Pemikiran Syaikh Imam Zainudin Bin Aziz Al Malibari tentang Perwakilan Perwalian Dalam Majelis Akad Nikah dalam Kitab Fathul Mu’in
Monday, 5 December 2016
SUDUT HUKUM | Menurut Syaikh Imam Zainudin Bin
Aziz Al Malibari dalam kitab Fathul Mu'in Wali nikah adalah: ayah, kemudian
kalau ayah tidak ada baik secara riil maupun formil maka ayahnya ayah (kakek)
dan terus ke atas. Ayah dan kakek bisa mengawinkan gadisnya atau janda yang
belum pernah digauli, misalnya karena selaput perawannya pecah karena semacam
jari tanpa seizin dari padanya, sekiranya tiada permusuhan yang jelas.
Kemudian setelah (tidak ada) wali
dari pihak orang tua, maka dari pihak ashabahnya, yaitu kerabat nasab pada
jalur melintang, Maka didahulukan saudara lelaki seayah seibu, lalu saudara
lelaki seayah, lalu putera saudara lelaki seayah seibu lalu putera saudara
lelaki seayah. Kemudian setelah (tidak ada) anak
keponakan, maka saudara lelaki ayah seibu seayah, kemudian saudara lelaki ayah
seayah, kemudian anak lelaki saudara lelaki ayah seayah, kemudian saudara
lelaki ayahnya ayah seibu seayah, kemudian anak lelakinya dengan urutan seperti
cara di atas, dan terus ke atas.
Kemudian setelah tiada ashabah
dari nasab, maka ashabah dari wala' dengan urutan sebagaimana dalam pewarisan;
maka didahulukan mu‟tiq, kemudian asshabahnya mu'tiq, kemudian mu‟tiqnya mu‟tiq,
kemudian ashabahnya dan demikian seterusnya.
Wali – wali tersebut dalam urutan
tingkat kewaliannya seperti di atas bisa mengawinkan anak perwaliannya yang
telah baligh bukan yang belum baligh. Lain halnya menurut Abu Hanifah dengan
adanya izin secara lisan dari anak perwalian yang telah janda karena digauli
berdasarkan hadis dari riwayat ad-Daru Qutniy di atas.
Sunnah bagi ayah dan kakek minta izin dahulu kepada gadisnya yang telah baligh, demi menenteramkan kekhawatiran hatinya. Kepada gadis yang belum baligh, tidak disunnahkan minta izinnya dahulu; ada dibahas kesunnahan minta izin kepada anak / cucu yang telah mumayyiz sunnah bagai selain ayah dan kakek mempersaksikan izin pernikahan (dari anak perwaliannya).
Seorang wali dalam suatu
pernikahan merupakan hukum yang harus dipenuhi oleh calon mempelai wanita yang
bertindak menikahkannya atau memberi ijin pernikahannya. Maka konsekuensi
logisnya, seorang wali dapat langsung melaksanakan akad nikah itu atau
mewakilkannya kepada orang lain.
Wali dalam pernikahan merupakan syarat sah nikah, walilah yang mengakad nikahkan wanita yang berada di bawah perwaliannya dengan laki-laki yang akan mengawininya. Oleh sebab itu wanita tidak punya hak untuk menikahkan dirinya sendiri, nikahnya baru sah apabila yang mengakadkan itu adalah walinya.
Wali dalam pernikahan merupakan syarat sah nikah, walilah yang mengakad nikahkan wanita yang berada di bawah perwaliannya dengan laki-laki yang akan mengawininya. Oleh sebab itu wanita tidak punya hak untuk menikahkan dirinya sendiri, nikahnya baru sah apabila yang mengakadkan itu adalah walinya.
Dalam fenomena sosial sendiri
sudah menjadi tradisi dengan perwakilan perwalian ketika akad nikah, hal ini
terjadi karena beberapa alasan seperti kurang siapnya wali atau bisa juga
karena grogi, kurangnya pengetahuan sehingga mewakilkan kepada orang yang lebih
paham tentang agama, bahkan ada juga yang karena wali tidak bisa hadir ketika
akad nikah dikarenakan berada sedang bekerja di luar negeri atau alasan
lainnya, meskipun perwakilan wali ini ada beberapa ulama yang memperbolehkan
namun bagi Syaikh Imam Zainudin Bin Aziz Al Malibari sangat bertentangan
menurut beliau wali nikah harus tetap hadir walaupun sudah diwakilkan.
Jika bapak atau saudara tunggal mewakilkan perwalian dalam nikah dan ikut hadir beserta orang lain maka pernikahan tidak syah karena statusnya sebagai wali yang mengakadkan, maka tidak bisa menjadi saksi. Oleh karena itu apabila 2 saudara dari 3 bersaudara menjadi saksi atas pernikahan sedangkan yang satunya mengakadkan tanpa mewakilkan maka sah. Jika mewakilkan maka tidak sah.
Disyaratkan juga hendaknya
kedua-duanya atau salah satunya tidak ditentukan selaku saksi.
Akad nikah tidak syah dengan saksi dua orang hamba, dua orang wanita, dua orang fasiq dua orang bisu atau buta atau orang yang tidak mengerti bahasa yang digunakan oleh dua pihak mengikat pernikahan dan juga dengan saksi orang yang ditentukan selaku wali.
Lebih lanjut Syaikh Imam Zainudin
Bin Aziz Al Malibari menyatakan:
Apabila sang ayah sendirian atau saudara lelaki sendirian mewakilkan ijab pernikahannya lalu ia sendiri datang dengan mengajak satu orang lelaki lagi (sebagai saksi) maka aqad tidak sah karena dia adalah menjadi sebagai wali yang mengakadkan yang karenanya tidak bisa menjadi saksi
Dari keterangan ini, maka
bilamana dua orang saudara lelaki menempatkan diri selaku saksi dan satu
saudara lelaki laki sebagai (wali) yang mengakadkan tanpa sebagai wakil dari
salah satu dua saudara lelaki lainnya tadi, maka aqad adalah syah, kalau
sebagai wakil, maka tidak sah. Syaikh Imam Zainudin Bin Aziz Al Malibari
menerangkan bahwa kehadiran muwakkil bersama dengan wakil dalam prosesi akad
nikah akan menyebabkan tidak sahnya akad nikah tersebut. Ini dikarenakan Syaikh
Imam Zainudin Abdul Aziz Al Malibari berpendapat bahwa disyaratkan dalam
keabsahan akad nikah dengan datangnya 4 orang yakni:
- Wali
- Mempelai laki-laki
- Mempelai perempuan
- 2 orang saksi
Saksi dalam pernikahan merupakan
rukun pelaksanaan akad nikah, karena itu setiap pernikahan harus disaksikan
oleh dua orang saksi. Karena itu kehadiran saksi dalam akad nikah sangat
diperlukan, apabila saksi tidak hadir pada saat akad nikah dilangsungkan, maka
pernikahan tersebut menjadi tidak sah.
Hal ini sesuai dengan hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a, yaitu:
Tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil dan wali yang cerdik” (H.R. Turmuzi).
Lebih lanjut Syaikh Imam Zainudin
Bin Aziz Al Malibari menyatakan Apabila karena sang wali tidak ada di tempat
lalu sang qadli mengawinkannya, kemudian ternyata waktu dilaksanakan aqad sang
wali berada di dekat tempat akad itu, maka akad tidak menjadi jika bisa
dipastikan berada nya wali di tempat yang dekat tersebut.
Maka ucapan sang wali “adakah
saya berada di tempat yang dekat dari daerah tempat akad” adalah tidak
menimbulkan cacat syahnya nikah, tapi ia kemukakan bayyinah, atas dasar
beberapa wajah; lain halnya menurut nukilan Az-Zarkasyiy dan Syaikh
Zakariyyah dari Fatawi al-Baghawy. Atau (bila) wali khash tidak ada dari
dua marhalah, tapi dirasa udzur untuk bisa sampai ke tempat sang wali itu,
karena khawatir terjadi pembunuhan atau pemukulan atau perampasan harta di
tengah perjalanan.7Atau
(bila) wali khash itu mafqur (musnah), sebagaimana tidak diketahui tempatnya,
hidup atau matinya, setelah tidak ada di tempat atau setelah terjadi peperangan
atau kapal pecah atau setelah terjadi penawanan musuh.
Seperti ini jika tidak dihukumi
telah mati; kalau dihukumi, maka sang wanita dikawinkan oleh wali yang lebih
jauh urutannya. Atau
(bila) sang wali walaupun wali mujbir melakukan adlal, yaitu menolak
mengawinkan anak wanita perwaliannya yang telah baligh serta berakal sehat
(disebut mukallaf) yang minta dikawinkannya dengan lelaki seimbang walaupun
dengan mahar dibawah mahar misil, dengan lelaki tersebut.