Perlindungan Hak Politik Secara Internasional
Wednesday, 28 December 2016
SUDUT HUKUM | Menurut Robert A.
Dahl, demokrasi mengharuskan ada ruang publik untuk mengekspresikan
kehendak rakyat yang tersedia untuk memastikan rakyat berpartisipasi aktif
dalam mengambil keputusan-keputusan penting. Ruangruang partisipasi itu
begitu penting bagi sebuah negara demokrasi. Karena ruangruang partisipasi itulah
yang akan menjadi wadah regenerasi pengisian negara demokrasi. Tanpa ada
perlindugan atas partisipasi publik itu (hak politik), bisa dipastikan negara
demokrasi akan mati dan digantikan dengan negara otoriter.
Sebagaimana telah
dibahas dalam perkembangan generasi HAM di atas, wacana penegakan HAM
terutama dibidang hak sipil dan politik, berpuncak pada lahirnya Declaration
Universal of Human Right (DUHAM) pada tanggal 10 Desember 1948.
Setelah DUHAM disahkan PBB maka gerakan perlindungan hak sipil dan politik
menjadi semakin kuat dan akhirnya melahirkan instrument HAM lainnya yang lebih
terperinci lagi.
Secara Internasional,
Hak sipil dan politik dilindungi oleh instrumen Hak asasi mansia yang
muncul dalam bentuk perjanjian internasional. Instrumen itu antara lain:
- Pernyataan Umum tentang Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights);
- Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights);
- Kovenan Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (International Covenant on the Elimination of All Format of Racial Discrimination);
- Kovenan tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (International Covenant on the Elimination of Discrimination Against Women);
- Konvensi tentang Hak Politik Kaum Perempuan ( International Covenant On The Political Rights Of Women).
Dari kelima instrumen
pelindung hak politik di atas, insturumen yang akan penulis bahas di sini
hanya Universal Declaration of Human Rights (selanjutnya dibaca : UDHR) dan International
Covenant on Civil and Political Rights (selanjutnya dibaca
ICCPR) saja. Hal ini lantaran dua instrumen itu memilik relevansi yang sangat
kuat dengan tema tulisan ini. Sedangkan Kovenan yang lain secara umum telah
memberikan gambaran perlindungan yang secara umum sama.
1. UDHR
Deklarasi Universal
tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human
Rights) lahir pada tanggal 10 desember 1948 melalui penetapan oleh Majelis Umum
Perserikatan bangsa-bangsa dalam resolusi 217 A (III). Di dalamnya termuat 30
pasal yang menyatakan pengakuan secara tegas atas hak asasi manusia,
termasuk salah satu nya mengenai hak untuk turut serta dalam pemerintahan atau hak
politik.
Ketentuan perlindungan
Hak politik dalam UDHR ditetapkan dalam artikel 21. Artikel
21 menyatakan sebagai berikut ini:
- Everyone has the right to take part in the government of his country, directly or through freely chosen representatives.
- Everyone has the right of equal access to public service in his country.
- The will of the people shall be the basis of the authority of government; this will shall be expressed in periodic and genuine elections which shall be by universal and equal suffrage and shall be held by secret vote or by equivalent free voting procedures.
Dalam artikel 21 UDHR
ayat (1) dikatakan bahwa Setiap orang berhak turut serta dalam
pemerintahan negerinya, secara langsung atau melalui wakilwakil yang dipilih dengan
bebas. ketentuan ini menyatakan dengan tegas bahwa tidak seorangpun bisa
dihalangi untuk turut serta dalam pemerintahan negerinya.
Partisipasi publik
itu bisa disalurkan baik secara langsung ataupun juga melalui wakil rakyat yang
dipilih oleh rakyat sendiri melalui prosedur yang fair tentunya. Ayat selanjutnya,
yakni ayat (2) artikel 21 UDHR menyatakan bahwa setiap orang memiliki
hak akses yang sama bagi pelayanan publik di negerinya. Ketentuan ini
mencakup kewajiban pemerintah untuk memberikan perlakukan dan juga kualitas
pelayanan publik yang sama dan merata kepada masyarakat.
Masyarakat adalah
sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Ayat ini juga memberikan
pengertian bahwa Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat
dalam jabatan pemerintahan negerinya.
Ayat terakhir yakni
ayat (3) artikel 21 di atas menyatakan bahwa kehendak rakyat harus menjadi
dasar kekuasaan pemerintah; kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan umum
yang dilaksanakan secara berkala dan jujur dan yang dilakukan menurut hak
pilih yang bersifat umum dan yang tidak membedabedakan, dan dengan pemungutan
suara yang rahasia ataupun menurut cara-cara lain yang menjamin
kebebasan memberikan suara. Ayat terakhir ini melindungi hak suara masyarakat
yang akan menjadi basis pemerintahan nantinya. hak suara tersebut harus
digunakan tanpa paksaan melalui suatu mekanisme pemilihan umum yang bebas dan
dijamin kerahasiaannya. Yang dilindungi dalam ayat ketiga ini adalah hak rakyat
untuk memilih.
2. ICCPR
Pasca ditetapkannya
UDHR sebagai pernyataan dunia internasional atas hak asasi manusia,
Jaminan Hak Politik kembali diatur lebih spesifik melalui Kovenan Internasional
Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil
and Political Rights). Sejarah terbentuknya ICCPR tidak terlepas dari lahirnya UDHR. Pasca
lahirnya UDHR pada tanggal 10 desember 1948, masyarakat dunia
internasional kembali menyadari bahwa perlunya penjabaran hak-hak dan kebebasan
dasar yang dinyatakan UDHR kedalam instrumen internasional yang
bisa mengikat hukum negara-negara yang lebih luas lagi.
Seperti diketahui
bahwa, Deklarasi UDHR itu sendiri memiliki kekuatan hukum yang lemah, karena
hanya bisa diikuti dan dipatuhi oleh negara yang memang telah mengakui dan
ikut meratifikasi UDHR.
Sebagaimana
dijelaskan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang
Ratifikasi ICCPR, Majelis Umum PBB meminta Komisi Hak Asasi Manusia (KHAM)
untuk menyusun rancangan tentang HAM beserta tindakan
pelaksanaannya. Komisi kemudian mulai bekerja menyusun rancangan tersebut satu tahun
setelahnya yakni dimulai tahun 1949. Satu tahun berikutnya, yakni pada tahun
1950, Komisi HAM PBB lalu memutuskan suatu resolusi yang menyatakan bahwa
pengenyaman kebebasan sipil dan politik serta kebebasan dasar di satu pihak
dan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya di lain pihak, adalah bersifat saling
terkait dan saling tergantung.
Setelah melalui
perdebatan panjang, dalam sidangnya di tahun 1951, Majelis Umum PBB lalu
meminta Komisi HAM PBB untuk merancang dua kovenan tentang Hak
Asasi Manusia yakni : (1) Kovenan mengenai hak sipil dan politik. dan (2)
kovenan mengenai hak ekonomi, sosial dan budaya. Komisi HAM PBB lalu berhasil
menyelesaikan dua rancangan tersebut masing-masing pada tahun 1953 dan 1954.
Pada tahun 1954, kedua rancangan tersebut disebar luaskan agar pemerintah
negara-negara dapat mempelajarinya secara mendalam dan khalayak dapat
menyatakan pandangannya secara bebas. Meskipun pembahasan rancangannya telah
berjalan cukup lama, naskah kedua kovenan tersebut baru bisa diselesaikan pada
tahun 1966. Akhirnya barulah pada tanggal 16 Desember 1966, Kovenan tentang hak
hak sipil dan politik (ICCPR) disahkan oleh majelis umum PBB melalui resolusi
2200A (XXI). Di dalamnya termuat 53 pasal yang melindungi hak
politik warga negara.
Perlindungan hak politik itu secara spesifik diatur dalam artikel
25 yang berbunyi sebagai berikut :
Every citizen shall have the right and the opportunity, without any of the distinctions mentioned in article 2 and without unreasonable restrictions:(a) To take part in the conduct of public affairs, directly or through freely chosen representatives;(b) To vote and to be elected at genuine periodic elections which shall be by universal and equal suffrage and shall be held by secret ballot, guaranteeing the free expression of the will of the electors;
Dalam artikel 25
huruf a diatas dikatakan bahwa setiap warga negara harus mempunyai hak dan
kesempatan, tanpa pembedaan apapun sebagaimana yang dimaksud dalam pasal
2 dan tanpa ada pembatasan yang tidak layak untuk:
(a) ikut serta dalam
urusan pemerintah, baik secara langsung maupun melalui wakilwakil yang dipilih secara
bebas. Teks perlindungan ini memiliki konsep yang sama dengan ketentuan
perlindungan hak asasi manusia dalam UDHR artikel 21 ayat (1). Keduanya
memang sama-sama menegaskan perlindungan hak untuk turut serta dalam
pemerintahan baik secara langsung ataupun tidak langsung melalui wakil-wakil
yang dipilih rakyat secara fair.
Selanjutnya pasal 25
huruf b ICCPR menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk memilih
dan dipilih dalam pemilihan umum berkala yang murni, dengan hak pilih yang
universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia
untuk menjamin kebebasan menyatakan keinginan dari para pemilih. Konsep pasal
25 huruf b juga memiliki kemiripan dengan pasal 21 ayat (3) UDHR. Akan tetapi
pasal 25 huruf b ICCPR lebih spesifik lagi untuk melindungi hak pilih
dan hak untuk dipilih masyarakat dalam suatu pemilihan umum yang murni,
bebas dan terjamin kerahasiaannya.
Dengan selesainya
dibahas kedua instrument tersebut, maka tidaklah terbantahkan lagi
bahwa hak politik itu dilindungi secara internasional. Indonesia sendiri telah secara
terang-terangan mengakui dan meratifikasi ICCPR lewat diundangkanya
Undang-Undang No 12 tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR. Dengan begitu segala
hal yang menyangkut hak politik yang menjadi hak rakyat harus dijamin perlindungannya oleh
negara melalui hukum nasional.
Rujukan:
- Robert A.Dahl, Analisa Politik Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1982).
- Indonesia, Undang-Undang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Right(Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik). UU No 12 tahun 2005, LN No 119 Tahun 2005.TLN. No. 4558, Penjelasan umum.