Pengertian Ekstradisi dan Sejarah Ekstradisi
Friday, 23 December 2016
SUDUT HUKUM | Ekstradisi berasal dari kata
latin “axtradere” (extradition = Inggris) yang berarti ex adalah
keluar, sedangkan tradere berarti memberikan yang maksudnya ialah
menyerahkan. Istilah ekstradisi ini lebih dikenal atau biasanya digunakan
terutama dalam penyerahan pelaku kejahatan dari suatu negara kepada negara
peminta.
Menurut I Wayan Parthiana, SH:
Ekstradisi adalah Penyerahan yang dilakukan secara formal baik berdasarkan perjanjian ekstradisi yang diadakan sebelumnya atau berdasarkan prinsip timbal balik, atas seseorang yang tertuduh (terdakwa) atau atas seorang yang telah dijatuhi hukuman atas kejahatan yang dilakukannya (terhukum, terpidana) oleh negara tempatnya melarikan diri atau berada atau bersembunyi kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya atas permintaan dari negara tersebut, dengan tujuan untuk mengadili atau melaksanakan hukumannya.”[1]
M. Budiarto, mengatakan bahwa:
secara umum ekstradisi dapat diartikan suatu proses penyerahan tersangkan atau terpidana karena telah melakukan suatu kejahatan yang dilakukan secara formal oleh suatu negara kepada negara lain yang berwenang memeriksa dan mengadili pelaku kejahatan tersebut.[2]
Sedangkan sarjana-sarjana asing yang
memberikan definisi ialah:
L. Oppenheim menyatakan:
Extradition is the delivery of an accused or confited individual to the state on whose teritory he is alleged to have committed, or to have been convicted of a crime by the state on whose territory the alleged criminal happens for the time to be”. Yang artinya ialah; ekstradisi adalah penyerahan seorang tertuduh oleh suatu negara diwilayah mana ia suatu waktu berada, kepada negara dimana ia disangka melakukan atau telah melakukan atau telah dihukum karena perbuatan kejahatan.[3]
J. G. Starke memberikan pengertian sebagai berikut:
The term extradition denotes the process where by under treaty or upon a basis of reciprocity one state surrenders to another state at its request a person accused or convicted of a criminal offence comitted againts the law of the requesting state competent to try alleged offender”. Artinya ialah penyerahan (Ekstradisi) menunjukkan suatu proses dimana suatu negara menyerahkan atas permintaan negara lainnya, seorang dituduh karena kriminal yang dilakukannya terhadap undang-undang negara pemohon yang berwenang untuk mengadili pelaku kejahatan tersebut. Biasanya kejahatan yang berwenang untuk mengadili penjahat tersebut yang dilakukannya dalam wilayah yang diserahkan.[4]
Pada umumnya,
ekstradisi adalah merupakan sebagai tujuan politik dan merupakan sarana untuk
mencapai tujuan kekuasaan, namun pada saat ini ekstradisi dipraktekkan guna
menembus batas wilayah negara dalam arti agar hukum pidana nasional dapat
diterapkan terhadap para penjahat yang melarikan diri ke negara lain atau agar
keputusan pengadilan terhadap seorang penjahat yang melarikan diri ke luar
negeri dapat dilaksanakan. Secara umum permintaan ekstradisi didasarkan pada
perundang-undangan nasional, perjanjian ekstradisi, perluasan konvensi dan tata
krama internasional. Tetapi bila terjadi permintaan ekstradisi diluar
aturan-aturan tersebut, maka ekstradisi dapat dilakukan atas dasar hubungan
baik antara suatu negara dengan negara lain, baik untuk kepentingan timbal
balik maupun sepihak. Praktek ekstradisi yang didasarkan tata cara tersebut
disebut ”Handing Over” atau Disguished Extradition” (ekstradisi
terselubung).
Handing
Over atau Disguished
Extradition diartikan sebagai penyerahan pelaku kejahatan dengan cara
terselubung atau dengan kata lain penyerahan pelaku kejahatan yang tidak
sepenuhnya sesuai dengan proses dan prosedur ekstradisi sebagaimana ditentukan
dalam pengaturannya diekstradisi.
Dalam
memberikan definisi mengenai ekstradisi ini penulis hanya mengemukakan beberapa
pendapat dari para sarjana, namun tidaklah berarti sarjana-sarjana termuka
lainnya tidak memberikan definisi. Akan tetapi masih banyak lagi
sarjana-sarjana yang memberikan batasan-batasan.
Ekstradisi
pertama sekali dikenal yakni dengan adanya perjanjian yang dibuat secara
tertulis pada tahun 1979 sebelum Masehi antara Ramses II dari Mesir dengan
Hattusili dari Kheta. Perjanjian bantuan timbal-balik termasuk juga kerja sama
dalam menghadapi musuh-musuh dalam negeri yang harus diserahkan kepada negara
asal kalau pelaku kejahatan berlindung pada raja dan negara lain. Dengan
dibuatnya perjanjian antara kedua negara tersebut menandakan adanya tahap-tahap
permulaan dari lahirnya perjanjian ekstardisi. Akan tetapi suatu hal yang
merupakan ciri istimewa dalam perjanjian yang dibuat pada tahun 1279 sebelum
Masehi ini adalah adanya ketentuan bahwa orang yang akan diserahkan tidak
dijatuhi hukuman.[5]
Kemajuan-kemajuan
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi disertai dengan berkembangnya
pemikiran-pemikiran yang baru dalam bidang politik, ketatanegaraan dan
kemanusiaan turut pula memberikan dorongan terhadap perkembangan lembaga
ekstradisi dalam konteks hukum internasional. Memang kita akui bahwa kemajuan
ilmu pengetahuan pada satu sisi dapat meningkatkan kesejahteraan hidup umat
manusia, namun pada sisi lain timbul pula efek-efek negatifnya. Misalnya
timbulnya kejahatan-kejahatan dalam bidang keuangan, perbankan, kejahatan
komputer dan lain-lain yang dapat menimbulkan akibat yang cukup meresahkan
masyarakat tidak saja pada satu negara tetapi juga berpengaruh pada
negara-negara lain.
Dengan demikian untuk mengantisipasi kejahatan-kejahatan
yang berkembang tersebut sangat diperlukan adanya kerja sama antara
negara-negara dalam menanggulanginya. Hal ini dapat diwujudkan misalnya, dengan
menangkap pelaku kejahatan yang melarikan diri dan menyerahkannya kepada negara
yang mempunyai yurisdiksi untuk mengadili dan menghukumnya atas permintaan dari
negara tersebut. Dengan demikian kita dapat melihat bahwa ekstradisi adalah
merupakan sarana yang ampuh untuk memberantas kejahatan.
Memang kita
akui bahwa lembaga ekstradisi adalah lembaga atau sarana yang ampuh untuk dapat
memberantas kejahatan. Hal ini hanya dapat diwujudkan jika terdapat hubungan
yang baik antara negara-negara didunia, sehingga dapat lebih memudahkan dan
mempercepat peneyerahan penjahat pelarian. Namun bukanlah tidak mungkin yang
terjadi adalah sebaliknya, dimana antara negara sipelaku kejahatan dengan
negara dimana ia melarikan diri saling bermusuhan, sehingga sangat sulit untuk
saling menyerahkan penjahat pelarian. Bahkan masing-masing pihak akan
membiarkan wilayahnya dijadikan sebagai tempat pelarian dan mencari
perlindungan bagi penjahat-penjahat dari negara musuhnya. Dengan demikian
kesediaan menyerahkan penjahat pelarian bukanlah didasarkan bahwa orang yang
bersangkutan patut diadili dan dihukum.
Demikian pula memberikan perlindungan
kepada seseorang atau beberapa orang yang bersangkutan patut untuk dilindungi.
Apabila hubungan kedua negara yang semula bersahabat berubah menjadi
bermusuhan, maka kerja sama saling menyerahkan penjahat pelarian bisa berubah
menjadi saling melindungi penjahat tersebut, Demikian pula sebaliknya.
Disamping itu pula praktek-pratek penyerahan penjahat pelarian belum didasarkan
atas keinginan untuk kerja sama dalam mencegah dan memberantas kejahatan.
Dalam
merumuskan dan membuat perjanjian-perjanjian ekstradisi, negara-negara yang
bersangkutan perlu memperhatikan beberapa aspek, baik aspek pemberantasan
kejahatan dimana individu sipelaku kejahatan tetap diberikan hak dan kewajiban. Dengan demikian perjanjian-perjanjian
ekstradisi dalam isi dan bentuknya yang modern memberikan jaminan kesimbangan
antara tujuan memberantas kejahatan dan penghormatan hak-hak azasi manusia.
Apalagi masalah hak azasi manusia adalah merupakan masalah yang cukup aktual
dibicarakan didunia. Prinsip tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik adalah
merupakan wujud dari pengakuan hak azasi manusia untuk menganut keyakinan
politik atau hak politik seseorang.
Pada masa
sekarang ini, didalam pelaksanaannya negara-negara dalam melakukan penyerahan
penjahat pelarian tidak harus tergantung kepada adanya perjanjian antara
negara-negara tersebut. Bisa saja antara kedua negara tersebut tidak mempunyai
perjanjian ekstradisi, namun mereka menyerahkan penjahat-penjahat pelarian
untuk diadili, meskipun bukti-bukti untuk menguatkan dugaan tentang kejahatan
belum dapat ditunjukkan. Hal ini umumnya terjadi diantara negara-negara yang
mempunyai hubungan yang baik. Dengan demikian tidaklah berarti bahwa adanya
perjanjian merupakan persyaratan yang mutlak dalam melaksanakan penyerahan
penjahat tersebut.
Agar dapat
dimengerti dan dipahami lebih dalam mengenai ekstradisi, maka haruslah
diketahui hal-hal pokok-pokok atau unsur-unsur dari ekstradisi itu sendiri.
Menurut I Wayan Parthiana, SH ada beberapa unsur dari ekstradisi yakni: Yang dimaksud
dengan unsur Subjek adalah negara. Dalam hal ini ada 2 (dua) negara yang
terkait yakni:
1. Unsur
Subjek.
a) Negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau
menghukum sipelaku kejahatan.
b) Negara tempat pelaku kejahatan (tersangka,
tertuduh, terdakwa) atau siterhukum itu berada atau bersembunyi.
Negara yang
memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukum ini sangat berkepentingan
untuk mendapatkan kembali orang tersebut untuk diadili atau dihukum atas
kejahatan yang telah dilakukannya itu. Biasanya negara yang memiliki yurisdiksi
untuk menghukum ini lebih dari satu. Untuk mendapatkan kembali orang yang
bersangkutan, negara atau negara-negara tersebut mengajukan permintaan kepada
negara tempat orang itu berada atau bersembunyi. Negara ini disebut negara
peminta (the resqusthing state).
Negara tempat
pelaku kejahatan berada atau bersembunyi diminta oleh negara yang memiliki
yurisdiksi untuk mengadili supaya menyerahkan orang yang berada dalam
wilayahnya itu (tersangka, terhukum) yang dengan singkat disebut negara diminta
(the resquithing State).
Unsur objek
yang dimaksud adalah sipelaku itu sendiri (tersangka, tertuduh, terhukum) yang
diminta oleh negara peminta kepada negara diminta supaya diserahkan. Dengan
perkataan lain disebut sebagai “orang yang diminta”. Walaupun sebagai objek
namun sebagai manusia dia harus diperlakukan sebagai subjek hukum dengan segala
hak dan kewajibannya yang azasi, yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun.
2. Unsur
Objek.
3. Unsur Tata cara dan Prosedur.
Maksud dari
pada unsur tata cara atau prosedur yakni bagaimana tata cara untuk mengajukan
permintaan penyerahan maupun tata cara untuk menyerahkan atau menolak
penyerahan itu sendiri serta segala hal yang ada hubungannya dengan itu.
Penyerahan hanya dapat dilakukan apabila diajukan permintaan untuk menyerahkan
oleh negara peminta kepada negara diminta.
Permintaan itu haruslah didasarkan
pada perjanjian ekstradisi yang telah ada sebelumnya antara kedua belah pihak
atau apabila perjanjian itu belum ada juga bisa didasarkan pada azas timbal balik
yang telah disepakati. Kalau tidak ada permintaan untuk menyerahkan dari negara
peminta, maka sitersangka tidak boleh ditangkap atau diserahkan. Kecuali
penangkapan atau penahanan itu didasarkan atas adanya yurisdiksi negara
tersebut atau orang yang kejahatannya sendiri atau atas kejahatan lain yang
dilakukan orang itu sendiri harus diajukan secara formal kepada negara yang
bersangkutan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan atau menurut hukum
kebiasan internasional.
4. Unsur
Tujuan.[6]
Sedangkan yang
dimaksud dengan unsur tujuan adalah untuk tujuan apa orang yang bersangkutan
dimintakan penyerahan atau diserahkan. Hal ini tentunya melihat kepada bentuk
kejahatan yang telah melakukan suatu kejahatan yang menjadi yurisdiksi negara
atau negara diminta. Penyerahan atau ekstradisi yang dimaksudkan ialah untuk
mengadili pelaku kejahatan tersebut dan menjatuhkan hukuman apabila terbukti
bersalah dan agar sipelaku kejahatan
menjalani
hukuman yang telah dijatuhkan kepadanya yang telah mempunyai kekuatan hukum
dinegara yang berwenang mengadilinya. Namun satu hal yang lebih penting bukan
hanya menyeret pelaku kejahatan kedepan pengadilan untuk mempertanggung
jawabkan perbuatannya secara hukum, tetapi lebih jauh lagi sebagai upaya
mencegah makin meluasnya tindakan serupa yang akan mengancam keamanan dan
ketertiban serta keselamatan internasional yang sudah menjadi tanggung jawab
dari seluruh negara-negara didunia ini.
[1] Wayan
Pharthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional”. Alumni,
Bandung, 1993, hal. 16.
[2] M.
Budiarto, Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan Hak-Hak Azasi Manusia,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hal.13.
[3] L.
Oppenheim, International Law A Treaties, 8 th edition, 1960, vol. On-Peace,
Hal. 696
[4] J.
G. Starke, An Introduction International Law (terjemahan F. Isjwara)
Penerbit Alumni, Bandung, Hal. 13
[5] Arthur
Nussbaum, Terjemahan Sam Suheidi, “Sejarah Hukum internasional”.Bina
Cipta, Bandung, 1969,hal 3.
[6] Wayan
Parthiana, SH, “Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional”. Alumni
Bandung 1993, hal.17.