Perbedaan Antara Pengaturan Tindak Pidana Pemalsuan Uang Dalam KUHP dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang
Friday, 23 December 2016
SUDUT HUKUM | Tindak pidana pemlasuan uang
merupakan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi banyak pihak. Negara sebagai
pembuat dan pengelola uang akan mengalami kerugian, bagi masyarakat yang
merupakan penerima sekaligus pengguna uang juga demikian. Dampak yang
ditimbulkan dari kejahatan pemalsuan uang sangat besar dan tak terbatas ruang
lingkupnya. Selama uang palsu masih beredar di pasaran, maka kerugian juga
masih berpotensi memakan korban.
Pada setiap perbuatan pemalsuan
(tidak hanya pemalsuan uang, melainkan semua jenis pemalsuan), dapat dilihat
bahwa sudah terjadi pelanggaran terhadap 2 (dua) norma dasar, yaitu:
- Kebenaran (kepercayaan) yang pelanggarannya dapat tergolong dalam kelompok kejahatan penipuan;
- Ketertiban masyarakat yang pelanggarannya tergolong dalam kelompok kejahatan terhadap Negara / ketertiban umum.
Mengingat pentingnya menjaga
kepercayaan masyarakat kepada uang yang merupakan simbol dari kedaulatan
Negara, maka aturan hukum yang cukup atau memadai adalah hal yang penting agar
terjadi suatu ketertiban di lingkungan masyarakat, dan para pelaku tindak
pidana pemalsuan uang dapat dihukum, timbul penyesalan pada dirinya sehingga
jera dan tidak lagi mau melakukan perbuatan serupa. Saat ini aturan hukum yang terkait dengan
tindak pidana pemalsuan uang di Indonesia dapat ditemukan dalam KUHP dan UU RI
No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
Pada KUHP,
ancaman hukuman maksimal bagi pelaku tindak pidana pemalsuan uang tergolong
berat. Negara memandang serius kejahatan pemalsuan uang, sebab dampak dari
kejahatan ini tidak hanya mengincar seseorang sebagai korban, melainkan banyak
pihak. Kejahatan ini tidak dipandang seperti tindak pidana penipuan dari Pasal
378 atau tindak pidana lain mengenai kekayaan orang. Kejahatan pemalsuan uang
dipandang serius sebab potensi kerugian yang ditimbulkannya jauh lebih besar.
Menurut sejarah, pada zaman dahulu di beberapa negara Eropa, pernah
diberlakukan hukuman mati untuk pelaku pemalsuan uang.
Untuk tindak
pidana pemalsuan uang, pada KUHP disebutkan bahwa berlaku suatu asas yang
disebut sebagai asas universaliteit. Maksud dari asas tersebut adalah
agar hukum pidana Indonesia tetap dapat diberlakukan bagi setiap orang yang
melakukan tindak pidana pemalsuan uang diluar Indonesia. Ketentuan ini diatur
dalam KUHP Pasal 4. Setiap orang, baik warga negara Indonesia, maupun warga
negara asing yang berbuat kejahatan sebagaimana diatur dalam pasal ini,
meskipun berada diluar wilayah Indonesia dapat dikenakan ketentuan-ketentuan
pidana Indonesia.
Terkait
kejahatan tindak pidana pemalsuan uang, aturan pasal per pasal dalam KUHP juga
sudah tergolong lengkap dengan meliputi berbagai jenis tindakan yang dapat menimbulkan kerugian bagi negara dan
masyarakat. Mulai dari kejahatan meniru atau memalsu uang (Pasal 244),
mengedarkan uang palsu (Pasal 245), merusak uang (Pasal 246), mengedarkan uang
rusak (Pasal 247), mengedarkan uang palsu yang lain dari Pasal 245 dan 247
(Pasal 249), membuat atau mempunyai persediaan benda atau bahan untuk memalsu
uang (Pasal 250), dan menyimpan kepingan perak yang dianggap sebagai mata uang
(Pasal 251).
Objek
pemalsuan di aturan tindak pidana pemalsuan uang sebagaimana yang diatur dalam
KUHP meliputi uang kertas dan uang logam. Aturan dalam KUHP tidak hanya berlaku
bagi pemalsu uang kertas dan uang logam Rupiah saja, melainkan juga uang kertas
dan uang logam negara asing. Hal ini menunjukkan
luasnya cakupan aturan hukum dalam KUHP terkait dengan tindak pidana pemalsuan
uang.
Sementara itu
dalam UU RI Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, objek pemalsuan yang
dibicarakan terbatas hanya di mata uang Indonesia saja, yaitu Rupiah. Hal ini
merupakan pembeda utama antara kedua aturan hukum tersebut. Untuk jenis
perbuatan terkait pemalsuan uang yang dilarang, sebenarnya hampir serupa dengan
yang diatur dalam KUHP, yaitu meniru Rupiah (Pasal 24), merusak Rupiah (Pasal
25), memalsu Rupiah (Pasal 26), dan membuat atau mempunyai persediaan benda
atau bahan untuk memalsu Rupiah (Pasal 27). Semua pasal yang telah disebutkan
diatas juga dapat ditemukan rumusannya dalam KUHP.
Perbedaan lain yang bisa dilihat saat membandingkan aturan
hukum pemalsuan uang di KUHP dan UU RI Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang
adalah ancaman hukuman maksimal dari beberapa bentuk kejahatan. Jika dilihat
dalam KUHP, untuk tindak pidana pemalsuan uang ancaman hukuman maksimalnya
adalah 15 (lima belas) tahun penjara (untuk Pasal 244 dan Pasal 245). Sementara
itu dalam UU RI No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, ancaman hukuman maksimal
bagi kejahatan pemalsuan uang adalah pidana penjara seumur hidup (untuk Pasal
36 ayat (1), Pasal 37 ayat (1) dan (2), dan Pasal 38 ayat (2)).