang tidak memberi rasa
keadilan, tetapi tetap berpedoman pada formal-prosedural undang-undang yang
sudah memberi rasa keadilan sekaligus menjamin kepastian hukum.