Pengaturan Pencatatan Pernikahan
Sunday, 4 December 2016
SUDUT HUKUM | Pada mulanya, syari’at Islam
baik dalam al Qur’an maupun Hadits tidak mengatur secara konkrit tentang
pencatatan pernikahan dan akta nikah sebagai alat bukti. Hal ini
berbeda dengan praktek muamalah yang dilakukan tidak secara tunai untuk waktu
tertentu, diperintahkan oleh Al-Quran untuk mencatatnya. Pada perkembangan
berikutnya dengan mempertimbangkan aspek kemaslahatan para pihak yang terkait
dengan eksistensi keluarga, maka pencatatan pernikahan dipandang sebagai
sesuatu yang penting.
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 282:
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 282:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah (seperti jual beli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya) tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”
Menurut pemahaman ini perkawinan dianggah sah apabila sudah memenuhi rukun dan syarat perkawinan seperti yang ditentukan oleh ketentuan fiqh, meskipun tidak diikuti oleh pencatatan perkawinan. Alasan ini pulalah yang dahulu menjadi salah satu bahan polemik yang tajam antara kelompok umat Islam dengan pemerintah ketika RUU Perkawinan akan diundangkan.