Kedudukan Ijma’ Sebagai Sumber Hukum
Thursday, 29 December 2016
SUDUT HUKUM | Kebanyakan ulama menetapkan bahwa
ijma’ dapat dijadikan hujjah dan sumber hukum islam dalam menetapkan
sesuatu hukumdengan nilai kehujjahan bersifat zhanny. Golongan syi’ah
memandang bahwa ijma’ ini sebagai hujjah yang harus diamalkan. Sedang ulama-ulama
hanafi dapat menerima ijma’ sebagai dasar hukum, baik ijma’ qath’iy maupun
zhanny. Sedangkan ulama-ulama syafi’iyah hanya memegangi ijma’ qath’iy dalam
menetapkan hukum.
Dalil penetapan ijma’ sebagai
sumber hukum islam ini antara lain adalah terdapat pada firman Allah dalam QS. An-Nisa ayat (59) Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan rosulnya dan ulil amri diantara kamu”.
Menurut sebagian ulama bahwa yang
dimaksud dengan ulil amri fid-dunya, yaitu penguasa dan ulil amri fid-din,
yaitu mujtahid. Sebagian ulama lain menafsirkannya dengan ulama.
Apabila mujtahid telah sepakat terhadap ketetapan hukum suatu peristiwa atau
masalah, maka mereka wajib ditaati oleh umat.
Hukum yang disepakati itu adalah
hasil pendapat mujtahid umat Islam. Karenanya, pada hakekatnya hukum
ini adalah hukum umat yang dibicarakan oleh mujtahid. Ijma’ ini menempati
tingkat ketiga sebagai hukum syar’iy, yaitu setelah Al-qur’an dan As-sunnah.
Pada dasarnya ijma’ dapat dijadikan alternativ dalam menetapkan hukum sesuatu
peristiwa yang di dalam Al-qur’an atau As- sunnah tidak ada atau kurang jelas hukumnya.