Sejarah Singkat Hak Cipta
Friday, 30 December 2016
SUDUT HUKUM | Hak
cipta sejak awal kemunculannya selalu berkaitan dengan perkembangan teknologi.
Istilah hak cipta yang dikenal sekarang merupakan padanan istilah dari Copyright
yang riwayatnya dimulai dengan ditemukannya mesin cetak pada tahun 1436
di Eropa. Mesin ini mempermudah perbanyakan karya-karya tulis yang ada pada
saat itu dalam jumlah besar. Diperkirakan bahwa sebelum mesin cetak ditemukan,
jumlah buku yang beredar di Eropa hanya ribuan, namun hanya dalam waktu
50 tahun, jumlah tersebut meningkat hingga 10 juta buku.
Pertumbuhan
jumlah buku yang pesat ini telah membuka peluang ekonomi baru bagi
orang-orang untuk dapat menikmati hasil perbanyakan karya tulis. Dalam hal ini
timbul pertanyaan, siapakah yang berhak mendapat keuntungan materiil dari hasil
penjualan suatu karya tulis yang dicetak dalam jumlah banyak? Apakah pengarang
atau penerbit yang membiayai dan menanggung risiko penerbitan buku tersebut?
Pada
gilirannya muncul perusahaan-perusahaan di bidang penerbitan buku. Dalam rangka
melindungi kepentingan bisnis mereka, para pengusaha penerbitan buku meminta
kepada Raja untuk memberikan hak monopoli perbanyakan buku-buku yang
akan diterbitkan. Para pengusaha ini menginginkan agar hanya mereka yang memiliki
hak memperbanyak (copyright) atas karya-karya tulis yang akan diterbitkan.
Dari sini cikal bakal rezim perlindungan hak cipta beranjak.
Permulaan
perlindungan hak cipta di Eropa salah satunya dimulai di Inggris pada tahun
1557. King Philip dan Queen Mary memberikan
Royal Charter kepada Stationers Company─sebuah perusahaan penerbitan yang
berbasis di London─hak
monopoli untuk menyelenggarakan sistem registrasi dan percetakan karya
tulis. Dengan monopoli yang dipunyainya, pencetakan dan penerbitan karya tulis
dalam bentuk buku hanya boleh dilakukan perusahaan ini atau penerbitpenerbit lain
yang terdaftar sebagai anggota Stationers
Company.
Hak-hak pengarang
untuk memperbanyak karya tulis sama sekali diabaikan. Bahkan dalam
praktiknya, tujuan diberikannya hak monopoli ini tidak lain dari upaya pihak
kerajaan melakukan sensor terhadap penerbitan yang berisi pandangan-pandangan yang
melawan kekuasaan monarki ataupun yang menyimpang dari agama
kerajaan.
Gagasan
bahwa pengaranglah yang berhak atas hak memperbanyak karya tulisnya kemudian
diatur dalam Statute of Anne tahun 1710. Statute of Anne berisi ketentuan
tentang hak eksklusif seorang pengarang sebagai pemilik hak yang memiliki
kebebasan untuk mencetak karya tulisnya.29
Statute of Anne merupakan undang-undang
hak cipta pertama di dunia dan besar pengaruhnya dalam sejarah perkembangan
hak cipta karena untuk pertama kalinya seorang pengarang diakui secara
sah bahwa ia pemegang hak eksklusif atas karya tulisnya.
Jika
dicermati mengenai sejarah istilah Copyright, pada mulanya istilah Copyright kurang
begitu mempersoalkan siapa penciptanya, dan hanya melindungi kepentingan
perusahaan penerbit. Kata Copyright
memang bermakna the right to copy atau hak untuk memperbanyak karya-karya
tulis pada masa itu. Itulah sebabnya
muncul reaksi terhadap doktrin Copyright
di negara-negara dengan tradisi
hukum Civil Law seperti Prancis, Jerman, Italia, dan
Belanda. Di negara-negara ini
muncul istilah: droit de auteur, auteursrecht,
dan atau authors’s right.
Pusat
gagasan perlindungan diletakkan pada pencipta melalui konsep author’s right yang artinya hak pengarang. Di Belanda,
perlindungan bagi pencipta dituangkan
dalam Auteurswet tahun 1912.32 Belanda membuat Auteurswet pada tahun
1912 karena telah menandatangani dan meratifikasi Konvensi Berne. Konvensi
Berne diadakan karena kebutuhan akan perlindungan hak cipta yang terstandardisasi
dan seragam yang dapat berlaku secara internasional.
Sebelumnya,
pada tahun 1866 di Swiss didirikan organisasi internasional Berne Copyright Union yang mengadministrasikan dan melindungi
pelbagai ciptaan manusia yang mencipta di bidang sastra (literary) dan seni (artistic). Pendirian Bern Copyright Union ini kemudian diikuti dengan
dilaksanakannya Berne Convention for the Protection of
Literary and Artistic Works (Konvensi
Berne) pada
tahun 1886 yang menetapkan mengenai aturan hak cipta di negara-negara berdaulat.
Pada
masa kemerdekaan Indonesia, Auteurswet
1912 yang diundangkan melalui Staatblad No. 600 tahun 1912, diberlakukan pula
terhadap bangsa Indonesia berdasarkan
Pasal I Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Sejak saat itu rezim
hak cipta mulai berlaku di Indonesia. Selanjutnya, perkembangan hukum hakcipta dilanjutkan dalam konvensi-konvensi internasional yang berusaha menyesuaikan
perlindungan hak cipta dengan kemajuan teknologi dan kepentingan
perdagangan.
Beberapa konvensi internasional itu diantaranya:
- International Convention Protection for Performers, Producers of Phonograms and Broadcasting Organizations (Konvensi Roma) tahun 1961,
- Universal Copyright Covention tahun 1955,
- Trade Related Aspect on Intellectual Property Rights (TRIPs) tahun 1994 dan
- WIPO Copyright Treaty tahun 1996.
Peraturan dalam
konvensi internasional ini kemudian menjelma dalam bentuk undang-undang ataupun
peraturan lainnya di berbagai negara yang meratifikasi konvensi tersebut.
Indonesia terakhir kali merevisi Undang-Undang Hak Cipta pada tahun 2002
untuk menyesuaikannya dengan perkembangan konvensi internasional di bidang
hak cipta.
Rujukan:
- Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, edisi ke-2, cetakan ke-3. (Bandung: P.T. Alumni, 2009)
- Agus Sardjono, Hak Cipta dalam Desain Grafis (Jakarta: Yellow Dot Publishing, 2008).